Pengalaman ini berawal ketika aku kuliah di universitas di daerah
Setiabudhi Badung. Aku nge-kost di daerah Geger Kalong yang saat itu identik
dengan DT-nya Aa Gym yang menjadikan tidak terbesit olehku akan mengalami
pengalaman yang seru ini.
Aku nge-kost di sebuah rumah
pasangan suami-istri. Mereka mempunyai anak satu namun karena sudah berumah
tangga maka anaknya itu sudah tidak tinggal di rumah itu. Tempat kost-ku
mungkin berada agak jauh dari kampus dibandingkan dengan tempat kost-kost yang
lain dan suananya lebih sepi dan tenang. Mungkin karena itu pula aku memilih
kost-an itu disamping harganya yang lebih murah daripada kost-kostan yang lain.
Hanya terdapat 3 kamar yang di sewakan di belakang bangunan utama yang
ditinggali oleh pemilik kost tersebut. Pemilik kost tersebut Pak Dedi yang
bekerja di sebuah perusahaan operator telepon seluler dan istrinya Bu Rina yang
hanya sebagai ibu rumah tangga. Pak Dedi berumur sekitar 45 tahunan dan Bu Rina
sekitar 38 tahunan.
Pekerjaan Pak Dedi yang suka
mengurusi proyek-proyek pembangunan BTS di daerah-daerah menjadikannya sering
keluar kota, mungkin dari itu juga makanya rumah mereka di kostkan, biar Bu
Rina tidak kesepian kalau ditinggal keluar kota katanya. Bu Rina mungkin bisa
dibilang sudah cukup berumur bahkan sudah menjadi nenek dari anak putrinya
semata wayang. Namun dari wajahnya masih terlihat segar dan manis, mungkin
waktu mudanya memang cantik.
Waktu awal aku ngekost disana, aku
menganggap Bu Rina seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya, bahkan aku
menganggap sebagai wanita yang alim karena penampilan sehari-harinya selalu
menggunakan jilbab dan baju gamis yang longgar sehingga tidak pernah terlihat
sedikit pun lekuk tubuhnya dari luar. Pada awal-awal aku biasa saja, mungkin
hanya senyum kalau bertemu atau berucap sapa sewajarnya. Bu Rina biasanya
sering ngobrol dengan Putri, penghuni kost yang lain.
Keadaan mulai berubah ketika
memasuki smester ke-3, penghuni di kost-an itu hanya tinggal aku karena Putri
telah lulus dan sudah tidak tinggal di situ lagi, sedangkan kamar yang satunya
lagi memang sudah lama kosong, mungkin karena jaraknya yang jauh dari kampus
sehingga kurang peminatnya.
Suatu pagi hari rabu, aku dapat
jam kuliah siang. Sambil nunggu kuliah, aku hanya santai-santai di kost-an
sambil baca buku. Lalu datang Bu Rina menjemur pakaian, kebetulan tempat
jemuran berada di depan kamarku, jadi sempat juga kuperhatikan Bu Rina yang
sedang menjemur pakaian. Tidak seperti biasanya, saat itu Bu Rina menghampiriku
setelah selesai menjemur pakaiannya.
“Tidak kuliah, Din?” tanyanya
mengawali percakapan.
“Jadwalnya siang, Bu.” jawabku.
“Gimana tinggal di sini, betah
gak?” tanyanya lagi.
“Betah kok, bu, tempatnya
bersih, tenang, murah lagi.” jawabku sambil sedikit tertawa.
“Ya mungkin buat nak udin sih
tenang, tapi buat Ibu sih sepi, apalagi setelah anak ibu menikah dan ikut
suaminya, makanya rumahnya ibu kost-kan.” kata Bu Rina.
“Owh… tapi kenapa ibu gak jual
aja bu rumahnya trus ibu beli rumah yang tempatnya ramai gitu?” aku balik bertanya.
“Ini rumah warisan orang tua
ibu, dan diamanatkan supaya tidak boleh dijual, makanya ibu tetap bertahan.”
“Ya bagus lah, bu, kan saya juga
jadi dapat kost-an yang murah.” candaku.
“Ah, kamu bisa aja, Din.” kata
Bu Rina sambil tersenyum. “Udah dulu ya, Din, Ibu mau beres-beres rumah dulu.”
lalu dia masuk ke rumahnya.
Hari itu aku merasa sesuatu yang
beda, mungkin sudah gak ada Putri teman ngobrolnya yang dulu, jadi Bu Rina
mencari teman ngobrol yang lain. Semakin hari aku semakin sering ngobrol berduaan
dengan Bu Rina tapi hanya obrolan-obrolan biasa sekitar lingkungan tempat
tinggal, aktifitas sehari-hari, hanya sebatas itu. Namun hampir setiap hari
atau saat Bu Rina sedang tidak ada kerjaan selalu saja datang untuk ngobrol
denganku.
Hingga pada suatu hari Pak Dedi
dapat tugas keluar jawa untuk proyek BTS-nya. Saat itu aku baru saja pulang
kuliah. Waktu itu tiba-tiba hujan, karena Bu Rina sedang tidak ada di rumah
maka aku mengangkat jemurannya biar tidak kehujanan. Sepulangnya Ibu Rina, aku
langsung mengantarkan jemurannya tadi, namun ketika aku kembali ke kamarku,
tanpa kusadari ternyata celana dalam bu Rina ketinggalan secara tidak sengaja.
Duh, bingung juga jadinya. Mau kuantarkan pasti malu lah hanya mengantarkan
satu celana dalam Bu Rina, tapi kalau tidak kuantarkan pasti Bu Rina bakalan
berpikiran negative kalau aku sengaja menyembunyikan celana dalamnya. Ah,
daripada nantinya jadi macam-macam lebih baik aku antarkan saja.
Tok.. Tok.. kuketuk pintu
belakang rumah Bu Rina. Muncul lah Ibu Rina. “Eh, nak Udin.” sapanya ramah
seperti biasa.
“Maaf, bu, ini ada jemurannya
yang tertinggal tadi.” kataku sambil memberikan celana dalamnya dengan menahan
malu.
“Oh ya, makasih, Din.” terlihat
wajah Bu Rina juga nampak malu karena celana dalamnya aku pegang. “Udah makan,
nak Udin?” Bu Rina mengalihkan pembicaraan.
“Udah bu, makasih.” jawabku
bohong.
“Ah, pasti belum, ibu juga tahu
kamu tuh suka makannya malam, ayo temenin ibu makan.” ajaknya.
“Udah kok, bu. Beneran.” aku
coba menolak.
“Ayo sini temenin ibu makan, gak
baik loh nolak rezeki.” katanya sambil menarik tanganku, memaksa untuk masuk.
Tak kuasa menolak, aku pun
menuruti permintaan Bu Rina. Aku masuk dan mengikutinya yang membawaku ke meja
makan.
“Silahkan duduk, nak Udin.” kata
Bu Rina.
“Iya, makasih, bu.” aku pun
duduk diikuti dengan Bu Rina yang ikut duduk. “Loh, bapak kemana, bu?” aku
bertanya melihat hanya kami berdua yang ada di ruangan itu.
“Tadi bapak ada tugas mendadak
ke Bengkulu, padahal Ibu susah masak, jadinya ga ada yang makan, makanya Ibu
ajak nak Udin makan sekalian, biar gak mubazir.” jawabnya.
Kami pun makan bersama sambil
mengobrol berdua. Mulai dari masalah makanan, hoby, tempat kost-an dan lain-lain. Selesai
makan aku hendak pamit, meski masih betah ngobrol dengan Bu Rina tapi tak enak
juga berduan dalam satu rumah. Apalagi sudah hampir malam, mungkin juga Bu Rina
mau melakukan aktivitas lainnya.
“Sudah dulu yah, bu, sudah malam.”
aku pamit.
“Nyantai aja, nak Udin, temenin
Ibu dulu kenapa.” tapi Bu Rina melarang.
“Ah, gak enak, bu. Kalau dilihat
orang kan gak enak.” aku berdalih.
“Ah, tenang aja, lagian ga akan
ada orang yang lihat. Mau ibu bikinin kopi?”
“Gak usah, bu, makasih.”
Namun Ibu Rina tetap membikinkan
kopi dan mengajakku untuk melanjutkan obrolannya di sofa di depan TV. Kami pun
melanjutkan obrolan tadi namun kali ini Bu Rina menanyakan hal tentang aku.
“Kamu sudah punya pacar, Din? Kok
ibu perhatikan kamu gak pernah ngajak perempuan ke sini, padahal kan usia
seumur kamu pasti lagi asyik-asyiknya pacaran?”
“Saya gak punya pacar, bu, lagi
konsentrasi kuliah dulu.”
“Tapi kalau pacaran pasti udah
pernah kan?”
“Gak juga, bu, paling kalau
sekedar suka sih pernah, tapi kalau pacaran belum.”
“Masa sih secakep kamu belum
pernah pacaran, Din? Kalau begitu sama donk kaya ibu.”
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Dulu ibu tuh nikah muda, usia
15 tahun ibu sudah dijodohkan, malahan waktu itu baru pertama bertemu Bapak
tapi ibu langsung dinikahkan. Usia 16 tahun ibu sudah punya anak.”
“Oh, pantes masih muda Ibu udah
punya cucu, kan Ibu masih cantik, gak kelihatan kaya nenek-nenek.” jawabku
sambil becanda.
“Ah, kamu bisa aja, Din.” Bu
Rina tersipu malu.
“Tapi meskipun belum pernah
bertemu akhirnya Ibu cinta juga kan sama bapak?”
“Gak tau juga yah, Din, mungkin
selama ini Ibu hanya berusaha menjadi seorang istri yang baik. Kalau dibilang
cinta mungkin ibu hanya menjalani tugas saja. Mungkin juga ibu bertahan hanya
demi anak saja.”
“Maksud ibu bertahan?”
“Yah, mungkin kalau ingin hati
ibu itu ingin berpisah. Bapak itu tidak pernah mau ngertiin ibu, keras kepala,
kadang kalau keinginannya gak sesuai suka main kasar.”
“Sabar aja yah, bu.” aku mencoba
menghibur.
“Loh, kok ibu malah jadi curhat
sama kamu sih, Din, maaf yah.”
“Ah, gak pa-pa kok, bu, sapa tau
aja bisa ngurangi beban ibu.” dengan spontan kupegang tangan Bu Rina.
“Gak tau kenapa yah, Din, akhir-akhir
ini hari-hari ibu terasa berbeda, seperti ada hal baru yang ibu rasain yang tak
pernah ibu rasain dulu.”
Aku juga merasa yang berbeda. Suatu perasaan yang tak
bisa ku pahami. Kalau sedang ngobrol dengan Bu Rina hati terasa tenang, terasa nyaman.
Untuk beberapa saat kami tertegun mata kami saling memandang. Pandangan yang
tak biasa yang membawa kami untuk beberapa saat berada di alam yang berbeda.
Bu Rina melepaskan genggaman
tanganku, tapi tanpa kuduga dia langsung memelukku. Aku hanya bisa terdiam
karena kaget. Lalu aku memberanikan diri membelai kepalanya yang masih tertutup
jilbab. Untuk beberapa saat kami berpelukan, lalu Bu Rina mengangkat kepalanya
dan kami saling bertatap mata lagi. Seperti sudah kompakan, bibir kami pun
langsung melaju hingga saling bersentuhan.
Cuuup… satu kecupan. Dan
diteruskan dengan kecupan-kecupan lain hingga kami saling mengulum bibir dan
bermain lidah. Sungguh nikmat kurasakan, bibirnya yang tipis manis dan ludahnya
yang hangat melambungkan birahiku hingga saat itu juga penisku mulai berdiri.
Namun tiba-tiba Bu Rina seperti
tersentak. “Maaf kan ibu ya, Din, ibu kelewatan.” katanya sambil
cepat-cepat melepaskan ciuman dan menarik pelukan.
“Ah, nggak kok, bu. Saya juga gak
bisa menahan.” aku menjawab. Mungkin ada rasa malu pada dirinya, namun dari
wajahnya, aku dapat melihat hal yang sama denganku. Birahi yang meninggi…
Kami terdiam, tanpa kusadari
tatapan Bu Rina tertuju pada celanaku, dia memperhatikan perubahan penisku yang
membesar. “Maaf, bu, gak bisa nahan.” dengan malu kututupi celanaku dengan
kedua tangan.
Bu Rina hanya tersenyum.
“Ah, ibu curang, gak kelihatan,
gak seperti aku.” aku coba bercanda untuk menutupi rasa maluku.
“Kamu juga kan tadi sudah lihat
celana dalam ibu, sudah pegang lagi.” sahut Bu Rina, matanya masih tertuju pada
tonjolan penisku.
“Tapi kan itu gak ada isinya, bu.
Kalau aku kan isinya yang menonjol yang dilihat ibu.”
“Apa kamu mau lihat juga celana
dalam yang ada isinya? Nih ibu kasih.” Aku terkaget ketika tiba-tiba bu Rina
berdiri dan menganggat baju gamisnya sampai ke pinggang hingga bisa kulihat
celana dalam warna krem yang menempel pada pantatnya yang montok. Aku hanya
melongo sambil menatap indahnya pantat Bu Rina tanpa berkedip. Lalu tiba-tiba
bu Rina naik ke pangkuanku dan langsung mencium bibirku. Aku hanya mengikuti
karena ini yang pertama bagiku dan aku tak tahu harus bagaimana.
Semakin lama hisapan Bu Rina kurasa
semakin kencang, lalu tiba-tiba Bu Rina memasukkan lidahnya ke mulutku sambil mendesah…
”Ssshhh… ssshhh...!” Ya ampun, nikmat sekali aku rasa saat lidah kami saling
bersentuhan dan bermain-main. Sambil menggesek-gesekkan vaginanya ke penisku, bu
Rina memegang tanganku dan mengarahkannya ke tonjolan buah dadanya, mengisyaratkan
untuk diremas. Aku pun mulai meremas-remas payudara sebelah kanan Bu Rina hingga
desahannya semakin kuat.
Bu Rina membuka kaos oblong yang
kukenakan dan dijilatinnya putingku dan sesekali menggigitnya. Aku hanya
terdiam, tubuhku serasa merinding. Jilatannya semakin bawah ke pusarku dan
langsung dibukanya celana jeans yang kukenakan. Penisku langsung menyembul
keluar karena telah bangun dari tadi. Tanpa disentuh langsung dimasukkannya benda
itu ke dalam mulutnya. Aku tersentak.
“Aww…!” erangku, keenakan
.
Bu Rina mengeluarkan penisku
dari mulutnya. “Kenapa, Din?” dia bertanya.
“Ngilu, bu. Tapi enak yah?”
jawabku cengingisan. “Ibu buka juga dong bajunya, masa aku aja yang telanjang.”
lanjutku.
Bu Rina tersenyum dan mencium
penisku, lalu dia mulai membuka bajunya satu persatu. Dibukanya jilbab yang ia
pakai hingga terlihat rambutnya yang lurus panjang terurai. Cantik sekali,
untuk pertama kali aku lihat bu Rina tanpa kerudung. Dibukanya juga baju gamis
dan celana panjang tipis yang melindungi kakinya, hanya menyisakan celana dalam
dan BH saja. Terlihat tubuhnya yang montok dengan payudara dan bokong yang besar, meski
terlihat sedikit kendur namun tidak mengurangi sedikitpun keindahannya. Lalu
dibukanya BH warna krem hingga payudaranya yang bulat besar menyembul keluar dengan
puting merah kecoklatan. Dan yang terakhir, bu Rina melepaskan celana dalamnya
perlahan-lahan, terlihat bulu-bulu tipis yang tampak dicukur rapi dengan bokong
yang besar dan seksi. Baru pertama kali aku melihat wanita telanjang bulat di depanku.
“Nih, udah sama telanjang, mau
diapain sekarang?” tanya Bu Rina menggoda.
“Hmm.. gak tau juga mau diapain,
bu.” jawabku jujur.
“Uh, dasar! Sini punya kamu dulu,
Din, Ibu mainin.” bu Rina langsung memegang penisku yang semakin tegang. “Tahan
yah, Din, nanti juga ngilunya jadi nikmat.”
Bu Rina menjilati penisku, dia
mengulum dan menghisap-hisapnya. Tampak jauh beda dengan Ibu Rina yang selama
ini aku lihat dengan watak yang tenang dan kalem, namun kali ini Bu Rina
terlihat begitu semangat dan menggebu-gebu.
“Ahh… bu, enak banget! Terus, bu,
jangan berhenti…!” erangku sambil memegangi kepalanya. Aku masih belum berani
menyentuh tubuhnya.
Bu Rina pun semakin kencang
mengulum penisku dan sesekali juga meremas-remas bijiku. “Gantian yah, Din.”
pintanya saat dirasa penisku sudah sangat licin dan basah.
Ia pun duduk di sofa dan membuka
kakinya, dengan perlahan Bu Rina menuntun kepalaku ke arah lubang vaginanya. Bisa
kulihat dengan jelas benda berbelahan sempit miliknya yang berwarna merah dan
sudah sangat basah. Awalnya aku sungkan, namun dengan bu Rina, lama-kelamaan
aku pun menikmatinya. Kuciumi bulunya yang tipis dan kujilat perlahan-lahan lubangnya.
“Aahhh... aaahhh… sssttt...
shhh…” hanya desahan dari Bu Rina yang kudengar saat kumasukan lidahku ke
lubang vaginanya. “Iya, sayang, terus! Sshhhs… Itu itilnya juga ya,
sayang!“
Berbunga-bunga aku dipanggil
sayang oleh Bu Rina. “Itil tuh yang mana, bu?” aku bertanya belum paham.
“Itu tuh yang seperti kacang tapi
kecil.” jawabnya parau.
Oke, aku menemukannya, ada di
atas bibir vagina bu Rina. Tanpa bicara lagi langsung aku jilati benda mungil
bernama itil itu. “Ouw yah, terus sayang...! isep yang kuat! Owwhhh… sssshhh…”
bukan hanya desahan kali ini, tapi juga erangan keluar dari bibir manis Bu Rina.
Rintihannya terdengar dahsyat. Bu
Rina memegang rambutku, mengisyaratkan agar aku lebih kencang menghisap-hisap
itilnya. Tubuh Bu Rina yang montok dan semok menggeliat dan
menggelinjang-gelinjang semakin kencang dan tak beraturan. Kupegangi pinggulnya
agar itilnya tetap dalam hisapanku.
“Oowwhhhhh…. Sayaaang!” erang
panjang Bu Rina. Kurasakan cairan hangat keluar dari lubang vaginanya. “Hhhh...
hhh… Ibu sudah keluar, sayang.” katanya sambil terengah-engah. “Sini, masukin
punya kamu, Din!” Bu Rina memegang penisku dan menuntunya masuk ke lubang vaginanya.
Cleebb! Kudorong penisku hingga masuk
menembusnya. Terasa hangat dan ketat kurasakan. ”Goyang, Din. Gerakkan maju
mundur, tapi jangan sampai lepas.” perintahnya. Mulai kugoyang pinggulku sambil
kupegangi pinggang ramping Bu Rina. Payudaranya yang membulat besar, yang
terlihat sungguh sangat menggiurkan, masih belum berani kupegang.
“Owh yeah, sayang… hmmmm...
sshhh.. yeah...” Bu Rina kembali mendesah. Kupercepat gerakanku yang terus
menghujam vaginanya. “Owhhh… ahhhhh… oowwssshhhhhh…“ desahannya terdengar
semakin memilukan. ”Aarrgghhhhhhhh...!” kembali Bu Rina mengerang panjang, dan
kali ini cairan hangat terasa menyembur di batang penisku. Ternyata dia telah
kembali orgasme.
“Kamu juga keluarin dong, sayang.”
rayu bu Rina genit dengan muka memerah dan berkeringat.
“I-iya, bu.” aku memang merasa
seperti kebelet namun kutahan dari tadi. Aku masih ingin menikmati rasa ini
sedikit lebih lama. “Ntar kalau keluarnya di dalam gimana, bu?” tanyaku sambil
terus menggoyang.
“Gak pa-pa, sayang, Ibu sudah di
KB kok. Mau gaya lain gak, sayang?” tawarnya.
“Gaya gimana, bu?” tanyaku yang
memang belum pengalaman.
Bu Rina mengeluarkan penisku dan
langsung nungging. Kulihat pantatnya yang masih kencang, mulus dan besar, lalu
dituntunnya lagi penisku masuk ke lubang vaginanya. “Hmm, nikmat, sayang!”
erang Bu Rina saat kutusuk tubuh montoknya dari belakang.
“Iya, bu. Nikmat baget…” aku
mengangguk mengiyakan. Ternyata gerakan nungging ini membuatku tak tahan. Semakin cepat kugoyang
Bu Rina, semakin terasa nikmat kedutan di ujung penisku. “Aaahhh….” aku mengerang keenakan.
“Ooowhhh… shhhh…” desis Bu Rina
tak kalah nikmat.
“Aku mau keluar, sayang.” tanpa
sadar, aku ikut memanggil Bu Rina dengan sebutan sayang.
“Aku juga, sayaaaang…!“ Bu Rina menjerit
panjang.
“Ahhhh…” aku menggeram. Lalu crottt..
crottt.. crottt.. aku pun meledak, spermaku berhamburan memenuhi liang
kewanitaannya.
“Ahhh… shhh… nikmat, sayanggg…”
Bu Rina menyambutnya dengan semburan yang tak kalah dahsyat. Dia kembali
orgasme untuk yang ke sekian kalinya.
Aku pun terkulai lemas di lantai
sambil menyandarkan tubuhku ke sofa. Bu Rina turun dari sofa dan ikut berbaring
di lantai dengan kepala diletakkan di pahaku. Untuk sesaat kami hanya tertegun
diam tanpa kata. Setelah nafas kami kembali teratur, aku segera mengenakan kembali
pakaianku, begitu juga dengan Bu Rina. Kami berpelukan dan berciuman sesaat
sebelum akhirnya berpisah malam itu.
Aku tertegun di kamar kost-anku,
perasaanku tak menentu, pikiranku kacau balau. Aku masih belum percaya dengan
kenikmatan yang baru saja kurasakan, namun di sisi lain ada perasaan takut
dengan apa yang telah terjadi. Mungkinkah suatu hari suami Bu Rina akan
mengetahui atau kah sikap Bu Rina akan berubah terhadapku. Tidak bisa
dipungkiri meski usia Bu Rina dua kali lebih tua dariku tapi ada perasaan yang
special terhadapnya.
Esoknya aku menjalani aktivitas
seperti biasa, bangun pagi dan berangkat ke kampus. Seperti biasa juga kulihat
Bu Rina sedang menjemur pakaian di depan kamar kostku. Namun ada yang tidak
biasa pagi ini, biasa nya Bu Rina selalu mengunakan jilbabnya bahkan sedang
menjemur sekalipun namun pagi ini kutemui Bu Rina menjemur tanpa jilbabnya,
bahkan hanya menggunakan daster tipis. Aku berjalan menuju luar, Bu Rina hanya
memandang sesaat, tanpa sapa bahkan tanpa senyum. Sungguh aneh aku rasa,
biasanya kalau aku lewat Bu Rina selalu menyapa atau setidaknya tersenyum.
Di kampus, pikiranku melayang,
pelajaran kuliah tak ada yang masuk. Pikiranku terus tertuju pada Bu Rina,
apakah Bu Rina menyesali apa yang telah aku dan dia lakukan sehingga sikapnya
dingin begitu. Aku tak bisa terus membiarkan pikiranku menerka-nerka. Sehabis
mata kuliah pertama aku langsung pulang, aku memberanikan diri bertanya pada
Ibu Rina.
Tanpa masuk ke kamar kost, aku
langsung menuju pintu rumah Bu Rina. “Pagi, bu.” sapaku, kebetulan pintu
belakang rumah Bu Rina tidak tertutup.
“Masuk aja, Din.” terdengar
sahutan dari dalam rumah. Kutemui Bu Rina yang sedang menonton TV dengan masih
mengggunakan daster merah muda yang tadi pagi.
Setelah dipersilahkan duduk, aku
pun memulai percakapan. “Maaf, bu, ada yang ingin kubicarakan.” Bu Rina hanya terdiam
dan nampaknya dia juga tahu akan arah pembicaraanku. “Maaf ya, bu, kalau aku
lancang, aku mau bertanya tentang yang kemarin.”
“Memangnya kenapa, Din?”
“Maaf ya, bu, dengan yang
kemarin.”
“Kenapa minta maaf?”
“Sepertinya Ibu menyesali dengan
yang terjadi kemarin.”
“Hmm…” Bu Rina terdiam sejenak
sambil menarik nafas. “Ibu gak menyesal kok, Din, justru ibu merasa malu sama
kamu.”
“Loh, kok malu sama aku, bu?”
“Yah, kamu masih muda, masa ibu
yang sudah tua ini suka sama kamu.”
“Yah, aku juga gak tahu, bu,
tapi aku juga merasakan perasaan yang aneh terhadap ibu, entah kenapa tiba-tiba
aku merasa takut karena kemarin sikap ibu menjadi berubah dingin seperti tadi.”
“Ibu bukan dingin, Din, ibu juga
bingung harus gimana. Apalagi tadi pagi ibu sudah sengaja menggunakan baju ini
tapi kamu terus berjalan tanpa melirik sama sekali.”
“Oh, jadi untuk aku ya, bu?”
“Gak tau kenapa bangun tidur
tadi ibu ingin merasakan kembali seperti kemarin, jadi ibu langsung menggunakan
baju ini, eh tapi kamunya lurus terus gak ngelirik sekalipun.”
“Seperti kemarin gimana, bu,
bukannya ibu sering seperti itu?”
“Yah, ibu memang sering
berhubungan intim seperti itu, tapi yang kemarin beda banget.”
“Beda gimana, bu?”
“Seumur-umur ibu baru ngerasain
keluar lebih dari 1 kali dalam sekali main, kalau sama suami ibu paling cuma
sekali, bahkan sering juga ga keluar sama sekali.”
Aku tidak bisa komentar sama
sekalai, aku hanya bisa pandangi wajah Bu Rina saat bicara, gerak bibirnya yang
tipis memancarkan pesona yang mendalam dan menaikkan hasratku untuk melumatnya.
“Kenapa, Din?” dia bertanya.
“Ah, gak pa-pa, bu.” aku
terkaget. “Hmm, daster ibu masih sama, berarti dari pagi ibu belum mandi donk.”
aku coba alihkan pembicaraan.
“Ah, kamu, Din, ibu kan jadi
malu.” wajah cantik bu Rina bersemu merah.
“Tapi meski belum mandi ibu
tetap cantik kok.” kataku.
“Ah, masa sih, ibu kan sudah tua
gini. Ya sudah lah, ibu mandi dulu.” bu Rina langsung beranjak masuk ke kamar
mandi, entah kenapa dia langsunag mandi tanpa menungguku pulang dulu dan entah
kenapa juga pintu kamar mandinya dibiarkan terbuka gitu.
“Maaf, bu, kok pintunya gak
ditutup?” tanyaku dari luar.
“Ah, kamu, Din. Gak ngerti aja,
cepetan masuk sini.” timpalnya dari dalam.
Aku pun masuk ke kamar mandi, Bu
Rina tiba-tiba langsung memelukku dan mencubuku seperti seorang yang sedang
kesurupan sampai-sampai bibirku digigitnya. Nampaknya sudah dari pagi
hastratnya dipendam. Dibukanya daster merah mudanya dan ternyata sudah tanpa BH
dan CD sehingga telanjang bulat lah dia.
“Jilati memekku, Din.” pintanya
sambil menaruh bokong di atas closet duduk yang tertutup.
Memek? Pikirku, aneh kata itu
bisa terucap dari mulut Ibu Rina yang selama ini selalu santun dalam bertutur
kata. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju arah memeknya yang sudah
mengaga. Kurasakan cairan di dalamnya, ternyata sudah basah. Kugoyangkan
lidahku membelai klitorisnya dan dengan seketika tubuh Bu Rina menggeliat dan mendesah.
“Aaaahh… terus, sayang.” tangannya
memegang kepalaku dan sesekali menjambak rambutku ketika rangsanganku makin menghebat.
Kuangkat kakinya ke pundakku agar semakin leluasa aku bereksplorasi di bagian
selangkangan Bu Rina. Sesekali aku jilati lubang pantatnya yang berwarna coklat
hingga tubuh Bu Rina pun menggeliat dengan hebatnya.
“Aaahh…” terdengar teriakan Bu
Rina. “Pelan-pelan, sayang.” ternyata dia kaget saat kugigit klitorisnya.
“Eh, iya, bu. Gantian ya, bu.”
aku pun berdiri sambil membuka bajuku, dan tanpa kuminta, Bu Rina langsung
membuka celana dan CD-ku hingga langsung menyembul lah penisku dengan
kencangnya. Tanpa menunggu lama, Bu Rina langsung memasukkan penisku ke
mulutnya, perlahan tapi pasti gerakannya membuatku merinding nikmat. Dijulurkan
lidahnya dan dijilatinya inci demi inci batang penisku, mulai dari biji zakar
sampai kepalanya, terus begitu bolak-balik. Terlihat wajahnya begitu menikmati
layaknya anak kecil makan es krim.
“Auw!” aku tersentak kaget saat tiba-tiba
kepala penisku digigitnya. Namun kulihat Bu Rina malah tersenyum nakal.
“Gantian tuh…” bisiknya.
“Ah, ibu nakal.” kataku sambil
kucubit pipinya.
Bu Rina pun berdiri sambil terus
memegangi penisku, dituntunnya aku duduk di atas WC dan ia pun langsung naik ke
pangkuanku sambil menuntun penisku masuk ke dalam lubang vaginanya.
“Aaaaahhh…” sambil mendesah, kulihat
matanya terpejam saat penisku masuk menerobos vaginanya. Terasa kehangatan
menyelimuti batang penisku, nikmat sekali. Bu Rina mulai menggoyang-goyangkan
pinggulnya naik turun, sesekali juga digoyangkan berputar. Didekatkannya
dadanya sehingga payudaranya menempel tepat di wajahku, kujilati putingnya dan
sesekali kugigit, namun kali ini bukan jeritan yang keluar dari mulut manis Bu
Rina, tapi desahan yang semakin mendera.
“Owhhh... ahhhh… nikmat, sayang.”
jeritnya. Dituntunnya tanganku ke pantatnya. Sumpah, seksi banget pinggulnya,
walau sudah berumur namun pantatnya belum turun sama sekali dan seperti jarang
terjamah. Kuremas-remas
daging bulat itu sambil sesekali kuelus-elus paha mulusnya.
“Hmm… yeah, begitu, sayang!”
nampaknya Bu Rina menikmati ketika aku memainkan lubang anusnya. Kucoba untuk
memasukan jariku kesana, namun tidaklah mudah karena begitu rapatnya, hanya
ujung kukuku saja yang dapat menerobos masuk.
Tak lama kemudian kudengar
desahan panjang yang mulai tak asing. “Aaahhhhhhh…” tubuh montok Bu Rina menggeliat
dengan hebatnya yang menandakan dirinya sudah mencapai orgasme. Penisku terasa
nikmat tercengkeram jepitan vaginanya, dan ujung jari telunjukku pun ikut
terjepit lubang pantatnya.
“Udah keluar, bu?” tanyaku.
“Iya, sayang.” jawab bu Rina dengan
nafas yang belum beraturan. “Sebentar ya, sayang.” katanya sambil merebahkan
tubuhnya ke dadaku. Kupeluk dia dan
kubelai rambutnya yang panjang lurus terurai dan sesekali kukecup keningnya
dengan penis yang masih menancap dalam di lubang vaginanya.
“Nikmat baget, sayang, sampai aku
lemas gini. Mau gantian, sayang?” tanyanya mesra.
“Hmm, terserah ibu saja deh.”
jawabku.
“Gantian ya, kamu yang ngegoyang
aku. Tapi sebelum
itu, boleh minta sesuatu gak?”
“Minta apa, bu?” tanyaku.
“Kalau kita lagi berdua, jangan
panggil ibu dong, panggil aja Rina atau apalah.” katanya sambil memainkan
pentil dadaku.
“Ah, ntar gak sopan, bu.” aku
berkilah.
“Kamu sayang aku gak? Kalau
sayang, jangan panggil ibu dong.” dia meminta lagi.
“Iya, Rinaku sayang.” kukecup
bibirnya dan saat itu juga wajahnya tersipu merona. “Terusin yuk, bu... eh,
Rina sayang.”
Bu Rina menatap wajahku, lalu ia
turun dari pangkuanku dan gantian, sekarang dia yang duduk di atas WC dengan
mengangkangkan kedua kakinya. Kuhujamkan penisku ke vaginanya dalam-dalam lalu kukocok
dengan cepat hingga desahan Bu Rina pun kembali keluar.
“Ahhh... sayaang!” nampaknya Bu
Rina mencapai oragame lagi, begitu cepat, tidak sampai tiga menit.
“Lho, sudah keluar lagi,
sayang?” aku bertanya heran.
“He-eh.” bu Rina mengangguk
malu-malu.
“Kok cepet banget?” sambil terus
kutusukkan penisku untuk menggenjot tubuh sintalnya.
“Iya, gak tau nih. Kalau sama
kamu, aku jadi cepet banget.” muka bu Rina tersipu. “Kamu juga keluarin donk sayang.”
dia meminta.
“Kalau begitu, Rina sayang,
nungging yah...” kataku selanjutnya.
Bu Rina pun langsung nungging
dengan tangan bertumpu pada bak mandi. Kuhujamkan penisku ke vaginanya dari
belakang. “Aaaahhh…” wanita itu menjerit nikmat. Begitu juga denganku.
Kupercepat kocokanku sambil
kuremas payudaranya, terdengar suara pok.. pok.. pok.. saat hujamanku mengenai
pantatnya yang seksi. Lubang anusnya yang berkerut-kerut membuatku tergoda
untuk memainkannya. Kutekan-tekan dengan jempolku dan kucoba mencoloknya.
Sedikit demi sedikit jempolku masuk ke lubang pantanya dan saat itu juga kurasakan
vaginanya menjadi bertambah kencang mencengkeram penisku. Desahan Bu Rina
sekarang sudah mulai berubah menjadi erangan.
“Aarrgghhhhh... sayang! Aku mau
lagi…” jeritnya.
“Iya, sayang mau apa?” jawabku
tanpa menghentikan hujamanku.
“Mau…. ke-keluar… aarrgghhhhh…”
saat itu juga penisku terjepit dengan kerasnya. Sekali lagi Bu Rina orgasme.
Aku yang juga sudah tak tahan, menyusul tak lama kemudian. Penisku meledak, menyemburkan
mani ke dalam vaginanya. Croot.. crooot.. croooot.. terasa cairan hangat
mengalir dari ujung penisku.
“Arghhh... Rina sayang!” erangku
keenakan. Aku tersungkur di lantai kamar mandi, demikian juga dengan bu Rina. Namun
itu tak lama, karena selanjutnya kami mandi bareng. Saling menyirami, saling
menggosoki tubuh masing-masing dengan sabun, dan membilasnya sampai bersih.
“Bisa minta tolong gak, sayang?”
tanya bu Rina saat menyeka tetesan air di tubuh mulusnya dengan handuk.
“Minta tolong apa, sayang?”
tanyaku balik.
“Aku lemes. Gendong aku ke kamar
ya?” pintanya dengan manja.
“Apa sih yang nggak buat Rinaku
sayang.” tanpa basa-basi, langsung kuangkat tubuh molek Bu Rina menuju
kamarnya.
Di dalam, kami tidak langsung
memakai baju. Kami berdua tidur terlentang di kasurnya Bu Rina, rasa capek
menghinggapiku dan tanpa kusadari aku pun tertidur, dengan tubuh telanjang Bu
Rina berada di pelukanku.
***
Aku terperanjat dari tidurku,
kulihat jam di dinding sudah menunjukan pukul sembilan malam, ternyata sudah
dua jam aku terlelap tidur. Kupandangi diriku, masih tampak telanjang namun
sehelai selimut sudah menutupi tubuhku. Kulihat sampingku dan sekeliling kamar,
ternyata Bu Rina sudah tidak ada. Aku beranjak dari tempat tidur, dengan
selimut yang kubelitkan, aku menuju kamar mandi hendak cuci muka dan mengambil
pakaianku yang masih tertinggal di sana. Ketika keluar kamar mandi, kudapati Bu
Rina sedang menyiapkan makanan di meja makan.
“Udah bangun ya? Makan dulu yuk,
sayang.” sapanya dengan senyuman manis.
“Eh, iya, bu.” jawabku
malu-malu.
“Eits…” jari telunjuknya
mengangkat sambil mendelik ke arahku.
“Eh, iya, sayang.” nampaknya aku
masih belum terbiasa tidak memanggilnya ibu. Kupandangi bu Rina dengan seksama,
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia nampak berbeda. Rambutnya yang lurus
dibiarkan terurai sampai setengah punggungnya. Wajahnya yang manis tambah
semakin cantik saja dengan riasan tipis yang menawan. Tubuhnya yang montok
terlihat jelas setiap lekukannya, meski tidak langsing lagi namun terlihat
kencang terawat. Bu Rina hanya mengenakan pakaian tidur transparan warna putih
dengan motif bunga yang panjangnya sepaha dan mengunakan CD yang juga
transparan. Tampak jelas payudaranya terlihat karena tidak mengenakan BH.
Pantatnya tercetak indah pada pakaian tidurnya.
“Kok ngelihatnya kaya gitu
banget sih?” tanya bu Rina.
“Kamu cantik banget.” aku hanya
bisa terpana.
“Ah, masa sih?” Bu Rina tersipu
malu.
Aku menghampirinya dan duduk di
kursi meja makan yang sudah tersedia hidangan. Bu Rina lalu mengambilkan nasi
dan lauknya serta memberikan kepadaku. Selanjutnya bu Rina duduk di pangkuanku.
“Suapin aku ya, say.” pintanya manja.
“Ih, kaya bayi aja deh.” jawabku
sambil meremas payudaranya gemas.
“Lha, kan tadi udah dimandiin,
ya sekarang tinggal disuapinnya dong.”
Kami pun makan bersama dan
saling suap-suapan, sesekali kami bercanda. Nampak indah aku rasa hari itu.
Demikian juga dengan Bu Rina, wajahnya memancarkan keceriaan yang seperti
mengembalikannya ke masa mudanya.
“Tidur di sini ya, sayang?” pintanya.
“Emang bapak kapan pulangnya?”
tanyaku.
“Seminggu lagi baru pulang, kamu
di sini aja ya temenin aku.”
“Hmm, kalau dengan suami, Rina
suka seperti ini gak?”
“Seperti ini gimana?”
“Ya, manja-manjaan gini?”
“Hmm.. Boro-boro, aku manja
dikit aja udah dibilang kaya anak kecil, justru yang ada malah aku dimarahi.
Emang kamu gak suka ya aku kaya gini?” wajanya cemberut.
“Ya suka lah, sayang.”
“Hmm.. jadi gimana, mau tidur di
sini kan?”
“Iya deh. Mau tidur sekarang?”
tanyaku.
“Hmm, main dulu ya?” jawab bu
Rina sambil tersenyum.
“Main apa, Rin?” jawabku
pura-pura gak tau.
“Tuh dedenya sudah bangun lagi…”
Bu Rina menggodaku.
“Ah, kamu tahu aja.” kuremas
lagi payudaranya.
“Ya tau donk, kan ada yang
ngeganjal nih di bawah. Ke kamar yuk!” ajaknya.
“Ayo, sapa takut.” kutanggapi
ajakannya.
“Ya ayo.” bu Rina
tersenyum-senyum.
“Ya turun donk, sayang.” mana
bisa jalan kalo dia masih pangku seperti ini.
“Gak mau. Pengennya diangkat
lagi.” manjanya mulai keluar lagi. Entah kenapa manjanya ini yang sangat aku
sukai.
Kami pun beranjak ke ranjang di
kamar, kurebahkan tubuh montok Bu Rina ke atas kasur. Tanpa basa basi kuciumi
bibirnya, kulumat penuh nafsu. Demikian juga dengan Bu Rina, membalas ciumanku
dengan nafsu yang bergelora juga. Kumasukan lidahku ke mulutnya, lidahnya pun
menyambut lidahku, lidah kami bergulat dengan menggebu, sesekali lidahku
dihisapnya. Tanganku pun gak mau kalah, kuremas payudaranya yang 38D,
kupilin-pilin putingnya. Desahannya kian menjadi, kujilati lehernya,
kukeluarkan payudaranya dari baju tidurnya dan sampailah jilatanku di putingnya.
Nampaknya kali ini Bu Rina sudah tak tahan dengan pemanasan lama-lama.
“Langsung masukin, Say.” dia
meminta.
“Sekarang?” tanyaku heran.
“Iya, cepet, sayang.” tangan bu
Rina langsung mengarahkan penisku ke vagina. Dengan digosok-gosokkan sebentar,
penisku langsung dihujamkannya. Dipeluknya tubuhku sampai aku menindih
tubuhnya, diciuminya mulutku dengan penuh nafsu. Aku hanya menggenjotnya dan
mengikuti permainan yang Bu Rina mau. Tubuhnya menggeliat, dilepaskannya ciuman
mulutku lalu kakinya diangkat ke pundakku. Pada saat itu, aku rasakan jepitan
vagina yang luar biasa, dan tak lama kemudian tubuh Bu Rina menggeliat dengan
hebatnya dan erangan kerasnya pun keluar.
“Aahhhhhh… sayang, aku keluar!”
tubuh bu Rina lemas seketika, dan aku pun menghentikan genjotan. Kucium keningnya
dan berbaring di sampingnya, memberi waktu bagi wanita cantik itu untuk
mengunpulkan tenaga kembali.
“Say…” suaranya lirih di
telingaku.
“Iya,” jawabku.
“Kamu belum keluar ya?”
“He-eh.” jawabku. “Sudah siap untuk
nerusin lagi?” sambungku.
“Ayo, tapi minta yang belakang
ya?”
“Sambil nungging gitu?” tanyaku.
“Iya, tapi lubang yang satunya
lagi. Tadi waktu di kamar mandi pas kamu mainin itu enak banget rasanya.”
“Lubang pantat??” tanyaku heran.
“Iya, sayang. Mau ya?” pintanya
setengah memohon. Bu Rina pun langsung mengambil posisi nungging, aku bingung
gimana harus memulai yang satu ini. Kucoba masukkan kepala penisku ke lubang
pantat Bu Rina namun setelah beberapa kali berusaha tetap gak bisa. Lubang itu
terlalu kecil dan rapat.
“Coba mainin dulu, Say.” kata bu
Rina.
Tanpa menjawab, aku pun segera memainkan
jariku di lubang pantatnya. Kutekan-tekan perlahan, kugunakan ludahku untuk
melumasinya karena kering. Perlahan-lahan ujung jariku masuk dan Bu Rina pun
mengerang sambil menggeliat. Kutekan jari telunjukku sehingga masuk semua ke
lubang pantatnya, dia pun langsung menjerit mengerang. “Aaaahhhhh…”
“Kenapa, Say, sakit ya?”
tanyaku.
“Hu-uh.” jawab bu Rina singkat.
“Mau diterusin gak?”
“Terusin aja, Say, nanti lama-lama
juga nikmat.”
Kukeluarkan jariku, kucoba memasukkan
kembali penisku ke lubang pantat bu Rina. Meski tidak selancar seperti masuk ke
vagina, namun kali ini penisku berhasil masuk. Tapi kali ini aku
terkaget-kaget, kulihat darah merah keluar dari sekitar lubang pantatnya. Kulihat Bu Rina
hanya terpejam menggigit bibirnya sambil menahan erangan.
“Gimana nih, Say, berdarah
gini?” aku tak tega untuk mulai menggoyang.
“Terusin aja, Say, tanggung.”
jawab bu Rina. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kalau dia merasakan sakit
di pantatnya, namun rasa penasaran yang begitu besar mengalahkan rasa sakitnya.
Namun sebaliknya dengan aku, kurasakan nikmat sekali, penisku terasa dicengkeram
kuat, lebih nikmat daripada dimasukkan ke lubang vagina.
Pelan, kukocok penisku, namun
tak secepat seperti di vagina. Lubang pantat bu Rina yang begitu rapat menjadikan
penisku terbatas dalam bergerak. Aku juga sengaja tidak mempercepat gerakanku
agar bu Rina tidak semakin sakit. Hanya 5 menit, penisku langsung mengeluarkan isinya.
Cengkeraman pantat bu Rina yang kuat menjadikan penisku tak dapat menahan
sperma seperti biasa. Kurasakan nikmat yang begitu dasyat, namun dari
tanda-tandanya, aku tidak melihat kalau bu Rina mencapai orgasme.
“Udah keluar nih, kamu belum
ya?” tanyaku.
“Hu-uh.” jawabnya singkat,
mungki masih merasakan sakit di pantatnya.
“Gimana dong?”
“Gimana apanya?”
“Kamu kan belum keluar.”
“Ah, gak pa-pa.”
“Sakit ya, Say?” kupeluk dari
belakang tubuh Bu Rina yang masih tengkurap. Entah kenapa ada perasaan bersalah
karena telah membuatnya kesakitan.
“Gak pa-pa kok, Say. Ntar sakitnya juga ilang, sama kaya waktu pertama kali
memekku diperawanin.” kata bu Rina.
Aku tak membalas lagi ucapannya.
Aku hanya
memeluknya dan membelai rambutnya dengan sayang. Malam itu pun untuk pertama
kalinya aku tertidur semalaman dengan seorang wanita dalam pelukanku.
***
Entah berapa kali dalam seminggu
itu aku berhubungan badan dengan Bu Rina, tidak bisa dihitung sepertinya. Tidak
pagi, siang, atau malam, pokoknya kalau mau, langsung saja kami berhubungan
badan. Tidak hanya kebutuhan batinku saja yang terpenuhi, Bu Rina pun selalu
menyiapkan makanan dan mengurus keperluanku.
Setelah suaminya pulang, kami
tak lantas berhenti berhubungan badan. Pada siang hari, kami selalu mencuri-curi
waktu untuk saling memuasakan birahi. Bukan hanya birahi, rasa sayang pun kian
menjadi, bahkan menjadi cinta. Tak jarang juga saat Bu Rina sedang dengan
suaminya, timbul rasa cemburu di dadaku. Mungkin ini terlarang, bahkan dosa,
namun semua itu seakan sirna saat tubuhku dan tubuh Bu Rina bersatu. Aku sudah
seperti suaminya di siang hari dan kalau suaminya sedang tugas keluar kota, dia
menganggapku suami sepenuhnya. Hubungan sembunyi-sembunyi ini terus kami lakukan sampai
aku lulus kuliah.
Setelah aku lulus, tak ada lagi
alasanku untuk menetap di kost-an Bu Rina. Aku juga tak punya alasan untuk
mengujunginya, nanti bisa menimbulkan kecurigaan. Namun hubunganku dengan Bu
Rina tidak sepenuhnya terputus. Kami masih suka bertemu melepas kerinduan yang selalu diteruskan
dengan melepas birahi dengan bercinta. Mungkin hanya dua minggu sekali atau
pada situasi yang memungkinkan, namun karena frekuasi yang berkurang itu
menjadikan hubungan seks kami menjadi lebih nikmat.
***
Asap mengepul dari mulutku
setelah rokok kuhisap. Sudah hampir 15 menit aku duduk menunggu di depan hotel
melati murahan di kota Bandung. Dari arah gerbang hotel datanglah sosok yang
sudah aku nanti dari tadi. Wanita dengan baju muslim, lengkap dengan jilbabnya dan
tas kecil yang ditentengnya. Tanpa keluar sepatah katapun, kami langsung menuju
kamar di belakang yang sudah aku pesan tadi. Setelah masuk kamar, pintu
langsung aku kunci. Kami langsung berpelukan. Hampir 5 menit lebih kami
berpelukan erat. Rasa rindu yang menggebu dua insan yang saling mencinta
bersatu dalam sebuah pelukan.
Kukecup keningnya. “Kangen, Say.” kata itu
yang pertama terucap dari mulutku.
“Sama,” bu Rina menjawab lirih. Hampir
sebulan kami tidak bertemu. Suami Bu Rina telah pensiun dan juga mereka habis berlibur
ke luar kota.
“Gak ilang juga…” bisikku.
“Ilang apanya?” Bu Rina bertanya.
“Cantiknya.”
“Ah, bisa aja kamu, Say. Kamu
gimana kabarnya?” Bu Rina balik bertanya.
“Baik.” aku menjawab.
“Kalau dede nya?”
“Hmm, kangen ya sama dedeku?”
kucubit pipinya.
Saat itu juga kami langsung
berpelukan. Bibir kami menari-nari saling melumat, lidah kami bergumul dengan
hebatnya dan ludah kami bercampur. Tanganku mulai merayap menuju gundukan
daging di dadanya. Dengan penuh nafsu kuremas payudara itu. Tangan Bu Rina pun
tak mau kalah, diremas-remasnya pula tonjolan di celanaku, yah penisku yang
telah bangun dan minta dikeluarkan dari celana.
Satu per satu kami saling
melepas pakaian sampai kami telanjang bulat. Bibirku terus menjilati mulut, pipi,
telinga, leher, dan payudaranya. Di daerah payudara, jilatanku cukup lama. Kumainkan
puting coklat Bu Rina yang sudah mengeras. Desahan terus keluar dari mulut Bu
Rina yang manis tipis. Jilatan lalu kuterukan ke perutnya. Di pusarnya, lidahku
menari-nari. Dan terus turun semakin ke bawah, menuju bulu rambut kemaluan Bu
Rina.
Seolah mengerti, Bu Rina membuka
kakinya sehingga terlihatlah vaginanya yang sempit dan legit. Tercium aroma
khas yang menyengat, namun aroma itulah yang aku rindukan. Lidahku terus
berkelana, klitorisnya yang menyembul menjadi sasaranku selanjutnya. Keras
terasa di lidahku, semakin menggeliat pula tubuh Bu Rina saat lidahku menyentuh
klitorisnya. Selanjutnya lubang vagina, lidahku menari-nari masuk keluar
lubangnya. Kugigit juga bibir vagina Bu Rina yang seperti jengger pada ayam.
Hampir 5 menit lidahku
menari-nari di daerah vagina, dan akhirnya sampai juga pada moment yang
kutunggu-tunggu. Yah, bu Rina orgasme. Ada perasaaan bahagia, senang, bangga
saat aku bisa membuat wanita cantik itu orgasme.
“Aku sudah keluar, Sayang!” bu
Rina berbisik lirih dengan nafas yang belum teratur. Dia lalu beranjak bangun,
mengerti dengan tugasnya selanjutnya. Sambil berlutut, dihisapnya penisku
dengan lahap. Hampir semua batangku dijelajahi dengan lidahnya, buah zakarku juga dikulum
di mulutnya.
“Terus, sayang…” ucapku. Bu Rina
semakin cepat dengan kulumannya.
Aku yang sudah horny, segera menelentangkan
tubuh Bu Rina di atas ranjang. Tanpa basa-basi, langsung kutancapkan penisku ke
vaginanya. ”Ahhh… “ Bu Rina merintih saat penisku menerobos masuk kemaluannya.
Kuangkat kaki Bu Rina ke
pundakku, aku tahu posisi itu lah yang paling disukai oleh Bu Rina, katanya
penetrasinya lebih terasa. Setahap demi tahap kocokanku semakin kencang,
demikian pula dengan desahan Bu Rina. “Ahhh... aku mau keluar lagi, sayang.”
jeritnya.
Mendengar itu, semakin cepat
pula kocokanku. Hingga akhirnya, “AAAGGHHHHHHHHH...!!!” tubuh Bu Rina
menggeliat kencang, tangannya meremas kain seprei. Aku tahu, dia sudah orgasme
lagi.
“Hah.. hah.. hah..” nafasnya
masih belum beraturan, namun tidak aku beri kesempatan berlama-lama. Aku segera
membangunkannya dan meminta berganti posisi. Kini aku yang telentang, Bu Rina
langsung menaikiku dan menuntun masuk penisku ke vaginanya. Seperti anak kecil
yang menaiki kuda, Bu Rina terus mennggenjotku. Payudaranya yang sudah sedikit
kendur ikut bergoyang naik turun mengikuti irama tusukanku. Sambil sesekali
membetulkan rambutnya yang terurai, mulut Bu Rina tak berhenti mengeluarkan
desahan. Tanganku pun ikut aktif memainkan klitorisnya untuk menambah kenikmatan.
Dan hanya 5 menit berselang, orgasme ketiga Bu Rina.
“Aahhhh… nikmat, sayang!” tubuh
Bu Rina terkulai lemas di atasku, penisku masih berada di dalam vaginanya. Kupeluk
dia, kuciumi pipinya. Bu Rina berbisik di telingaku. “Anal yuk, sayang?”
Aku hanya mengangguk menyetui
permintaannya. Bu Rina langsung menungging, lubang pantatnya sekarang sudah
longgar dan tidak serapat dulu sehingga tidak perlu waktu lama, penisku pun
sudah berada di dalam pantatnya.
“Nikmat, sayang. Terus, aku
milikmu!” Kalau sudah anal, memang bukan hanya desahan, namun mulut bu Rina pun
tak berhenti meracau. “Pukul pantatku, plissss…” dia meminta.
Plak.. Plak… Plaaaak… Kupukul pantat
bu Rina yang montok dengan telapak tanganku. Warna putih mulus pantatnya kini
berubah menjadi memerah.
“Kurang keras, sayang! Yang
keras mukulnya! Lebih keras lagi!” pintanya lagi.
Plaaak… Plaaakk… semakin keras
pukulanku, dan semakin kencang pula kocokanku di pantatnya. “Aahhhhhh…” Bu Rina
menjerit. “aku keluar, sayang! arghhhhh…” tubuhnya berkedut-kedut saat dari
dalam liang vaginanya menyembur cairan hangat yang banyak sekali hingga
membasahi lantai.
“Aku juga, Say!” crot.. crot..
crot..!! spermaku menghujam di dalam pantat Bu Rina dan saat kukeluarkan penisku,
nampak spermaku berceceran keluar dari lubang pantatnya. Bu Rina tengkurap
lemas, sementara aku terbaring terlentang di sampingnya. Untuk beberapa saat,
kami terdiam karena kecapekan. Kusibakkan rambutnya hendak mencium pipinya,
namun aku terkaget ketika melihat air mata menetes dari mata Bu Rina.
“Kenapa menangis, Say?” tanyaku
heran.
“Ini untuk yang terakhir kali, Sayang.”
jawab bu Rina Lirih.
“Kenapa terakhir?” aku semakin
heran, apa dia sudah bosan? “Ibu sudah gak menginginkan aku lagi?”
“Nggak. Bukan begitu. Aku sayang kamu, aku
cinta kamu, tapi ini harus.” tangisannya menjadi. “Aku akan pindah ke Makasar.”
“Tapi aku gak mau pisah.” aku
tidak bisa menerima keputusannya. “Kenapa?” aku menuntut penjelasan.
“Aku cinta kamu, Din, tapi aku
gak mau menghancurkan hidup kamu, masa depan kamu, selamanya kita tidak mungkin
bisa bersama.”
Aku hanya tertegun, hatiku
hancur berkeping-keping.
“Selamanya aku cinta kamu, Din.
Maafkan aku…” kata bu Rina untuk terakhir kali.
***
Lima tahun sudah perpisahanku
dengan bu Rina. Kami tidak pernah berkomunikasi, tidak ada kabar sedikitpun. Mungkin ia
sengaja demikian dan aku juga tidak mencari jejaknya karena hanya akan membuat
perasaanku sakit. Yah, setelah 5 tahun berpisah, perasaanku terhadap Bu Rina
tidak hilang sehingga selama lima tahun ini juga aku tidak berhubungan khusus
atau pacaran.
Aku bisa menahan perasaan,
tetapi tidak dengan birahiku. Kebiasaanku berhubungan badan dengan Bu Rina
rupanya telah menjadi candu yang selalu ingin terpuaskan. Mungkin selama enam
bulan syahwatku bisa tertahan, namun lambat laun birahiku berontak minta dilampiaskan.
Akhirnya WTS lah yang menjadi sasaran pemuas birahiku, tidak perlu hubungan
khusus atau perasaan, asal ada uang birahi pun terpuaskan.
Sudut-sudut kota Bandung sudah
kujelajahi untuk memuaskan birahiku. Mulai dari Saritem yang terkenal, Tegalega,
stasiun KA, sampai ke gang-gang yang kumuh. Aku sudah hapal betul tempat-tempat
yang aman untuk memuaskan birahi. Mulai yang kurus sampai yang gendut seperti
gajah, mulai ABG anak SMA sampai nenek-nenek yang banyak kriputnya, mulai yang
tarif 2 juta sampai yang 50 ribu telah aku coba, namun tak ada satu pun yang
seindah Ibu Rina.
Umurku sekarang sudah 29, usia
yang sudah layak untuk berumah tangga. Keluargaku selalu mendorongku untuk
menikah karena umurku yang sudah cukup dan pekerjaanku yang sudah tetap dengan
penghasilan yang lumayan. Beberapa kali mereka mencoba mencarikan calon istri
buatku namun aku selalu menolak. Bukan karena kurang cantik atau kurang apapun,
tapi aku memang tidak bisa menikah tanpa adanya perasaan.
Hingga suatu saat, ketika reuni
akbar di sekolahku dulu, aku bertemu dengan seorang wanita. Risna namanya, adik
kelasku beda 2 angkatan. Aku dulu memang akrab dengan dia, bahkan dekat sekali,
tapi selama itu, aku hanya menganggap dia tak lebih sebagai adik. Dari acara
reuni itu, kami saling tukar nomor telepon, kami pun lebih sering berhubungan.
Sebenarnya dari dulu aku mengetahui kalau Risna memendam perasaan kepadaku,
namun karena waktu itu aku hanya konsentrasi sekolah maka aku selalu
mengabaikan hal-hal yang seperti itu.
Risna belum menikah, bahkan dari
pengakuannya, dia belum pernah pacaran sama sekali. Mungkin terasa aneh ketika
wanita umur 27 tahun belum pernah pacaran, tapi itulah dia. Setelah lulus SMA
dulu, dia tidak melanjutkan kuliah, tapi lebih memilih langsung bekerja untuk
mengobati sakit bapaknya dan membiayai sekolah dua adiknya. Dua tahun yang lalu
bapaknya meninggal karena sakit, dan sekarang adik-adiknya sudah pada lulus
sekolah, mungkin sudah saatnya dia untuk mencari pasangan hidup, namun sialnya
justru aku lah yang menjadi sasarannya.
Awalnya aku menolak, karena dari
dulu aku selalu menganggapnya adik, namun akhirnya aku bersedia juga
menikahinya. Rasa sayang ada, namun tidak dengan cinta. Yah, memang sudah
saatnya aku nikah dan daripada aku selalu jajan untuk memuaskan birahiku, lebih
baik aku nikah. Dua bulan setelah reuni, kami melaksanakan pernikahan.
Pernikahan yang ala kadarnya tanpa pesta yang mewah karena tanpa ada persiapan.
Setelah menikah, aku tinggal di
rumah orang tua Risna. Aku sebenarnya menginginkan tinggal berpisah, namun
Risna menolaknya. Kedua adik Risna sekarang sudah bekerja di Batam dan
Jakarta, makanya Risna tetap menginginkan tinggal di situ untuk menemani
ibunya.
Setelah tiga bulan menikah,
suatu hal yang aneh terjadi. Waktu itu hari sabtu, hari libur bagiku karena aku
hanya kerja dari senin sampai jumat, tetapi tidak dengan istriku Risna yang
bekerja di pabrik garment. Pagi itu, setelah istriku pergi, aku hanya
menghabiskan waktu luangku di kamar sambil mendengarkan musik dan tiduran.
“Libur ya A’?” tanpa kusadari,
mertuaku sudah ada di pintu kamar yang memang tidak tertutup. Risna anak
pertama sehingga di keluarga dipanggil Teteh, makanya aku juga ikutan dipanggil
Aa.
“Oh, iya, mah.” aku sedikit
kaget.
“Tetehnya dah pergi?”
“Udah, mah, barusan aja.”
“Oh, mamah tadi habis senam
ngerumpi dulu sih sama ibu-ibu jadi gak tau perginya. Aa hari ini gak kemana-kemana?”
“Nggak, mah, emang ada apa ya?”
tanyaku.
“Ah, nggak, cuma mau ngobrol aja.”
tiba-tiba mertuaku masuk dan duduk di kasur di sebelahku. “Aa kapan atuh mau
ngasih mamah cucu, mamah kan sudah pengen ngegendong cucu nih.” lanjutnya.
“Belum dikasih aja, mah, kami
juga sedang berusaha kok.”
“Mainnya kurang benar kali, A’!”
“Main apanya sih, mah?” aku
sudah tahu kalau mertuaku sudah menjurus ke seks, tapi aku pura-pura tidak tahu
arah pembicaraannya.
“Coba mamah lihat, apa Aa
mainnya sudah benar apa belum?” Aku kaget saat tiba-tiba mertuaku berdiri dan
membuka bajunya sampai bugil. Mertuaku umurnya sekitar 50 tahunan, badannya
sudah melar namun tak nampak lemak yang bergelambir. Meski melar, tubuhnya
terlihat masih pada kencang, mungkin karena rajin senam. “Ayo donk, A’…” dia
meminta lagi.
“Ah, nggak, mah. Ntar Risna
gimana?” meski penisku sudah menegang melihat mertuaku telanjang, aku coba
untuk menolaknya. Bagaimanapun aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak
akan mengkhianati Risna.
“Udah. Teteh mah gak usah
dimalahin. Tenang aja A!” melihatku hanya melongo, mertuaku langsung membuka
celanaku dan langsung mengulum penisku yang sudah menegang.
“Udah, mah, jangan!” mulutku
berucap menolak, namun tidak dengan penisku. Kuluman mertuaku begitu nikmat
terasa, lebih nikmat daripada kuluman Risna, istriku, mungkin karena lebih
berpengalaman. Aku pun terhanyut dalam kuluman ibu mertuaku, tak ada niat lagi untuk
menolak atau berontak. Lidah ibu
mertuaku lincah megenai titik sensitifku.
“Gantian ya, A.” tanpa memberi kesempatan menjawab, ibu mertuaku
langsung naik dan menindih wajahku dengan selangkangannya. Vaginanya langsung
menghujam wajahku, namun tidak seperti yang kubayangkan, ternyata vaginanya
tidak terlalu bau, bahkan nyaris tak berbau, hanya bau daun sirih yang kucium.
Dibandingkan dengan ibu mertuaku ini, vagina Risna istriku ternyata lebih bau,
sekali lagi pengalaman yang membedakan.
Lidahku pun bergoyang di vagina ibu mertuaku, saat klitorisnya kumainkan,
terdengar desahan nikmat darinya. “Hmm… pintar juga nih Aa.” Ibu mertuaku turun
dari atas wajahku. “Kalau punya Teteh suka dijilatin juga gak A?” lanjutnya.
“Gak pernah. Risna gak mau,
mah.” Duh,
kepikiran lagi istriku, Risna. Maafkan Aa ya. Mungkin mamahmu ini sudah edan. Sudah
dua tahun gak ngerasain, makanya jadi haus banget. Tapi tidak bisa kupungkiri
juga, dia memang hot. Aku lebih horny dengan mamah kamu dibanding kamu, ucapku
dalam hati.
“Yuk, sekarang masukin punya Aa
ke mamah.” mertuaku langsung tidur mengangkang.
Kali ini aku tak berpikir
panjang, kuhujamkan penisku yang sudah mengeras ke vagina ibu mertuaku.
Perlahan-lahan kukocok dan dengan berirama kocokanku kian cepat. “Hmm… sudah
bagus ritmenya A. Terus. Terus, A!” rintihnya.
Tak lama kemudian nampaknya ibu
mertuaku mencapai orgasme, tubuhku dipeluknya erat sampai kukunya terasa
mencengkeram kulit punggungku. “Ahhh… mamah keluar A!” ucapnya. Untuk sesaat,
aku pun berhenti. “Sekarang mamah yang di atas ya, A!” ucapnya lagi, aku pun
hanya mengangguk mengiyakannya.
Aku telentang, ibu mertuaku
langsung menaikiku dan memasukan penisku
ke vaginanya. Mertuaku hanya diam, tidak bergoyang, namun kurasakan vaginanya
meremas-remas penisku. Sungguh nikmat.
“Gimana A, enak gak?” tanya
mertuaku.
“Iya, mah. Enak!” sahutku.
“Teteh mah belum bisa kaya gini,
harus senam khusus dulu.” kata mertuaku. dia lalu bergoyang naik turun, tangannya
menuntunku untuk meremas payudaranya yang sudah agak kendur. Sesekali putingnya
yang kecoklatan aku mainin, dan pada saat itu juga desahan dari bibir mertuaku
terlontar.
Setelah beberapa lama bergoyang
erotis, mertuaku akhirnya mencapai puncak orgasme yang kedua. Kurasakan selangkangannya
menjepit pinggulku, liang vaginanya mengejang, mengeras, mencengkeram kuat
batang penisku.
“Ahhh… Ahh... mamah keluar lagi…
Aa juga keluarin donk.” rintihnya.
“Eh, iya, mah.” jawabku sambil
menikmati jepitan vaginanya.
Beberapa saat kemudian, dengan
posisi yang masih sama, mertuaku kembali bergoyang. Kali ini goyangannya
memutar. Kurasakan sensasi yang berbeda dari goyangan yang tadi. Penisku terasa
dimanjakan dan terkena pada titik sensitifnya. Makin cepat goyangannya, makin
tak bisa aku tahan. “Aku mau keluar, mah.” erangku.
“Keluarin aja, A!” jawab
mertuaku.
“Dimana, mah?” aku ragu untuk
menembakan sperma di dalam vaginanya.
“Yah di dalam aja, A.”
“Gak pa-pa nih, mah?” aku masih
ragu.
“Gak pa-pa, A, biar nikmat.” sahut
mertuaku.
Kulepaskan cairan sperma yang
dari tadi kutahan. Lima kali muncratan aku rasa spermaku menghujam vagina
mertuaku. Setelah selesai muncratannya, mertuaku langsung mengeluarkan penisku
dari vaginanya dan turun dari atas tubuhku.
“Ternyata Aa udah hebat mainnya.”
ucap mertuaku. “Ya udah, mamah mandi dulu yah, A.” dia meninggalkan kamar
dengan masih keadaan telanjang bulat. Ditentengnya baju senam yang tadi berserakan di
lantai.
Aku tidak sempat membalas ucapan
mertuaku karena aku masih sibuk mengatur nafas. Pikiranku melayang membayangkan
apa yang telah terjadi. Kepuasan yang begitu hebat. Ingin aku menyusul mertuaku
ke kamar mandi dan mengulangi yang telah kami lakukan. Tapi saat itu juga aku
terbayang wajah Risna istriku. Tidak! cukup kali ini saja, aku gak boleh
mengulangi lagi, ucapku dalam hati.
Setelah mertuaku selesai mandi,
aku segera mandi pula. Selesai mandi, aku langsung keluar menyalakan motor. Aku
bilang ke mertuaku kalau aku mau servis motor sekalian jemput istriku. Padahal
tidak ada rencana pada hari itu aku servis motor, namun aku tak bisa berduan
dalam satu rumah dengan mertuaku yang edan itu. Bisa-bisa nanti aku ditidurin
lagi. Memang nikmat dan memuaskan sih, tapi aku tak tega mengkhianati istriku.
Rupanya terlalu lama servis
motornya sehingga aku terlambat menjemput istriku yang memang hanya setengah
hari kerjanya. Setelah aku telepon, ternyata istriku sudah pulang duluan dan
berada di rumah, saat itu juga aku putuskan kembali ke rumah.
Setiba di rumah, kudapati isriku
dan mertuaku sedang mengobrol di depan TV. Aku hanya menyapa mereka dan
langsung menuju kamar. Aku sengaja tidak ikut mengobrol karena masih terbayang
apa yang telah aku lakukan bersama mertuaku tadi. Aku tidak bisa membayangkan
seandainya istriku tahu apa yang telah kami lakukan.
Tidak beberapa lama, isriku
menyusulku masuk ke kamar. “Udah makan, A?” dia menyapa.
“Belum, ntar aja ah, Ris, belum
lapar.” nafsu makanku seolah hilang.
“Tadi sama mamah gimana, A?” Dug!
Pertanyaan itu terasa tajam. Apakah istriku sudah tahu? Apa yang akan dikatakan
istriku nanti. Baru 3 bulan nikah, aku sudah selingkuh, dengan ibunya dia
sendiri lagi. “Aa?” Risna memanggil lagi.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Maafin
Aa, Ris… Aa gak bermaksud, tapi mamah yang...”
Belum selesai kalimatku, istriku
langsung memotong. “Aa kenapa sih? Kan Risna yang menyuruh mamah.” ucapnya.
“Maksudnya?” aku terkaget dan
juga bingung dengan ucapannya.
“Iya, memang Risna yang nyuruh
mamah buat main sama Aa.” Aku semakin bingung dengan ucapannya, apakah istriku
mau ngetest kesetianku. Kalau memang iya, berarti sudah gagal lah aku.
“Gimana, Aa puas main sama
mamah?”
“Emang maksud Risna tuh apa
sih?” nadaku agak meninggi.
“Aa marah yah?” Pertanyaannya
semakin membuatku bingung, kenapa harus aku yang marah? Seharusnya kan Risna
yang marah karena aku telah berselingkuh dengan ibunya.
“Risna selama ini ngerasa belum
bisa muasin Aa.” lanjutnya. “Risna sudah belajar sama mamah, semua yang mamah
ajarin juga udah Risna praktekin, tapi tetep aja Risna masih belum ngerasa Aa
belum terpuaskan. Mamah juga katanya bingung mau ngajarin Risna apalagi
soalnya mamah sendiri belum tahu Aa sukanya kaya gimana, makanya Risna nyuruh
mamah nyobain main ma Aa.”
Gila! Ibu dan anak sama edannya.
Aku selama ini memang suka kikuk kalau sedang bercinta dengan istriku, Risna,
karena selama ini aku biasa bermain dengan wanita-wanita yang sudah
berpengalaman. Tapi apa selama ini Risna gak sayang sama aku sehingga dia tidak
cemburu sama sekali aku bercinta dengan orang lain?
“Sebenarnya Risna sayang gak
sama Aa?” aku bertanya penasaran.
“Ya sayang atuh, A!” jawabnya
singkat.
“Tapi kamu kenapa gak cemburu Aa
bercinta dengan orang lain?”
“Ah, Aa, orang lain siapa? Itu
kan mamah Risna sendiri, ngapain juga pake cemburu, kalau Aa mainnya sama orang
lain, baru Risna cemburu.”
“Emang tadi mamah bilang apa saja
sama Risna?”
“Ya bilang yang Aa suka seperti
apa, sukanya diapain… mau praktekin sekarang A?”
“Ayo,” jawabku singkat.
Risna langsung membuka celanaku
dan mengeluarkan penisku. Dihisapnya penisku secara perlahan, memang hisapannya
berbeda dari biasanya namun masih tetap lebih nikmat ibunya. Setelah penisku
cukup keras, aku menyuruh istriku berhenti mengulumnya. Lalu aku menelanjangi
istriku dan bersiap untuk merangsangnya. Kulumat mulut istriku, sambil
kuremas-remas payudaranya. Payudara istriku memang tidak terlalu besar
dibandingkan ibunya, mungkun hanya ukuran 34B, tetapi masih kencang dan kenyal
saat diremas. Lalu aku buka kakinya hingga mengangkang dan hendak kujilati
vaginanya. Namun ketika lidahku sudah menyentuh bibir vaginanya, istriku
menolak.
“Jangan dijilatin ya, A… linu,
langsung masukin aja ya?”
“Yah, Aa kan pengen ngerasain, Say.”
jawabku kecewa.
Saat itulah terdengar suara
ketukan di pintu kamar. “Teh, Teteh, chargeran HP mamah yang dipinjam teteh
dimana?” tenyata mertuaku.
“Nih di meja, mah. Mamah ambil
aja sendiri, teteh lagi nanggung nih, pintunya gak dikunci kok.” jawab istriku.
Aku melirik padanya, menandakan protes terhadap istriku yang malah menyuruh
masuk pada ibunya saat aku dan dia dalam keadaan telanjang.
“Gak pa-pa atuh, A... kan mamah
juga sudah pernah liat Aa telanjang. Iya kan, mah?” jawab istriku sambil
melirik ibunya yang sudah masuk ke dalam kamar. “Oh iya, mah, gimana sih
caranya biar kalau dijilatin gak linu?” lanjut istriku lagi.
“Ya tetehnya rileks atuh,
nyantai, jangan ditahan, nikmati aja.” jawab mertuaku.
“Yuk, A, cobain lagi ya...” pinta
Risna padaku.
Duh, kacau nih, pikirku.
Tiba-tiba moodku hilang dengan masuknya mertuaku itu. Tapi yah tanggung,
kasihan juga istriku kalau sampai tak jadi main. Jadi aku coba jilat lagi
vaginanya, namun masih sama. Ketika lidahku menyentuh bibir vagina, kaki
istriku langsung merapat karena linu.
“Duh, teteh mah... nih, lihat
mamah.” nampaknya mertuaku gemas melihat tingkah sang anak. Dia langsung
membuka celana dalam dan mengangkatkan dasternya. Mertaku lalu berbaring dan
mengangkangkan kakinya. “Coba, A, jilat punya mamah.” lanjutnya.
Aku agak sedikit ragu, kulirik
istriku. ”Gak pa-pa, Ris?” aku bertanya.
“Iya, gak pa-pa atuh, A, kan
Risna juga pengen tahu.” jawab istriku.
Aku lalu berpindah ke vagina ibu
mertuaku. Memang vagina mertuaku sudah berkerut dan bibir vaginanya sudah
bergelambir coklat, berbeda sekali dengan vagina istriku yang masih mulus
kencang tidak bergelambir. Namun dari aromanya, vagina mertuaku lebih harum dari
vagina istriku yang berbau pekat. Aku mulai menjilati bagian luar vagina
mertuaku, bibir vagina yang bergelambirnya kuhisap-hisap. Mertuaku mulai
mendesah, sedangkan istriku memperhatikan secara seksama di sampingku.
“Nih, teh, kaya gini… nyantai
aja, ahhhh...” kata metuaku sambil mendesah.
Lalu aku jilati klitorisnya yang
menyembul. Desahan mertuaku semakin menjadi. Saat itu juga istriku menarik
tangan kiriku dan menempelkannya di vaginanya untuk kumainkan. Aku tak berhenti
menjilati vagina mertuaku dan tanganku juga aktif di vagina Risna. Sekarang
istriku pun mulai mendesah.
“Sudah, A, tuh jilati juga punya
teteh.” kata mertuaku sambil beranjak mau pergi. Aku pun menghentikan jilatan
di vaginanya.
“Mamah mau kemana? Jangan pergi
dulu atuh, mah.” Istriku mencegah ibunya pergi.
“Sudah, Teteh terusin aja. Nanti
mamah malah jadi pengen…” jawab mertuaku.
“Ajarin Teteh lagi atuh, mah. Kalau pengen, ntar
sekalian dimasukin sama Aa. Mau kan, A?” Risna melirikku.
“Yah, gimana Risna sama mamah
aja.” kataku pada akhirnya. Siapa juga yang bisa menolak kenikmatan seperti
ini.
“Ya sudah, tuh terusin dulu
jilatin punya teteh, A.” kata mertuaku.
Aku pun bersiap kembali menjilat
vagina istriku yang dari tadi sudah mengangkang lebar. “Pelan-pelan ya, A.”
kata istriku.
Perlahan mulai kujilati vaginanya.
Pertama-tama aku jilati bulu-bulunya, lalu bagian luar secara perlahan. Risna mulai
menikmati dan mengeluarkan desahannya. Kemudian kulanjutkan dengan bagian dalam
vaginanya, perlahan-lahan klitorisnya kujilati. Saat klitorisnya kuhisap, istriku
seperti tersentak kaget sambil memegangi tangan ibunya yang sudah ada di sampingnya.
“Linu, A.“ erang istriku. “Udah ya, A?!” pintanya.
Aku pun berhenti menjilati
vagina istriku, lalu aku berganti ke payudara istriku. Kujilati puting kanan
payudaranya, dan tanganku meremas payudara yang sebelah kirinya. Istriku sangat
menikmati, desahannya semakin mengencang. Pada saat itu juga tiba-tiba penisku
terasa hangat. Rupanya penisku sudah berada di mulut ibu mertuaku yang masih
menggunakan daster. Sungguh terasa nikmat.
Melihat aku yang sedang
menikmati kuluman mertuaku, istriku langsung bangun dan menyuruhku terlentang.
Istriku memperhatikan secara detail kuluman mertuaku terhadap penisku. Melihat
istriku yang memperhatikannya, mertuaku menyuruh istriku menggantikannya
mengulam penisku. Kemudian dia membuka daster dan BH-nya sehingga telanjang bulat.
Didekatkannya puting payudara yang sudah agak mengendur ke mulutku. Tanpa
bertanya lagi, aku langsung menghisap dan menyedot puting itu.
“Masukin, Ris. Masukin!” aku
sudah tidak tahan dengan kulumannya, kusuruh istriku untuk memasukkan penisku
ke dalam vaginanya.
Istriku pun langsung menaikiku
dan memasukan penisku ke lubang vaginanya. Perlahan-lahan dia bergoyang,
sedangkan mulutku masih menghisap puting mertuaku. Tanpa kusadari, tangan
mertuaku memegangi pinggul istriku, memberikan arahan dalam bergoyang. “Nah,
gitu, teh. Enak kan?” katanya sambil memberi arahan goyangan memutar pada
istriku.
“Iya, mah… ahhh… Teteh mau
keluar, mah… Aaahhhhhhh…” seketika itu
vagina Risna mencengkeram erat batang penisku, tubuhnya mengejang. Dia sudah orgasme. Lalu istriku menghentikan
goyangannya dan mengatur nafasnya.
“Gantian mamah ya?” kata
mertuaku. Istriku turun dari atas tubuhku sambil menarik ibunya untuk
menggantikan posisinya. Namun saat mertuaku hendak naik, aku menolaknya. Aku
tahu kalau mertuaku sudah bergoyang di atas, aku pasti cepat keluar.
“Mamah di bawah dulu ya...” kataku
sambil mendekap tubuh montoknya dan meletakannya dalam posisi telentang. Kumasukkan
penisku ke vaginanya yang bergelambir, kudekap erat tubuhnya sambil kuciumi
mulutnya. Kugoyang
terus sambil terus kuciumi mertuaku. Kuciumi lehernya, kucupang sampai memerah.
“Ahhhh… terus, A! Iya, begitu! Enak
banget…!” ucapan itu keluar dari mulut mertuaku.
Mendengar desahannya, semakin
kupercepat kocokan penisku pada lubang vaginanya. Dan beberapa saat kemudian,
tubuhnya mengejang, tangannya memelukku kencang, sementara vaginanya mencengkeram
keras.
“Aa… mamah keluar… hah.. hah..
hah.. hah..“ nafas mertuaku masih terputus-putus. Sebenarnya saat tadi juga aku
hendak keluar, namun kucoba tahan.
“Teh, sama teteh lagi nih.” kata
metuaku.
“Gak ah, mah, teteh masih linu.
Sama mamah
aja ya, gak
pa-pa kan, A?” istriku bertanya padaku.
Aku juga sebenarnya lebih
menikmati mertuaku dibanding istriku, mungkin karena lebih berpengalaman. “Ya sudah,
tapi ganti mamah yang di atas ya?” aku mengiyakan.
Kami pun bertukar posisi,
sekarang mertuaku yang berada di atas. Pada saat penisku menancap di vaginanya,
mertuaku tidak langsung menggoyang. Tapi justru ini yang paling aku suka, saat
penisku serasa dicengkeram-cengkeram oleh dinding vaginanya.
“Enak, mah.” gumamku tanpa sadar.
“Ntar teteh ajarin yang itu ya,
mah.” kata istriku.
“Iya, ntar mamah ajarin.” kata
mertuaku dengan senyum bangga.
Tak lama kemudian mertuaku mulai
bergoyang. Payudaranya yang sudah menggelantung terlihat naik turun sesuai irama. Dan
seperti yang sudah aku kira kalau aku tak kuat lama kalau mertuaku yang di
atas. “Nikmat, mah. Aa mau keluar nih. “ kataku.
“Keluarin aja, A. “ jawab
mertuaku.
Kugenggam tangan istriku yang
berada di sampingku, dan tak lama kemudian kurasakan nikmat yang tak terkira
saat air maniku keluar, menyembur dari penisku, menghujam jauh ke liang vagina
mertuaku. Crot.. crot.. crot.. crot..! “Arghhhhhhh…” aku menjerit penuh
kepuasan.
Setelah selesai, mertuaku
langsung turun. Masih dalam keadaan telanjang, dia lalu pergi meninggalkan
kamarku. Sekarang tinggallah aku dan istriku. Kubelai rambutnya. Meskipun
terasa gila, tapi kurasakan aku semakin sayang kepadanya.
“Ris…” aku memanggil.
“Iya, A.” sahut istriku.
“Kok bisa ya kamu berbagi
seperti itu?” tanyaku yang masih heran.
“Risna sama mamah mah dari dulu
sudah dekat banget. Apa-apa suka berdua, pergi kemana-mana berdua, tidur
berdua, bahkan mandi juga kadang suka berdua sama mamah. Makanya kalau Aa main
sama mamah ya udah, ga masalah buat Risna.” jawabnya.
“Jadi Risna juga berbagi suami
sama mamah?”
“Ya nggak atuh, A. Aa tuh
suaminya Risna, trus kalau mamah ya tetep aja mertuanya Aa. Ini kan cuma
masalah seks aja, A. Risna juga kasihan sama mamah, semenjak bapak sakit sampai
meninggal, mamah tuh gak pernah berhubungan badan gitu, palingan cuma
masturbasi sendiri. Terus kan nanti kalau Risna lagi mens atau sehabis
ngelahirkan, kan gak bisa main. Jadi kalau Aa mau, tinggal main sama mamah,
Risna kan gak mau Aa jajan atau nyari di luar.” jawaban istriku begitu datar
seperti yang biasa, padahal bagiku ini hal yang aneh dan juga begitu gila. Tapi
yah kalau boleh jujur, aku merasa lebih puas main dengan mertuaku yang lebih
berpengalaman.
***
Setelah saat itu, kami sering bermain bertiga, bahkan tak jarang kalau
istriku sedang kerja, aku bermain dengan mertuaku, tapi dengan sepengetahuan
istriku. Sekarang
aku sudah 5 tahun menikan dan sudah dikarunia seorang anak. Sampai saat ini
juga aku masih suka berhubungan badan dengan mertuaku, apalagi kalau istriku
sedang datang bulan.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar