Kamis, 07 Maret 2013

Pesona Seorang Wanita


Hari ini, seorang guru baru diperkenalkan di sekolahku. Tentu saja setiap guru baru, apalagi seorang wanita, mendapat perhatian lebih. Maklum, di sekolahku, wanita termasuk barang langka. Aku sekolah di STM dan ambil jurusan listrik. Namanya Bu Lina, guru bahasa Inggris kami yang baru. Wajahnya teduh, dengan bibir tipis yang selalu menyungingkan senyum. Dia tampak anggun dengan baju safari dipadu jilbab putih lebarnya. Tingginya sekitar 160-an, dan dari perawakannya yang tidak kurus dan tidak gemuk, terpampang sosok tubuh yang ideal bagi seorang wanita. Kulitnya yang bersih, semakin memancarkan kecantikannya. Dia baru lulus kuliah dan baru menjadi tenaga honorer di sekolahku.

Pada pelajaran ini, aku sulit sekali konsentrasi. Pikiranku meracau kemana-mana membayangkan tubuhnya, apalagi ketika dia merunduk ketika menulis di papan yang agak bawah, hatiku semakin tidak karuan. Walaupun sudah memakai jilbab lebar, namun lekukan di dadanya masih sulit disembunyikan. Aku bayangkan sepasang payudara yang menantang dan sangat indah, aku taksir sekitar 36 A atau 36 B.

“Rusdi, apa yang kamu pikirkan? kamu sakit?” suaranya memanggilku, aku tersentak, cepat sekali dia hafal nama murid di sini.
“Maaf, Bu, tidak ada apa-apa” sahutku.
“Oke, guys, give me an attention, please.” katanya untuk mengambil perhatian kami.
***
“Hai, Rus, rumah kamu di sini juga ya?” seseorang memanggilku saat sedang duduk di halaman rumah sepulang sekolah.
“Oh, Ibu. Iya, Bu, Ibu tinggal disini juga?”
“Jangan panggil Ibu. Panggil teteh saja, Panggil Ibunya di sekolah saja, ya?” sahutnya ramah.
“I-iya, Bu, eh…Teh,” Sosok wanita yang sangat diidamkan pria, cantik, ramah, dan shalehah, ternyata tinggal di kontrakan yang tidak jauh dari rumahku.
Setiap sore, rumahnya selalu ramai oleh anak-anak yang belajar mengaji padanya. Sedangkan aku sendiri semakin terlarut dalam fantasiku membayangkan tubuh Teh Lina, hampir setiap ada kesempatan. Apalagi setiap pagi dia selalu lewat di depan rumahku, dan terkadang kita berangkat bersama ke sekolah. Dia sudah menganggapku seperti adiknya sendiri, padahal aku sendiri menyimpan perasaan yang tidak mungkin aku ungkapkan. Dia adalah guruku, 8 tahun lebih tua dariku.

Suatu siang, aku beranikan mengetuk pintu rumah kontrakannya, “Siang, Teh.”
“Eh, Rusdi, ada apa? Ada yang bisa teteh bantu?”
“Enggak, Teh, cuma tadi masih ada yang belum mengerti tentang tenses yang teteh ajarkan, mau kan mengulangi lagi mengajarkan?” tanyaku sedikit berbohong, padahal aku ingin sekali bertemu dengannya.
“Kenapa tadi tidak disekolah saja?”
“Gak enak, Teh, terlalu banyak tanya. Kasihan temen-temen jadi terganggu.”
“Oh, kalau begitu baiklah. Tapi di luar saja ya, tidak enak sama tetangga.”
“Ba-baik, Teh.” sahutku. Sayang sekali, padahal aku ingin berdua dengannya di dalam.
Siang ini, dia begitu cantik dengan balutan gamis warna pink dan jilbab putih yang menjuntai, tak lupa kaos kaki yang semakin membuatku penasaran seperti apakah kakinya, yang pasti jenjang dan menarik. Berdua dengannya saja sudah membuatku berdebar, aroma tubuh wanita yang khas tercium membangkitkan kontolku.
“Rus, gimana, sudah faham?”
“Eh, yang mana, Teh?”
“Katanya mau belajar, kok malah melamun terus, kamu harus konsentrasi.”
“I-iya, teh.”
Tak terasa hari beranjak sore.
“Assalaamu’alaikum…” terdengar suara beberapa anak-anak yang memanggil, “Maaf yah, Rus, teteh harus mengajar anak-anak. Lain waktu dilanjutkan ya, jangan sungkan kalau masih ada yang tidak faham.”
“Iya, Teh, terima kasih ya.”

Kecantikannya dalam sekejap menjadi buah bibir di desaku. Namun sayang, setiap laki-laki yang menyatakan cinta padanya selalu ditolak dengan cara halus, bahkan seorang anak saudagar terkaya di desa kami pun tidak mampu menaklukan hatinya. Sehingga tidak sedikit yang mulai sakit hati padanya.
November ini, hujan mulai sering turun. Sore ini, Teh Lina mampir ke rumahku, menitipkan kunci, kebetulan ayahku adalah ketua RT di sini. “Teteh mau pulang dulu, sudah lama tidak menengok orang tua.” Yang aku suka, semakin hari kita semakin akrab saja, walaupun sebatas pertemanan.
“Tidak besok pagi saja, Teh? Hari ini hujan dan sudah gelap, nanti kalau ada apa-apa gimana?”
Dia tersenyum manis padaku. “Terima kasih atas perhatiannya, adikku sayang. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di jalan.”
Aku pun membalas senyumannya. Namun, hatiku tidak tenang, setelah Teh Lina pergi, aku pun pergi menyusulnya.

Ternyata, Bertus anak saudagar kaya itu, sakit hati dan punya niat jahat padanya. Dia dan teman-temannya merencanakan sesuatu. Tanpa curiga Teh Lina memberhentikan ojek yang sebenarnya adalah anak buah Bertus. Aku berusaha mencarinya dengan menggunakan sepedaku, namun sepeda motor yang membawanya keburu hilang dari pandangan mata.
***
Hujan semakin lebat, tiba-tiba motor yang ditumpangi Lina berbelok dari arah terminal yang dituju. “Lho, ini mau kemana, Pak? Saya mau ke terminal, tolong antar saya.”
“Lewat sini aja, neng, lebih cepat.” ujar si tukang ojek.
Tiba-tiba muncul dua sepeda motor yang masing-masing berisi dua orang mencegat ojek itu, “Cepat turun dan jangan macam-macam!” sambil mengacungkan senjata tajam, keempat orang bertopeng itu segera menghentikan ojek itu.
“Lho, ada apa ini, Pak? Tolong jangan apa-apakan saya...” Lina mulai ketakutan.
“Sudah, jangan banyak cingcong, ikut saja.” mereka menarik paksa gadis itu.
“Pak, tolong saya.” Lina memohon pada tukang ojek, namun ternyata si tukang ojek kini juga sudah mengenakan topeng.
Hujan semakin lebat, payung yang dibawa juga sudah entah kemana. Hujan yang lebat membasahi seluruh pakaian Lina, sehingga lekuk tubuhnya nampak tercetak di tubuhnya. Sambil menangis, Lina memohon untuk dilepaskan. Sampai tiba di sebuah rumah tua di tengah kebun. Tampak rumah itu sangat tidak terurus, atapnya 80 persen sudah tidak pada tempatnya. Hujan yang besar membuat suasana semakin mencekam, hanya suara hujan yang terdengar, tangisan dan jeritan tolong Lina hampir tidak terdengar.

Sesampainya di rumah itu, telah menunggu seseorang yang juga menggunakan topeng. “Hahaha… akhirnya si cantik datang juga, teruslah minta tolong jika ada yang bisa menolong.”
“Siapa kamu? Tolong lepaskan aku.”
“Kamu lupa sama aku ya? Sekarang tidak hanya cintamu yang dapat aku miliki, bahkan tubuhmu juga! Hahaha…” tangan Bertus membelai pipi Lina yang basah. Lina hanya bisa memalingkan wajahnya karena kedua tangannya dipegang erat oleh dua orang dan yang lainnya mengamati situasi di luar.
“Lepaskan, tolong!” jeritan itu tidak dihiraukan Bertus, dia malah terus menciumi wajah Lina. Dengan sedikit keberanian, perempuan itu menendang perut Bertus hingga laki-laki itu terjerembab ke belakang.
“Sialan, aku balas sekarang dengan yang lebih menyakitkan.” ditamparnya wajah Lina hingga perempuan itu terhuyung dan jatuh ke tanah. Jilbabnya tampak kusut dan basah kuyup karena air hujan yang membashi. Saat jatuh, betisnya yang putih tersingkap, bahkan gelap pun tak mampu menyembunyikannya.

Bertus mulai menindih tubuh Lina dan menciumi pipi dan bibirnya.
Lina terus memalingkan wajahnya sambil berupaya mendorong Bertus.
“Joko, Jarot, pegang tangannya. Tunggul, Bondan, pegang kakinya.” Bertus memberi perintah. Lina semakin tidak berdaya, dia hanya bisa menangis sambil menggigit bibirnya. Bertus mulai meraba betis hingga naik ke pahanya, sekaligus menyingkap roknya yang lebar.
“Hahaha, sekarang aku bisa melakukan apa saja padamu.” tangan kiri Bertus memegang payudara kanan Lina dari luar jilbabnya sambil meremas.
”Aahhh… sakit! Tolong lepaskan!” jerit Lina.
Bertus semakin bersemangat meremas payudaranya. Lina hanya bisa mengerang dan pasrah. Bertus leluasa menindih tubuhnya, kemudian menarik bagian atas gamisnya hingga robek. Nampak dua buah payudara yang indah dan putih seakan ingin melompat dari bra yang dikenakan Lina. Benda itu terlihat begitu terawat dan sangat kencang. Bertus menyibak jilbab Lina yang lebar ke atas sehingga bagian dada dan leher Lina yang jenjang terlihat. Tidak menunggu waktu lagi, langsung diciuminya kedua payudara itu, kemudian naik ke leher, dan menggigitnya. Sekali lagi Lina hanya bisa mengerang kesakitan sambil menggigit bibir bawahnya. Tangan Bertus semakin tak terkendali, tangan kanannya yang sedari tadi mengelus paha Lina mulai berani menyeruak ke selangkangan dan mengelus daerah vagina gadis itu.
“Tolong… j-jangan… apapun yang kamu mau, tapi tolong jangan renggut itu dariku. Sekali lagi tolong… apapun akan aku lakukan.” rintih Lina.
Bertus tersentak, dan kemudian menghentikan kegiatannya. “Benar, mau melakukan apa saja?”
“Ya… apa saja. Kamu mau ambil uangku, HP-ku, silahkan saja, semuanya. Tapi tolong lepaskan aku.” Lina sedikit memiliki harapan.
“Kalau itu aku sudah punya banyak, tapi aku hargai perkataanmu. Ayo semua, lepaskan pegangannya.” anak buah Bertus pun melepaskan genggaman mereka.

Lina mulai dapat bernapas lega, dan beringsut menutupi bagian dadanya yang terbuka dan menarik ke bawah roknya yang tersingkap. Tapi di depannya, Bertus mulai melepaskan celananya. Terlihat penisnya yang besar mengacung bak tombak yang siap menghujam saat pertempuran. Lina mulai terduduk sambil terus menutupi dadanya menggunakan jilbabnya yang sudah tidak karuan bentuknya.
“Ayo sini, mendekat… katanya kamu mau melakukan apapun.” panggil Bertus. Lina mendekat hingga wajahnya tepat di depan penis Bertus yang mengacung. Dia terus menunduk ke bawah dan terus menangis tersedu-sedu.
“Katanya kamu mau melakukan apapun, sekarang jilat penisku!” perintah Bertus. Lina masih terdiam dan tidak berani melakukan apapun. “Cepat! Atau aku paksa kamu menyerahkan mahkotamu.”
Mendengarnya, Lina mulai berani mendekat. Dipegangnya penis Bertus dengan tangan kiri dan mulai menjilatnya.
“Hahaha… sekarang kamu milikku.” pria itu terbahak, begitu juga dengan teman-temannya. Lina semakin terguncang, tangisnya makin mengeras. “Kok cuma sekali, ayo teruskan!”
Lina mulai menjilat-jilat kembali penis itu. Bertus mengerang, mulai merasakan geli yang sangat di ujung penisnya. Tanan kanannya memegang kepala belakang Lina, kemudian mendorongnya sehingga wajah gadis itu semakin masuk ke dalam selangkangannya.
“Uuhhmm… Pphhmmff…” seluruh mulut Lina penuh oleh penis Bertus yang hanya terlihat setengahnya saja. Tangan laki-laki itu mulai memaju mundurkan kepala gadis itu sehingga penisnya dengan lancar keluar masuk di mulut Lina yang mungil.
“Uuhh… Uuh… Mmhhppp…” Lina tak dapat berkata apapun. Sedangkan Bertus makin merasakan kenikmatan.
***

Aku masih terus memacu sepedaku mengikuti jejak sepeda motor yang ditinggalkan, sudah lama aku berputar-putar tapi masih belum juga  menemukannya. Hingga akhirnya, “Hmh, bukannya ini payung yang dipakai Teh Linah?” gumamku ketika menemukan payung kecil yang cantik teronggok di pinggir jalan. Aku merasa sudah ada di jalan yang benar. Hari yang gelap dengan hujan yang deras semakin menyulitkan pencarianku, jas hujan yang kupakai sudah tidak mampu lagi menahan air karena derasnya hujan sehingga tembus hingga ke dalam.

***
“Ahh… enak… terus, sayang.” gumam Bertus.
“Hahaha, lihat gadis alim ini. Sok gaya menolak bos kita, sekarang tau akibatnya.” ujar kawanan anak buah Bertus.
“Bos, kalau sudah puas, jangan lupa bagi-bagi ya. Kita juga belum pernah nih ngerasain gadis alim yang sok suci ini.” tambah yang lain.
Mata Bertus mulai merem melek merasakan kenikmatan, sedangkan Lina hanya pasrah ketika tangan laki-laki itu memaksa kepalanya untuk maju mundur makin cepat di depan selangkangannya. Sampai akhirnya, “Aaahh… Lina! Aaahh…” Bertus mengejang, gerakan tangan yang memaju-mundurkan kepala Lina semakin kencang.
Dan…”Aahh…” Lina merasakan sesuatu yang hangat menyemprot ke dalam rongga mulutnya, sesuatu yang sangat menjijikkan. “Huk… mhhh... mppff… huk-huk...” gadis itu terbatuk.
“Ayo telan, jangan dibuang sedikitpun!” perintah Bertus.
Lina pun menjilati sisa sperma yang masih menetes di ujung penis pria itu. Jilbabnya sudah sangat acak-acakan, beberapa sperma Bertus muncrat mengenainya.
Bertus terduduk menikmati hal fantastis yang baru dia alami, seorang gadis yang masih terbalut dengan jilbabnya melakukan oral padanya. Sedangkan Lina terus menunduk dan menangis.
***

Aku terus menerobos pakatnya hujan dan menuju ladang milik orang tua Bertus. Aku curiga sesuatu terjadi dengan Teh Linah. Aku tidak mau seseorang yang aku sayangi terluka.
***
Tanpa menunggu komando, anak buah Bertus menyerbu Lina yang masih terpaku. Ada yang menarik tangannya, ada yang menarik kakinya, ada yang meremas-remas payudaranya.
“Jangan dibuka jilbabnya, biarkan saja, biar kita merasakan tubuh gadis alim ini, hahaha...” seru joko.
Lina semakin tak karuan dan menangis dalam diamnya.
***
Aku menemukan sebuah rumah tua yang nampak gelap dan tidak terurus, nampaknya seperti bekas gudang milik keluarga Bertus. Aku mengendap-endap mendekati rumah kosong itu, sambil memperhatikan keadaan sekeliling. Terdengar suara gaduh dari dalam, gelak tawa beberapa laki-laki dan jeritan yang terputus-putus dari seorang wanita yang suaranya kukenal sekali.
“Ah, jangan! Sakit… tolong, lepaskan… ahh…!” pinta Teh Lina memelas, ketika dua tangan kasar meremasi kedua payudaranya. Sedangkan seorang lagi nampaknya mulai melepaskan celana dalamnya. Aku yang melihat pemandangan itu segera berpikir dan cari akal apa yang bisa kulakukan karena untuk melawan mereka sangat tidak mungkin.
Rok Teh Lina mulai disingkap ke atas, kedua kakinya direntangkan sehingga terlihat samar selangkangannya oleh sedikit cahaya bulan. Hujan nampaknya mulai mereda, tapi tangis Teh Linah semakin menjadi. Sesosok tubuh gempal mulai menurunkan celananya, dan mendekati selangkangan perempuan itu. Teh Linah hanya bisa memalingkan wajahnya, tak tahan terhadap apa yang akan dia alami. Penis pria gempal itu mulai mendekat dan menempel pada bibir liang vaginanya.
Aku semakin berpikir cepat, apa yang harus aku lakukan? Sesaat sebelum pria itu melepaskan hajatnya, tiba-tiba... Bukk! tubuh gempalnya terjengkang.
“Bodoh kau, Bondan. Itu bagianku tahu!” hardik Bertus.
“I-iya, boss, maafkan saya.”
“Hampir saja kamu merusak acaraku, bodoh!”
“Sekali lagi maafkan saya, Bos.”
Sekarang terlihat Bertus yang mulai jongkok diantara selangkangan Teh Lina. Perempuan itu hanya bisa menangis lemah. Penis Bertus yang masih loyo setelah tadi memuntahkan lahar hangat mulai ditempelkan dan digessek-gesekkan ke vaginanya. Teh Linah terlihat pasrah terhadap nasibnya, dia hanya terus menangis.

Aku akhirnya menemukan ide saat melihat besi yang teronggok di sebelahku. Di dalam, penis Bertus yang mulai tegang kembali, siap untuk menembus pertahanan terakhir Teh Linah yang semakin lemah tak berdaya. Aku tidak punya banyak waktu lagi. Aku harus segera beraksi. Ketika penis itu mulai menempel di bibir vagina Teh Linah, aku pukulkan keras-keras besi yang aku ambil tadi ke tiang listrik yang ada didekatku untuk membangunkan warga.
Mendengar dentingan suara tiang listrik, Bertus dan kawan-kawannya kaget. Mereka segera berhamburan melarikan diri.
“Sialan… siapa itu?! umpat Bertus sambil membetulkan celananya,  sedangkan teman-temannya sudah kabur duluan.
Aku segera mendekati Teh Linah yang terbujur lemah, dan menutup badannya dengan jas hujan yang aku pakai. “Ayo, Teh, cepat! Sebelum warga datang.” aku memapah Teh Linah ke arah sepedaku dan memboncengkannya, sampai akhirnya saat warga datang, aku sudah hilang ditelan malam.

“Sialan, ada apa sich pukul tiang listrik segala?! Aku kira ada maling.” umpat warga yang mulai berduyun-duyun datang ke sumber suara. Namun mereka tidak menemukan apapun.
Aku sendiri bersyukur tidak diketahui Bertus dan teman-temannya. Jika saja mereka tahu, bisa mampus aku. “Terima kasih ya, Rus. Entah apa yang akan terjadi jika tidak ada kamu,” ujar Teh Linah lemas ketika sampai di kosnya.
“Iya, Teh. Teteh istirahat saja, mau aku temani?”
“Hus! Jangan, apa kata orang nanti kalau lihat kamu tidur di rumahku, bisa jadi fitnah.”
“Baiklah, aku pulang kalau begitu. Tapi aku panggil dulu ya si Asih, adikku, untuk menemani teteh disini.” kebetulan adikku juga sering diajar mengaji oleh Teh Linah.
“Terima kasih ya, Rus. Tapi ingat, peristiwa ini hanya kita saja yang tahu. Teteh malu kalau orang lain sampai tahu.”
“Tentu saja, Teh. Aku janji.”

***

Sejak itu, aku semakin akrab saja dengan Teh Lina, bahkan sudah seperti keluarga sendiri. Namun perasaanku terus berkecamuk. Nampaknya Teh Lina tidak menyadari apa yang aku rasakan. Sebenarnya, akupun menginginkan dia, bisa bersama dia, mereguk cinta terindah di dunia bersamanya.

Sore itu hujan sangat lebat di bulan Desember ini. Ada seorang anak kecil datang mencari ke rumah. Aku diminta datang ke rumah Teh Linah untuk memperbaiki jaringan listrik rumahnya yang rusak. “Cepat ya, Mas. Sudah ditunggu Teh Linah.” ujar anak SD murid mengaji Teh Linah.

Dalam hati aku sangat girang. Betapa tidak, guru bahasa inggris ini rupanya makin lengket dan akrab denganku. Sesampainya di rumah Teh Linah, “Rus, tadi waktu ngajar ngaji, listriknya tiba-tiba mati. Mana mau hujan lebat lagi. Aku takut sendirian kalau lampu masih mati begini, tolong perbaiki ya?”
“Oke, Teh, asal bayarannya jelas.” aku berseloroh.
“Emang bayarannya berapa sih? Sama teteh sendiri aja pake bayaran.”
“Mahal atuh, Teh. Pokoknya sesuatu yang mahal.”
“Apa itu?” Teh Linah penasaran.
“Ada aja dech,” ujarku.
“Awas kamu ya kalau mikir yang macem-macem.” ancam Teh Linah sambil tersenyum, yang semakin memancarkan kecantikannya dalam balutan jilbab hitamnya. Saat itu dia mengenakan kemeja longgar warna putih dipadu rok abu-abu polos yang nampak ketat mengikuti lekung pinggulnya, hanya saja tertutup oleh kemejanya yang diurai keluar. Dengan rok seperti itu, lekukan pinggul Teh Linah semakin nampak, seperti gitar spanyol yang indah. Aku sampai tertegun memandang tubuhnya yang penuh misteri itu.
“Rusdi, please, don’t look at me like that!” dia mulai jengah kuperhatikan tubuhnya.
“Apa artinya tuh, Teh?”
“Makanya belajar, anak bandel!” dia mencubit hidungku, yang semakin membuatku berdegup dan gemas padanya.

Di rumah kontrakan Teh Linah, suasananya sepi. Mendung tebal membuat sore itu semakin pekat.
Apalagi hari juga sudah menjelang malam. “Boleh kan aku masuk, Teh?” aku bertanya.
“Kalau kamu gak masuk, gimana bisa memperbaiki?”
“Ya, biasanya kan aku gak boleh masuk sama Teteh.”
“Iya tentu, tapi ini kan darurat,” katanya.

Darahku mendesir ketika membuntuti langkah teh Lina. Betapa tidak, walaupun tertutup jubah, pinggul dan pantatnya tetap membentuk dan membayang sangat indah ketika kulihat dari belakang.
“Anu, Rus… akhir-akhir ini listrik rumahku mati melulu. Mungkin ada kabel yang konslet. Tolong betulin, ya… Kau tak keberatan kan?” pinta Teh Lina kemudian. Tanpa banyak basa-basi, dia menunjukkanku tempat dimana MCB dan sekering berada, yang kebetulan dekat sekali dengan kamarnya.
“Nah, aku curiga jaringan di kamar ini yang rusak.
Buruan kau teliti ya. Nanti keburu mahrib dan hujan.”

Aku hanya menuruti segala permintaannya. Setelah merunut jaringan kabel, akhirnya aku memutusukan untuk memanjat atap kamar melalui ranjang. Aku tahu persis, kamar itu pasti tempat tidur Teh Lina jika dilihat dari tata letak ruangan yang rapi dan bau yang wangi di sekitarnya. Ketika aku menelusuri kabel-kabel, aku tidak menemukan kabel yang lecet. Semuanya beres. Kemudian aku pindah ke ruangan sebelah, aku juga tak bisa menemukan kabel yang rusak. Kemudian pindah ke ruangan lain lagi. Dan tetap tidak bisa menemukannya. Celakanya, atau untungnya, ketika hari sudah mulai gelap, aku masih belum bisa menemukan kabel yang rusak. Akibatnya, rumah Teh Lina jadi gelap total. Aku hanya mengandalkan bantuan senter serta lilin kecil yang dinyalakan Teh Lina untuk penerangan.

Lebih celaka lagi, tiba-tiba hujan deras mengguyur seantero desa. Tidak bisa tidak, aku harus berhenti. Maunya aku ingin melanjutkan pekerjaan itu besok pagi. “Wah, maaf, Teh. Saya tak bisa menemukan kabel yang rusak. Saya pikir kabel bagian puncak atap rumah yang kurang beres. Besok aja, akan kubawakan tangga khusus,” jelasku sambil melangkah keluar kamar.
“Iya, tak apa-apa. Tapi maaf yah, aku sudah… merepotkanmu,” balas Teh Lina. “Itu, teh hangatnya diminum dulu.”

Sementara menunggu hujan reda, kami berakap-cakap berdua di ruang tengah. Cukup banyak cerita-cerita masalah pribadi yang kami tukar, termasuk masalah yang sensitif. Entah bagiamana awalnya, tahu-tahu nada percakapan kami berubah mesra dan menjurus ke arah yang pribadi. Aku memberanikan diri memegang tangan Teh Lina.
“ih, Rusdi, apa-apaan sich?” bentaknya agak kaget sambil menarik tangannya.
“Maaf, Teh, hanya ingin aja memegang tangan Teteh. Habis menggemaskan sekali jari Teteh yag lentik itu.”
“Mhh, kamu ini... Hayo, sudah berapa wanita yang kamu perdaya dengan rayuan gombalmu itu?” tanya Teh Linah.
“Wah, gak keitung, Teh. Cuma seperti Teteh yang belum pernah.”
“Kamu ini…” dia mulai berani mencubit lenganku, “Aku tuh sudah menganggap kamu seperti adik sendiri.”
“Aku kan cuma bercanda, Teh. Emang Teteh belum pernah disentuh laki-laki ya?” tanyaku mulai memancing.
“Tidak juga,” jawabnya singkat.
“Teteh gak pernah pacaran ya?” tanyaku lagi.
“Hmm, pernah juga sih, dulu waktu SMU. Tapi sejak kuliah aku sudah tidak mau pacaran lagi.” ungkapnya mulai terbuka. “Kalau kamu pasti sering ya?” Teh Lina balik bertanya. Aku hanya menjawab dengan senyuman.
“Waktu pacaran, Teteh gak pernah disentuh, cium atau apa gitu?”
“Yaa paling cium, sama pegangan tangan aja.”
“Apanya yang dicium?” aku semakin mencecar. “Bibir?” Teh Lina hanya terdiam, aku yakin jawabannya pasti iya. “Waktu Teteh dicium itu, apa Teteh tidak merasakan sesuatu?”
“Ihh, Rusdi, kamu kok nanyain begituan sih? Teteh kan manusia normal juga, ya pasti merasakan lah, dan itu salah satu alasan Teteh gak mau pacaran, takut tidak bisa terkontrol.”
“Berarti ada dong, Teh, rasa terangsang, atau dorongan seksual?” aku agak melotot.
“Ya iya atuh, Teteh kan manusia, bukan malaikat.”
“Rusdi kira orang seperti Teteh gak pernah merasakan itu.” aku mulai memegang tangannya lagi. Tapi anehnya, sekarang dia tidak menariknya lagi.
Aku jadi mulai berani melakukan belaian lembut ke tangan Teh Lina. Perempuan itu bergeming dan tidak marah. Aku makin berani, kunaikkan tanganku ke arah lengannya yang tertutup gamis. Suasana hening saat itu, aku menyaksikan wajah Teh Lina mulai bersemu merah dari cahaya lilin yang terpendar. Tanganku semakin naik ke atas dan kini merangkul pundaknya. Teh Lina hanya terdiam saja ketika kepalanya mulai kusandarkan ke bahuku. Kurasakan badannya begitu panas, seperti api yang membara. Nafasnya mulai terengah-engah, tanda dia tidak dapat mengontrol dirinya.

Merasa di atas angin, aku kini sudah tak segan-segan lagi untuk membelai wajah Teh Lina, membelai hidungnya yang bangir, mata, hingga bibir dan lehernya. Tak sadar, tubuh kami berdua jadi berhimpitan hingga menimbulkan rangsangan yang cukup berarti untukku. Apalagi setelah dadaku menempel erat pada payudaranya yang berukuran lebih besar dari yang aku kira. Tak ayal lagi, penisku pun mulai berdiri mengencang. Aku tak sadar, bahwa aku sudah terangsang oleh guru sekolahku sendiri! Namun hawa nafsu birahi yang mulai melandaku sepertinya mengalahkan akal sehatku. Teh Lina sendiri tampaknya juga mulai kehilangan akal sehatnya. Bahkan dia tidak bergeming ketika aku dekatkan wajahku ke wajahnya dan mengecup lembut bibirnya yang tipis. Dia tidak bereaksi, tidak marah, juga tidak membalas.

Akhirnya, nafsuku sudah tak tertahankan lagi. Sementara bibirku masih tetap terus memagut bibirnya, tanganku mulai menggerayangi tubuh guru sekolahku itu. Kujamah gundukan daging kembar yang menghias dengan indahnya dada Teh Lina yang masih berpakaian lengkap. Dengan segera kuremas-remas bagian tubuh yang sensitif tersebut. Semua kulakukan masih dari luar pakaiannya dan masih terhalang oleh jilbabnya yang masih nampak rapi.

Tiba-tiba, “Aah, Rusdi… jangan…” Teh Lina menepis tanganku yang berada di atas payudaranya, dan bibirnya menghindar melepaskan diri dari bibirku. Matanya melotot, nafasnya tidak teratur seperti habis berlari.
Di luar, hujan semakin lebat disertai kilatan petir yang terus menggelegar. Tidak seorangpun yang dapat mendengar aktivitas yang kami lakukan. Kubelai lembut wajahnya, mata Teh Lina kembali terpejam, sementara bibirnya masih membuka. Dia kelihatan cantik sekali malam ini. Aku tahu dia sebenarnya juga merasakan birahi, sama seperti yang kurasakan. Cuma dia malu untuk mengakuinya. Itulah tugasku, aku harus pintar-pintar memancing agar dia tidak malu lagi dan bersedia dengan senang hati mengumbar nafsunya.
Aku beranikan diri kembali memagut bibirnya, bibir yang begitu tipis dan seksi. Bergantian kupagut bibir bawah dan bibir atasnya. Teh Lina masih tidak bereaksi, hanya desah nafasnya semakin tidak beraturan. Aku rasakan detak jantungnya pun semakin kencang. Kuberanikan menyusupkan tanganku ke balik jilbabnya, masih dari luar kemejanya. Kembali kuremas-remas payudaranya yang sangat kencang dan menantang itu dengan lembut. Dan kali ini, Teh Lina tidak menolak. Yes! Aku berseru dalam hati. Rupanya dia mulai menikmati permainan ini.
Mengetahui Teh Lina tidak menghalangiku lagi, aku semakin berani. Remasan-remasan tanganku pada payudaranya semakin menjadi-jadi. Sungguh suatu kenikmatan yang baru pertama kali kualami meremas-remas benda kembar indah nan kenyal milik guru sekolahku itu, yang selama ini selalu terlihat tertutup dibalik jilbab dan gamisnya. Kuusap-usap terus payudaranya yang begitu menggiurkan itu. Tubuh Teh Lina mulai bergerak menggelinjang tak beraturan.

“Uuuuhhh… Rus, aaahh…” dia mendesah saat jamahan tangan kiriku mendarat di selangkangannya. Penisku pun bertambah menegang akibat pantat Teh Lina yang begitu kencang dan montok berulang kali menempel di selangkanganku, membuat bagian selangkangan celana panjangku tampak begitu menonjol. Aku yakin Teh Lina juga merasakannya, membuatku semakin bernafsu meremas-remas payudaranya yang masih tertutup rapat oelh kemejanya. Nafsu birahi yang menggelora nampaknya semakin menenggelamkan kami berdua, sehingga membuat kami melupakan hubungan kami sebagai guru dan murid.

“Aaauuhh… Rus… Uuuuh…” Teh Lina mendesis-desis dengan liarnya karena remasan-remasan tanganku di payudaranya bukannya berhenti, malah semakin menjadi-jadi. Matanya terpejam merasa kenikmatan yang begitu menghebat.

Tanganku mulai membuka satu persatu kancing kemeja Teh Lina, dari yang paling atas hingga kancing terakhir, kemudian aku sibak jilbabnya ke atas. Aku terpana sesaat melihat tubuh guru sekolahku itu yang putih dan mulus, dengan payudaranya yang bulat besar  bertengger dengan begitu indahnya di dadanya yang masih tertutup beha katun berwarna krem kekuningan. Tetapi aku segera tersadar, bahwa pemandangan amboi di hadapannya itu memang tersedia untukku, terlepas itu milik guru sekolahku sendiri.

Tidak ingin membuang-buang waktu lagi, bibirku berhenti menciumi bibir Teh Lina dan mulai bergerak ke bawah. Kucium dan kujilati leher jenjang Teh Lina yang terbuka karena jilbabnya aku singkapkan, membuatnya menggelinjang-gelinjang sambil merintih kecil. Sementara itu, tanganku kuselipkan ke balik beha Teh Lina sehingga menangkupi seluruh permukaan payudara yang sebelah kanan. Puting susunya yang tinggi dan mulai mengeras begitu menggelitik telapak tanganku. Segera kuelus-elus dengan telapak tanganku. Kepala Teh Lina tersentak menghadap ke atas sambil memejamkan matanya. Tidak puas dengan itu, ibu jari dan telunjukku memilin-milin puting susu yang indah itu, yang langsung saja menjadi sangat keras. Memang baru kali ini aku menggeluti tubuh indah seorang wanita yang begitu menjaga kesuciannya. Berbeda dengan pacar-pacarku yang lain, begitu murah menjual tubuhnya demi kepuasan dan harta.

“Iiiihh… Aauuuhhh… Aaaahhh…” Teh Lina tidak dapat lagi menahan desahan-desahan nafsunya. Segala gelitikan jari-jemariku yang dirasakan oleh payudara dan puting susunya dengan bertubi-tubi, membuat nafsu birahinya semakin menggelora. Aku yakin, baru kali ini dia merasakan sensasi yang begitu fantastis, sensasi manusia normal secara umum, yang mungkin dia sendiri tidak akan menyangka akan merasakan ini dengan seorang muridnya sendiri.

Kupegang tali pengikat beha Teh Lina lalu kuturunkan ke bawah. Kemudian beha itu kupelorotkan ke bawah sampai ke perutnya. Puting susu Teh Lina yang sudah begitu mengeras itu langsung meloncat dan mencuat dengan indahnya di depanku. Aku langsung saja melahap puting susu yang sangat menggiurkan itu. Kusedot-sedot dan kuhisap-hisap penuh nafsu. Kuingat saat aku menyedot payudara pacarku. Bedanya, payudara Teh Lina ini jauh lebih terawat dan kencang karena belum terjamah oleh siapapun. Teh Lina menggeliat-geliat akibat rasa nikmat yang begitu melanda kalbunya. Lidahku dengan mahirnya terus menggelitiki puting susunya sehingga pentil yang sensitif itu melenting ke kiri dan ke kanan terkena hajaran lidahku.

“Oooh… Ruuuuuuuus!!!” desahan Teh Lina semakin lama bertambah keras. Untung saja hujan masih deras dan letak rumah kontrakannya yang memang agak berjauhan dari rumah yang paling dekat, sehingga tidak mungkin ada orang yang mendengarnya.

Belum puas dengan payudara dan puting susu Teh Lina yang sebelah kiri, yang sudah basah berlumuran air liurku, mulutku kini pindah merambah bukit membusung sebelah kanan. Apa yang kuperbuat pada belahan indah sebelah kiri tadi, kuperbuat pula pada yang sebelah kanan ini. Payudara sebelah kanan milik guru sekolahku yang membulat indah itu tak luput dari  jelajahan mulutku dengan lidahku yang bergerak-gerak dengan mahirnya. Kukulum ujung payudara Teh Lina, lalu kujilati dan kugelitiki puting susunya yang tinggi. Puting susu itu juga sama, melenting ke kiri dan ke kanan, seperti halnya puting susu payudaranya yang sebelah kiri tadi. Teh Lina pun semakin merintih-rintih karena merasakan geli dan nikmat yang menjadi-jadi berbaur menjadi satu padu. Seperti tengah minum soft drink dengan memakai sedotan plastik, kuseruput puting susu guru sekolahku itu kuat-kuat.

“Ruuusss… Aaaahhhhh…” Teh Lina menjerit panjang.

Lidahku tetap tak henti-hentinya menjilati puting susu Teh Lina yang sudah demikian kerasnya.
Sementara itu tanganku mulai bergerak ke arah bawah. Kusingkap rok yang Teh Lina kenakan. Terpapang di depan mataku paha yang putih mulus dan jenjang, paha yang belum tersentuh oleh lelaki manapun. Kemudian tanganku berpindah ke selangkangannya, kurasakan celana dalam yang Teh Lina kenakan sudah basah oleh cairan yang keluar dari vaginanya. Aku makin berani dengan menanggalkan celana dalam itu ke bawah hingga terlepas dari mata kaki. Tubuh bagian bawah Teh Lina sekarang tak tertutup sehelai benang pun. Samar-samar kulihat rambut di vaginanya tercukur rapih. Hanya menyisakan bulu-bulu yang kecil dan membuat geli ketika kupegang.

Tak ayal, jari tengahku mulai menjamah bibir vagina Teh Lina di selangkangannya yang sudah mulai ditumbuhi bulu-bulu tipis kehitaman. Kutelusuri sekujur permukaan bibir vagina itu secara melingkar berulang-ulang dengan lembutnya. Tubuh Teh Lina yang masih terduduk di sofa melengkung ke atas dibuatnya, sehingga payudaranya semakin membusung menjulang tinggi, yang masih tetap kulahap oleh mulut dan bibirku dengan tiada henti.

“Oooohhh… Ruuusssdddiii… Aaaahhh… Ruuusss… Sssshhh… Aaaahhh…!” rintihnya.

Jari tengahku berhenti pada gundukan daging kecil berwarna kemerahan yang terletak di bibir vagina Teh Lina yang telah dibasahi cairan-cairan bening. Mula-mula kuusap-usap daging kecil yang bernama klitoris ini dengan perlahan-lahan. Lama-kelamaan kunaikkan temponya, sehingga usapan-usapan tersebut sekarang sudah menjadi gelitikan, bahkan tak lama kemudian bertambah lagi intensitasnya menjadi sentilan. Klitoris Teh Lina jadi bertambah merah akibat sentuhan jariku yang bagaikan sudah profesional, membuat tubuh pemiliknya itu semakin menggelinjang-gelinjang tak tentu arahnya. Jilbabnya yang sudah tersingkap semakin tidak karuan, aku bisa melihat rambutnya yang panjang dan legam, membuat penampilan Teh Lina malam itu semakin erotis. Wajah dan lehernya mulai ditumbuhi titik-titik keringat walaupun sesungguhnya malam itu cukup dingin.

Melihat Teh Lina yang tampak semakin merangsang, aku menambah kecepatan gelitikanku pada klitorisnya. Dan akibatnya, klitoris itu semakin  membengkak. Sementara vaginanya pun semakin dibanjiri oleh cairan-cairan kenikmatan yang terus mengalir dari dalam lubang keramat yang masih perawan itu.

Puas menjelajahi klitoris Teh Lina, jari tengahku mulai merangsek masuk perlahan-lahan ke dalam vagina guru sekolahku itu. Setahap demi setahap kumasukkan jariku ke dalam vaginanya. Mula-mula sebatas ruas jari yang pertama. ”Ruusss… jangan! Sakit! Jangan, Rus! Aku masih perawan.” rintihnya.
Vagina Teh Lina memang masih teramat sempit. Aku harus susah payah melakukannya, “Ruuss… sakit! Aaahhh…” dia terus merintih, tapi tidak menolak. Perlahan-lahan jariku kutusukkan lebih dalam lagi. Pada saat setengah jariku sudah amblas ke dalam vaginanya, terasa ada hambatan. Seperti adanya selaput lentur yang menghalangi.

“Aiiihh… Ruusss…” Teh Lina merintih kecil seraya meringis seperti menahan rasa sakit. Saat itu juga, aku langsung sadar, bahwa yang menghambat penetrasi jari tengahku ke dalam vagina Teh Lina adalah selaput daranya yang masih utuh. Ternyata guru sekolahku itu benar-benar masih perawan. Dan untuk menghargainya, aku memutuskan tidak melanjutkan perbuatanku itu.

“Russs…
Kok di stop?” tanya Teh Lina dengan nafas terengah-engah. Aku yakin kalimat itu di luar kesadarannya, tapi itu adalah perkataan yang jujur terhadap apa yang dialaminya.
“Teh, teteh kan masih perawan, nanti kalo aku terusin, teteh bisa…”
Teh Lina terdiam.
“Teteh mau aku teruskan?” aku tak mendengar jawaban dari mulutnya, tapi nafasnya terus mendesah dan terengah.

Kutuntun tangan Teh Lina menggapai selangkanganku. Begitu tangannya menyentuh ujung penisku yang masih ada di dalam celana pendek yang kupakai, penisku yang tadinya sudah mengecil, sontak langsung bergerak mengeras kembali. Ternyata sentuhan lembut tangannya itu berhasil membuatku terangsang kembali, membuatku tidak dapat membantah apapun lagi, bahkan aku seperti melupakan apa-apa yang kukatakan barusan.

Dengan secepat kilat, aku memegang kolor celana pendekku, lalu dengan sigap kulucuti celanaku itu sampai sebatas lutut. Yang tersisa hanya celana dalam saja. Kutuntun tangan Teh Lina untuk meremas-remas penisku, membuat penisku itu semakin bertambah keras dan bertambah panjang. Kutaksir panjangnya sekarang sudah bertambah dua kali lipat dari semula. Bukan main! Semua ini akibat rangsangan sedemikian hebatnya yang kuterima dari guru sekolahku itu. Kali ini aku lihat Teh Lina membuka matanya, dan terperangah melihat penisku yang sudah sangat menegang dan kaku. Mungkin baru kali ini dia melihat penis laki-laki di depan matanya secara langsung. Penisku ini memang sedikit diatas ukuran pada umumnya.  Dengan panjang yang hampir mencapai 20 cm dan diameter 5 cm, aku yakin pasti akan dapat memuaskan wanita yang kutiduri.

“Teh, aku buka dulu ya,” tanyaku sambil menanggalkan celana dalamku. sehingga bagian bawahku tidak mengenakan apapun. Teh Lina terdiam, yang aku tahu jika wanita diam tandanya setuju, atau masih terkesima dengan penisku? Entahlah.

Penisku yang sudah begitu tegangnya seperti meloncat keluar begitu penutupnya terlepas.

“Auw!” Teh Lina menjerit kaget melihat penisku yang begitu menjulang dan memanjang, siap tempur. Kuraih tangannya dan kuarahkan ke penisku, perlahan-lahan kuminta ia menggosok-gosok batang ‘meriam’-ku itu. Tanpa kusuruh dua kali, ia pun melakukannya, sehingga membuat otot-otot yang mengitari penisku bertambah jelas kelihatan dan batang itu pun menjadi semakin kaku laksana tonggak yang kokoh, siap menghujam siapa saja yang menghalanginya. Teh Lina melakukannya dengan melihat langsung penisku tanpa memejamkan matanya. Kemudian aku menarik tangan Teh Lina yang masih menggenggam penisku dan membimbingnya menuju selangkangannya sendiri. Kuarahkan penisku tepat ke arah lubang vaginanya.

“Ruus… aku masih perawan… jangan…” bisiknya.
Sekilas, aku seperti sadar. Astaga! Teh Lina kan guru sekolahku sendiri! Apa jadinya nanti jika aku sampai menyetubuhinya? Apa kata orang-orang nanti mengetahui aku berhubungan seks dengan guru sekolahku sendiri? Atau kalau dia sampai hamil, pasti akan heboh jika wanita yang selama ini menutup dan menjaga tubuhnya tenyata bobol juga.

Akhirnya aku memutuskan tidak akan melakukan penetrasi lebih jauh ke dalam vagina Teh Lina. Kutempelkan ujung penisku ke bibir vagina perempuan cantik itu, lalu kuputar-putar mengelilingi bibir guanya. Teh Lina menggerinjal-gerinjal merasakan sensasi yang demikian hebatnya serta tidak ada duanya di dunia ini.

“Aaahhh… Uuuuhhhh…” Teh Lina mendesah-desah dengan kerasnya sewaktu aku sengaja menyentuhkan penisku pada klitorisnya yang kemerahan dan kini kembali membengkak. Sementara bibirku masih belum puas-puasnya berpetualang di payudaranya, terutama puting susunya yang mungil menggairahkan. Terlihat payudara guru sekolahku itu dan daerah sekitarnya basah kuyup terkena jilatan dan lumatanku yang begitu menggila, sehingga tampak mengkilap. Kini jilbabnya sudah kusut tidak karuan lagi walau masih tetap menutupi sebagian rambutnya. Kemejanya sudah hampir telepas dari tubuhnya yang indah, dan roknya telah tersingkap ke atas. Selangkangannya terbuka, seakan siap menerima hujaman tombak tumpulku. Matanya terpejam dengan bibir yang terbuka. Nafasnya naik turun tidak teratur. Aku tau, dia sedang berada di puncak birahinya.

Tak tahan, aku perlahan-lahan mulai memasukkan batang penisku ke dalam lubang vagina Teh Lina. “Aaaahh… Ruussdii… jangan! Aaahh…” ucapnya sambil semakin memejamkan matanya seperti sedang menahan rasa sakit. Sengaja aku tidak mau langsung menusukkannya. Sebab jika sampai kebablasan, bukan tidak mungkin dapat mengoyak selaput daranya. Aku tidak mau melakukan perbuatan itu, sebab bagaimanapun juga Teh Lina adalah guru sekolahku, seseorang yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri!

Teh Lina mengejan ketika kusodokkan penisku lebih dalam lagi ke dalam vaginanya.
Kurasakan kuat sekali himpitan rongga vaginanya yang masih sangat sempit itu. Sekian kali aku masukkan, sekian kali juga Teh Lina berteriak tertahan menahan rasa sakit. Sewaktu penisku amblas hampir setengahnya, ujung tonggakku itu ternyata tertahan oleh selaput daranya, sehingga membuatku menghentikan hujaman penisku itu. Segera saja kutarik penisku perlahan-lahan dari liang surgawi milik guru sekolahku itu. Gesekan yang terjadi antara batang penisku dengan dinding lorong vagina Teh Lina membuatku meringis menahan rasa nikmat yang tak terhingga. Baru kali ini aku merasakan sensasi seperti ini. Lalu, kembali kutusukkan penisku ke dalam vagina Teh Lina sampai sebatas selaput daranya lagi dan kutarik lagi sampai hampir keluar seluruhnya.

Kulihat Teh Lina malah menikmati apa yang aku lakukan, giginya menggigit bibir bawahnya, tidak nampak rasa penderitaan dari wajahnya, hanya kenikmatan dan sensasi yang baru dialaminya. Dia sudah tidak ingat lagi komitmennya untuk memberikan kesucian hanya pada suaminya kelak, yang dia tau adalah bagaimana hasratnya saat itu tertuntaskan. Akal sehatnya sudah tidak bekerja lagi, kenikmatan duniawi yang baru dia rasakan telah merasuk ke seluruh tubuhnya. Walau dalam hatinya menolak, tapi tubuhnya tidak dapat berbohong, tentu agar syahwatnya terlepaskan.

Begitu terus kulakukan berulang-ulang, memasukkan dan mengeluarkan setengah batang penisku ke dalam vagina Teh Lina. Dan temponya pun semakin lama semakin kupercepat.
Gesekan batang penisku dengan dinding vagina Teh Lina semakin menggila. Rasanya tidak ada lagi di dunia ini yang dapat menandingi kenikmatan yang sedang kurasakan dalam permainan cintaku dengan guru sekolahku ini. Kenikmatan yang pertama dengan kenikmatan berikutnya, disambung dengan kenikmatan selanjutnya lagi, saling susul-menyusul tanpa henti. Baru kali ini aku merasakan vagina seorang perawan, dan tidak tanggung-tanggung, vagina seseorang yang selalu menjaga kesuciannya.

Tampaknya setan mulai merajalela di otakku seiring dengan intensitas gesekan-gesekan yang terjadi di dalam vagina Teh Lina yang semakin tinggi. Kenikmatan tiada taranya yang serasa tidak kesudahan, bahkan semakin menjadi-jadi membuat aku dan Teh Lina menjadi lupa segala-galanya.
Aku pun melupakan semua komitmenku tadi.

Dalam suatu kali saat penisku tengah menyodok vagina Teh Lina, aku tidak menghentikan hujamanku itu sebatas selaput daranya seperti biasa, namun malah meneruskannya dengan cukup keras dan cepat, sehingga batang penisku amblas seluruhnya dalam vagina perempuan cantik itu.
“Ahh… Russs…” jerit Teh Lina tertahan sambil menggigit bibir bawahnya, sepertinya rasanya cukup menyakitkan. Vaginanya yang amat sempit itu berdenyut-denyut menjepit batang penisku yang tenggelam sepenuhnya.

“Aaaauuuuwwww…!!” Teh Lina menjerit cukup keras, kesakitan.
Tetapi aku tidak menghiraukannya. Sebaliknya, aku semakin bernafsu untuk memompa penisku itu semakin dalam dan dalam, juga semakin cepat lagi penetrasiku di dalam vagina Teh Lina. Rasa sakit yang dialami guru sekolahku itu tidak membuat aku mengurungkan perbuatan setanku. Bahkan genjotan penisku ke dalam lubang vaginanya semakin menggila. Kurasakan, semakin cepat aku memompa penisku, semakin hebat pula gesekan-gesekan yang terjadi antara batang penisku dengan dinding vaginanya, dan semakin tiada tandingan pula kenikmatan yang kurasakan.

Hujaman-hujaman penisku ke dalam vagina Teh Lina terus-menerus terjadi sambung-menyambung. Bahkan tambah lama bertambah tinggi temponya. Teh Lina tidak sanggup berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menjerit-jerit tidak karuan. Rupa-rupanya setan telah menguasai jiwa kami berdua, sehingga kami terhanyut dalam perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh dua orang guru dan murid.

“Aaaah… Rusdi... Aaaahhh…” Teh Lina menjerit panjang.
Dia sudah tidak merasakan sakit, malah yang ada adalah kenikmatan tiada tara. Tampaknya ia sudah seakan-akan terbang melayang sampai langit ketujuh. Matanya terpejam sementara tubuhnya bergetar dan menggelinjang keras. Peluh mulai membasahi tubuh kami berdua. Kutahu, guru sekolahku itu sudah hampir mencapai orgasme. Namun aku tidak mempedulikannya. Aku sendiri belum merasakan apa-apa. Dan lenguhan serta jeritan Teh Lina semakin membuat tusukan-tusukan penisku ke dalam vaginanya bertambah menggila lagi. Teh Lina pun bertambah keras jeritan-jeritannya. Pokoknya suasana saat itu sudah gaduh sekali. Segala macam lenguhan, desahan, ditambah dengan jeritan berpadu menjadi satu.

Akhirnya kurasakan sesuatu hampir meluap keluar dari dalam penisku. Tetapi ini tidak membuatku menghentikan penetrasiku pada vagina Teh Lina. Tempo genjotan penisku juga tidak kukurangi.
“Rus, jangan keluarkan di dalam, aku takut hamil.” keluh Teh Lina sambil terus menikmati orgasme panjang yang ia rasakan. Dan akhirnya, setelah rasanya aku tidak sanggup menahan orgasmeku, kutarik penisku dari dalam vagina Teh Lina secepat kilat. Kemudian dengan tempo yang tinggi, kugosok-gosok batang penisku itu dengan tanganku. Tak lama kemudian, cairan-cairan kental berwarna putih menyembur kencang bagaikan senapan mesin  dari ujung penisku. Sebagian mengenai muka Teh Lina. Ada pula yang mengenai payudara dan bagian tubuhnya yang lain. Bahkan celaka! Ada pula yang belepotan di jok sofa yang diduduki oleh perempuan cantik itu. Ditambah dengan darah yang mengalir dari dalam vaginanya, menandakan keperawanan guru sekolahku itu berhasil direnggut olehku, murid yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri!

Dan akhirnya, karena kehabisan tenaga, aku terhempas begitu saja ke atas sofa di samping Teh Lina. Tubuh kami berdua sudah bermandikan keringat dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku hanya mengenakan kaus oblong saja, sedangkan Teh Lina hampir telanjang bulat dengan jilbab yang tersingkap ke atas tak karuan, kemeja yang tidak dapat lagi menutupi kemolekan tubuhnya, serta rok yang tersingkap ke atas sampai di perutnya.

Sesaat Teh Lina merasakan kenikmatan yang baru ia rasakan, tak lama kemudian ia mulai tergugu menangis terhadap apa yang kami lakukan. Aku tahu rasanya seseorang yang baru saja kehilangan mahkotanya, anehnya dia tidak marah padaku. Mungkin karena diapun menikmatinya, mungkin karena aku pernah menolongnya, atau mungkin karena aku yang melakukannya. Aku mulai mendekap tubunya dan kami pun tertidur kelelahan dalam pikuknya suara hujan dan guntur yang terus bergemuruh.

***
Sejak itu, Teh Lina memang agak menarik diri dan menahan diri setiap bertemu denganku, mungkin karena malu, takut atau rasa bersalah. Tapi setiap aku ’mengingikannya’ aku selalu datangi rumah kontrakannya, dan melakukan hal itu lagi dengannya walau dengan sedikit memaksa. Walau tidak setuju dan tidak merespon terhadap apa yang aku lakukan, tapi dia tidak marah dan melaporkan atas perbuatanku itu. Dan akupun tahu diri, aku tidak pernah menumpahkan spermaku di rahimnya, tapi terkadang memintanya untuk mengulum dan menumpahkan dalam mulutnya, dadanya, atau bahkan perutnya.

Namun sejak sebulan lalu, dia diterima menjadi PNS di kota, aku jadi kesulitan untuk menghubunginya lagi.
Demikian sekelumit ceritaku dengan guruku yang tak mungkin aku lupakan.
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar