Kamis, 24 Desember 2009

Pelecehan Gadis Berjilbab Dalam Bis

Jam menunjukkan pukul 5 kurang 10 sore, seluruh calon penumpang bis kota sudah membanjiri halte. Sindy mulai mendekap erat tasnya, takut ada copet yang melintas. Sindy adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di salah satu kota di sumatera, tinggi 164 cm, memakai Jilbab, badannya langsing, walaupun berjilbab Sindy tetap mengikuti mode pakaian jaman sekarang, sehingga tak heran pakaiannya sering membuat pria-pria sekitarnya menelan ludah, karena walaupun tertutup tetapi tetap saja memperlihatkan lekuk tubuh sindy.

Celana legging panjang sebetis yang berbahan cukup tipis, membuat kakinya yang panjang dan langsing menjadi terlihat jelas lekuk-lekuknya, serta sendal ber-hak tinggi yang dikenakannya semakin menambah keseksian kakinya. Pantatnya tidak terlalu besar, proporsional dengan badannya. Dadanya juga tidak terlalu besar, standar orang indonesia. Wajahnya yang manis, dengan bibir tipis dipoles listik merah jambu, serta tak henti-hentinya menebar senyum, bisa membuat hati pria mana saja berdesir dan berhayal bisa melumatnya.
Akhirnya bis yang ditunggu datang juga, semua penumpang langsung merangsek masuk, tidak peduli pria ataupun wanita. Begitupun sindy, dia langsung merangsek masuk tubuhnya yang agak mungil membuat dia lebih mudah untuk menyelip di antara para penumpang, walaupun sindy hanya bisa berdiri diatas bis karena sudah sesak dengan penumpang.
Dengan penuh penumpang, bis pun berjalan menyusuri rutenya. Di dalam bis, Sindy mencoba tetap mendekap tasnya, takut dicopet orang, karena semua barang – barang berharganya ada disitu.
Selang 15 menit, ia mulai merasa ada himpitan dari belakang, terasa ada sesuatu di bokongnya. Sesuatu itu terasa seperti kontol pria yang mulai mengeras. Pria tersebut menggesek-gesekkan kontolnya di belahan bokong Sindy. Ia pun berusaha menutupi bokongnya dengan tangan kanannya. Namun, bukannya menutupi tapi tangannya malah memegang kontol pria tersebut.
Merasa mendapat angin segar, pria tersebut langsung memegangi tangan Sindy, sementara tangan pria kirinya membuka retsletingnya sehingga keluarlah kontolnya yang sudah mulai menegang. Tangan Sindy diarahkan untuk memegang dan mengocok kontol pria tsb. Tangan kirinya meraba-raba kedua bukit kembar milik Sindy. Sindy yang memakai kemeja cukup ketat dengan ukuran S, hanya bisa pasrah, karena posisinya yang dijepit dari segala arah, sementara sulit baginya untuk meminta tolong, karena suasananya sangat berisik dan semua orang acuh terhadap apa yang sedang terjadi.
Pria tersebut makin ganas, setelah puas meremas-remas payudara Sindy, ia pun berusaha menurunkan celana legging Sindi yang berbahan karet sehingga CD putihnya terlihat. Diremas-remasnya bokong Sindy, lalu dengan tangan kirinya itu ia meraba-raba vagina Sindy, dipilin-pilin klitorisnya. Sindy hanya bisa menggelinjang kegelian menerima perlakuan seperti itu, ia pun merasa CD-nya menjadi basah, ia malah merasa menikmati permainan pria tsb.
Setelah puas dikocok oleh tangan Sindy, ia pun mulai menggesek-gesek kontolnya di belahan bokong Sindy yang hanya tertutup oleh CD. Tangan kirinya sudah menyelinap di dalam CD Sindy, dan jari-jarinya mulai memainkan peranannya. Selang 15 menit, pria tersebut sampai pada klimaksnya, ia pun menyemburkan lahar panasnya ke CD Sindy dan juga mengenai Jilbab dan Celana leggingnya. Sindy pun menyemburkan cairan orgasmenya, yang membuat CD-nya menjadi semakin basah. Pria tersebut langsung menyelinap kabur ketika bis berhenti sejenak, sementara Sindy harus melanjutkan perjalanan dengan CD dan celana yang lengket karena mani dan cairan orgasmenya.

Sex Di bioskop

Ami dengan iri memandangi para penonton di bisokop itu yg sedang berduaan dengan pacarnya , sedangkan ia duduk di runag tunggu ini sendirian tanpa ada seorangpun yang menemani. Ami adalah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negri di sumatra.
Beberapa hari yang lalu Ami mendengar kalau pacarnya selingkuh dengan teman baiknya , awalnya Ami tidak percaya , namun kemarin ia melihat dengan mata kepalanya sendiri dan dengan perasaan sakit hati , ia langsung memutuskan hubungan dengan pacarnya.
Hari ini ia merasa suntuk dirumah , maka ia memutuskan untuk pergi saja ke bioskop sendirian , kebetulan film yg ia tunggu sudah diputar di bisokop.
Ami bersiap pergi ke bioskop , ia bercermin untuk terakhir kalinya, cermin di kamarnya memantulkan sosok wajah cantik, dengan Jilbab biru muda menutup tonjolan di dada yg cukup besar ditutupi oleh kemeja panjang khas gadis-gadis berjilbab yang cukup ketat berwarna biru tua , celana jins ketat denim memeperlihatkan kaki seorang gadis belia yang panjang dan ramping. Puas dengan penampilannya ia pun segera pergi ke bioskop.
Di dalam ruang teater, susananya cukup penuh, karena ini adalah pemutaran perdana alias premiere.
Ami menempati tempat duduknya , dan sementara film belum mulai diputar , pikiran Ami melayang, memikirkan tentang mantannya dan masa masa indah dulu.

“maaf…permisi dik …numpang lewat…….” sebuah suara mengaggetkan Ami.
seorang pria setengah baya tetapi cukup tampan, bahkan terkesan berwibawa tampak tersenyum pada Ami, tatapan pria itu menimbulkan perasaan aneh pada diri Ami.
“ooh..ya ..maaf…” kata Ami tersadar dan memberi jalan untuk pria itu lewat, dan ternyata pria itu duduk tepat disebelahnya.
setelah duduk pria itu kembali menatap Ami, tersenyum dan mengucapkan terima kasih, perasaan aneh pada diri Ami kembali muncul, entah apa…. Ami tak mau terlalu ambil pusing, film sudah dimulai.
Film sudah berjalan setengahnya, saat Ami merasakan ada yg menyentuh lengannya, ia menoleh dan melihat pria itu sedang mengelus-elus lengan Ami tapi tatapan matanya tetap pada layar.
Ami bisa saja marah dan memaki maki pria kurang ajar itu , namun entah mengapa ia membiarkan pria itu mengelus elus lengannya.
merasa tak ada penolakan dari Ami , pria itu terus mengelus elus lengan Ami, sambil terus menatap pada layar.
Ami sendiri hanya terdiam nafasnya seolah terhenti , ia tak bisa menolak perlakuan pria itu , ia malah memejamkan mata seolah menikmati sentuhan demi sentuhan yg dilakukan oleh pria disebelahnya. Getaran getaran di tubuhnya terasa semakin kuat.
Ami segera membuka mata dan tubuhnya bagai kena sengatan listrik saat ia merasakan tangan pria itu melewati lengannya dan menyentuh buah dadanya, awalnya hanya sentuhan sentuhan kecil, namun ketika kembali tak ada reaksi penolakan dari Ami, sentuhan pria ini berubah menjadi remasan remasan yg membangkitkan birahi Ami.
Dengan sedikit takut Ami meoleh ke penonton di sebelahnya, ternyata org itu serius menonton.
Pria asing itu terus menerus meremas buah dada Ami, menyebabkab puting Ami perlahan mengeras tanda Ami sudah sangat terangsang.
Pria itu sepertinya tahu hal itu, maka dengan berani tangannya melepas 3 buah kancing kemeja Ami, menelusup masuk ke balik kemeja ketat dan jilbab yang dikenakan Ami dan menyentuh langsung buah dada itu.
tiba tiba handphone penonton disebelah berbunyi, membuat pria itu dengan segera menarik tangannya dan duduk manis seolah tak ada apa apa.
Ami sendiri masih bingung apa yg terjadi, ia sama sekali tak kenal pria ini tapi kenapa ia membiarkan pria itu berbuat kurang ajar padanya, membiarkan menyentuh tubuhnya, bahkan saat ini birahi Ami semakin naik dan berharap pria ini kembali menyentuhnya.
Setelah beberapa menit, Ami merasakan ada yang mencoba membuka ritsleting celana jins nya dan menurunkan celananya, mengelus-elus paha mulusnya.
Ami hanya menarik nafas panjang sambil menatap pria itu, dan seperti sebelumnya sambil menyentuh Ami pandangan pria itu masih terarah pada layar.
Ami mengerang tertahan saat sentuhan pria itu tiba di bagian sensitifnya, jari jari pra itu bergerak menggeliitk dengan gerakan putaran, tanpa sadar Ami semakin melebarkan kakinya.
Ami semakin terangsang dengan sentuhan erotis pria itu , vaginanya sudah mulai basah.
bahkan dalam diri Ami ingin membalas perlakuan pria itu , dan menyetuh penisnya , ia seolah ingin penis pria itu masuk ke mulutnya.
Ami memandang pria itu , yg ternyata juga sedang memandangi Ami.
Mereka berdua saling berpandangan cukup lama, sampai akhirnya pria itu tersenyum dan bangkit sambil menarik tangan Ami unutk ikut dengannya , Ami sendiri dengan patuh ikut dengannya setelah sebelumnya merapikan kemeja, jilbab dan jinsnya yang setengah terbuka.
Dengan berdebar debar penuh gairah, Ami mengikuti pria itu dan masuk ke toilet wanita, saat itu toilet sedang kosong.
Setelah mengunci pintu, mereka berciuman dengan ganasnya seolah mereka sepasang kekasih yg telah lama tidak bertemu.
Pria itu menarik pinggang Ami dan merangkul erat tubuh molek gadis itu , Ami bisa merasakan tonjolan penis pria itu menyentuhnya.
Ciuman mereka semakin ganas, lidah mereka saling menyapu, pandangan mata mereka memancarkan gairah yg tak tertahankan.
Sambil terus berciuman, tangan pria itu beraksi di balik Jilbab Ami dan kancing kemejanya sudah terbuka, dan meremas-remasnya sedikit keras, sampai akhirnya pria itu melepas kemeja dan BH Ami.
Pria itu menggemgam bulatan buah dada Ami, menurunkan kepalanya dan mulai menjliati buah dada yg indah dibalik Jilbab yang telah disingkapkan tanpa melepasnya itu.
Ia menjilati puting Ami dengan ujung lidah, meniupnya pelan, membuat Ami bergidik dan geli, dilanjutkan dengan mengulum dan menyedot buah dada itu, lidahnya bergerak gerak memutar, membuat Ami merintih nikmat, meresapi sensasi sensual ini.
Ami kemudian menurunkan tubuhnya membuka kancing celana pria itu dan menurunkannya.
Pria itu hanya tersenyum menatap Ami, saat Ami juga menurunkan celana dalam yg mengurung penisnya.
Tak membuang waktu, Ami menggengam penis itu, menjliati dan mengulumnya sehingga makin mengeras.
Ami bisa merasakan denyutan penis itu saat beraksi dengan jilatannya. Ujung kepala penis itu Ami jilati memutar dengan lidahnya lalu kemudian dikocok dengan jilbabnya dan dikulumnya beberapa saat dan diulang kembali, terus sampai Ami semakin kuat menyedotnya. Nafas pria itu terdengar semakin berat menahan birahi.
Denyutan penis itu dirasakan Ami semakin kentara saat tak lama kemudian memuntahkan isinya, langsung masuk ke tenggorokan Ami.
Semburan spermanya ternyata cukup banyak, Ami tak mampu menelan semuanya , sebagian menetes diantara bibirnya yg manis, dan membasahi jilbabnya. Tanpa merasa jijik Ami menelan cairan asin itu dan menjilati sisa sisa yg menempel di penis pria itu serta menyekanya dengan jilbab biru mudanya itu, hingga pria itu menggelinjang kegelian.
“giliran saya…” kata pria itu sambil mendorong Ami ke dinding.
Pria itu melepaskan Jins ketat Ami dan tentu saja bersama dalamannya.
Pria itu menciumi pangkal paha Ami, menjilatinya, memainkan lidahnya di bibir vagina dan clitnya membuat Ami tersiksa oleh kenikmatan.
Jilatan lembut pria itu diselingi dengan sedotan sedotan yg membuat Ami makin menggelinjang tak tertahankan, mengetahui Ami sudah terangsang tak tertahankan. Pria itu berdiri dan tanpa basi basi langsung menusuk vagina itu dengan penisnya.
“aaaauhhhhhwhw….” Ami mengerang saat penis itu menerobos masuk, untuk memudahkan pria itu mengangkat kedua kaki Ami dan kemudian mulai mendorong dorong keras penisnya masuk semakin dalam.
Ami tak bisa menahan erangannnya , mulutnya terus merintih dan mengerang menikmati serangan demi serangan.
tiba tiba si pria mencabut kembali penisnya , membalikan tubuh Ami , sedikit dibungkukkan dan menembusnya kembali dari belakang.
Ami kemudian menyadari dalam posisi seperti ini, ia tak mungkin mencapai orgasme, maka ia memaksa pria itu mencabut kembli penisnya, medorongnya duduk di toilet, dan Ami naik ke atasnya.
Ami mencari posisi yg tepat, hingga penis pria itu kembali menembusnya .
Posisi seperti itu ternyata menguntungkan juga bagi pria itu, ia bisa meremas buah dada yg menggemaskan itu . setiap Ami bergerak buah dadanya turut bergoyang menggoda dan jilbabnya ikut berkibar.
Butuh waktu yg agak lama sampai akhirnya Pria itu memuncratkan mani nya dalam vagina ami dan diiringi orgasme Ami sendiri, Mereka hanya merintih tertahan karena takut ketauan orang lain.
Setelah puas mereka kembali berpakaian dan secara terpisah kembali ke tempat duduk masing masing ,
dan saat film usai . si pria asing itu tersenyum pada Ami dan menjatuhkan sebuah kartu nama pada pangkuan Ami.
Ami membaca nama dan alamat di kartu nama itu dan berpikir apakah ia akan menemui orang asing itu lagi , dan berpikr kira kira…permainan seru apalagi yg akan ia jalani bersama pria itu..?
entah……..namun Ami berpikir spertinya menarik…dan akan sangat menyenangkan.

Sabtu, 07 November 2009

ERNI

Namaku Doni, lajang 36 tahun bekerja sebagai asisten manager pada sebuah perusahaan swasta nasional. Aku mempunyai pengalaman menarik pada saat aku sedang berakhir pekan di Anyer, Banten beberapa waktu lalu. Biasanya akhir pekan kuhabiskan dengan clubbing dengan teman-temanku. Tapi kali ini aku ingin sendirian menikmati hari libur yang hanya singkat itu. Nah, sewaktu disana aku ceroboh saat bermain di pantai hingga hp kesayanganku nyemplung di air laut. Gara-gara itulah aku mendapatkan pengalaman menyenangkan yang tak terduga.

Singkat cerita esoknya hari Sabtu aku meluncur dengan sedanku menuju pusat perbelanjaan yang berada di pusat kota Cilegon untuk membeli pengganti ponselku yang rusak. Sesampainya disana aku langsung menuju ke lantai atas yang merupakan lokasi pusat perdagangan hp disana. Setelah cari merek dan model terbaru yang memang sudah kuincar dari kemarin akhirnya kudapatkan disalah satu gerai yang cukup besar disitu. Sambil duduk, kucoba-coba fitur yang ada pada ponsel yang baru kubeli. Saat asyik mengutak-utik barang baru tersebut, sales gerai yang berada dihadapanku sekonyong-konyong berucap,"Cari apa mbak?". Refleks kepalaku menoleh samping. Sosok yang disapa tadi berdiri disamping agak kebelakang. Seorang gadis berseragam hem putih lengan panjang dengan rok abu-abu panjang semata kaki mengenakan jilbab putih. Yang disapa hanya menjawab,"Ah, nggak mbak. Cuma lihat-lihat", sambil tersenyum kecut. Sekilas dari pengamatanku sosok gadis tersebut mempunyai tinggi 160cm dan berwajah cukup manis dan cantik. Sepertinya ia tertarik pada ponsel yang baru kubeli ini. Aku tahu itu karena pada saat melihatnya, dia seperti sedang berdiri memperhatikan hp yang sedang kuutak-utik.

Tak lama kemudian gadis itu beranjak pergi. Entah kenapa aku jadi ingin melihat sosoknya sekali lagi. Sambil bergaya seperti hendak menelpon dengan hp baru, kutolehkan kepalaku sedikit.
"Wah! Boleh juga nih cewek", ujarku dalam hati. Walau siswi itu berbusana serba tertutup namun karena seragam yang ia kenakan itu nampak ketat membalut maka setiap lekuk tubuhnya nampak jelas terpampang. Pinggulnya ramping sedangkan pantatnya bulat dan sekal. Pikiran nakalpun mulai singgah di kepalaku membangkitkan libidoku. Sekalian ingin mencoba kemampuan hp baru, kuarahkan kameranya untuk memotret siswi itu walau hanya nampak dari belakang. Pertama aku kupotret seluruh badan dan yang kedua sengaja aku zoom bagian pinggul dan pantatnya.
"Wow, bohai bener nih pantat! garis cd-nya aja keliatan", ujarku dalam hati begitu melihat hasil jepretan kamera ponsel.

Setelah beres urusan hp, aku segera menuju food court yang ada di lantai bawah untuk makan siang. Sambil menunggu makanan yang kupesan datang iseng kubuka lagi file foto yang kujepret tadi. Melihat foto itu fantasi liarku mulai melayang jauh. Entah kenapa baru kali ini aku merasa begitu terangsang oleh penampilannya. Padahal selama ini aku biasa-biasa saja melihat setiap gadis berjilbab. Mungkin selama ini aku tidak menyadari seperti ada daya tarik tertentu dari wanita yang berpakaian seperti itu. Kubayangkan diriku sedang leluasa menjamah dan menikmati tubuh siswi berjilbab itu. Lagi asyik-asyiknya aku melamun, pelayan food court yang mengantarkan makan siangku membuyarkan itu semua. Buru-buru kusimpan ponselnya ke saku celana.

Baru saja mau makan, tiba-tiba mataku menangkap sosok yang kubayangkan tadi berada tidak jauh dari tempatku duduk. Nampaknya ia sedang asyik melihat-lihat pernak-pernik dan asesori perhiasan yang berada di counter dekat food court ini. Segala gerak gerik gadis itu tak lepas dari pengamatanku. Saat tubuhnya berbalik hendak beranjak meninggalkan gerai tersebut, tiba-tiba pandangannya beradu dengan tatapanku. Nampaknya ia sedikit kaget melihat keberadaanku. Seakan malu melihatku, kepalanya langsung ditundukkan menghindari tatapanku. Tapi seakan penasaran tidak yakin yang dilihatnya itu aku, sekali lagi ia menoleh sedikit kearahku. Kulemparkan senyumku sambil melambaikan tangan kearahnya seakan menggoda sikapnya yang malu-malu kucing. Gadis itu seakan menjadi kikuk atas sikapku kepadanya. Ia hanya tersenyum malu lalu menundukkan pandangannya kebawah seakan tidak berani beradu pandang denganku. Beberapa saat ia hanya berdiam disitu sambil kepalanya celingak-celinguk seakan takut ada yang mengenalinya berada disekitarnya.

Perlahan aku bangkit dari duduk dan kuhampiri dia. Siswi berjilbab itu kulihat semakin salah tingkah dan grogi ketika aku mulai mendekat.
"Halo dik, ketemu lagi kita disini. Lagi ngapain? Mau belanja asesoris?", sapaku. Yang disapa hanya tersenyum simpul dengan kepala sedikit tertunduk malu sedangkan tangannya memegang erat tas ransel dipunggungnya. Perlahan dengan suara pelan ia menjawab,
"Ah, nggak om cuman liat-liat aja koq", dengan pandangan menunduk kebawah.
Lalu dengan segala keramahan kucoba mengajaknya makan siang bersamaku. Mula-mula ia tampak sedikit ragu atas ajakanku. Tapi akhirnya dengan sedikit bujuk rayuku ia mau juga.

Setelah berbasa-basi, kami berkenalan. Namanya Erni Widyaningsih berumur 16 tahun duduk di kelas 2 salah satu SMK swasta disana. Setelah itu kami lanjutkan perkenalan ini dengan santap siang. Disini mengalir bermacam-macam obrolan mulai dari dirinya sampai unek-unek dan permasalahan yang ia hadapi saat ini. Dia adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Bapaknya pegawai honorer pemda sedangkan untuk membantu menambah penghasilan keluarga ibunya bekerja sebagai karyawan sebuah toko. Erni sengaja masuk SMK (SMEA) karena begitu lulus ingin bisa langsung kerja membantu orang tuanya. Namun keinginannya itu bisa kandas ditengah jalan karena sekarang keuangan orangtuanya yang sedang sulit sehingga ia masih menunggak SPP. Sedangkan teguran dari sekolah hampir tiap hari diterimanya. Bahkan hari ini ia dipaksa pulang lebih awal dari sekolah karena masih belum . Yang membuatnya sakit hati yaitu sikap beberapa teman kelasnya yang terus mengejek dan menyindir keadaan sulit yang sedang dialaminya. Dia merasa heran dan bingung karena beberapa siswi yang suka mengejeknya justru berkeadaan sama dengan dirinya. Meskipun begitu penampilan mereka justru layaknya seperti orang yang berkecukupan. Mulai dari tas, sepatu bahkan hp bagus mereka punya. Di depan Erni mereka selalu bergaya memamerkan barang-barang tersebut. Terus terang terkadang ia merasa iri dengan mereka. Sampai disitu, kutanyakan padanya apakah dia tahu bagaimana teman-temannya itu mampu membeli barang-barang tersebut. Mendengar pertanyaanku itu sejenak ia diam sambil menunduk seakan tahu tapi malu menjawabnya. Setelah kudesak secara halus akhirnya keluar pengakuan bahwa ia pernah mendengar kabar bahwa teman-temannya itu menjual diri demi mendapatkan materi. Mulanya ia tidak mempercayainya tapi kemudian secara tidak sengaja ia memergoki salah seorang rekannya itu sedang digaet pria berumur sewaktu pulang sekolah. Mendengar pengakuannya sambil tersenyum kutanyakan pendapatnya tentang perilaku teman-temannya itu. Sambil diam sejenak kemudian ia berkata kalau sebenarnya kesal juga sedikit iri dengan mereka yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan uang.
"Lha kalau nggak begitu, mungkin mereka juga akan mengalami nasib yang sama dengan kamu. Habis mau gimana lagi minta sama orang tua sulit, yah satu-satunya cara mungkin yang seperti kamu bilang itu.", ujarku sembari menunggu reaksinya. Siswi berjilbab itu hanya diam tertunduk mendengar kata-kataku. Nampaknya pernyataanku menusuk kedalam sanubarinya.

Melihat ia yang masih diam saja yang tidak membantah atau mengiyakan pernyataanku tadi, otakku mulai berputar mencari siasat untuk menggiring gadis yang sedang dalam kesempitan ini kearah yang kumau. Dengan lembut kutanya, "Erni, kamu masih mau sekolah kan?". Dia hanya mengangguk pelan mengiyakan.
"Kalau om tolong bayarin SPP-mu kamu mau nggak?", tanyaku lanjut.
"Ah, yang benar? Masak sih om?", sahut Erni sambil memandangku dengan tatapan kaget seolah tidak percaya.
"Ya iya dong. Om serius mau ngebantu kamu. Masak bercanda?", jawabku berusaha meyakinkannya. Terkesima akan tawaranku gadis itu berkata heran,
"Aduh om baik sekali! Koq mau nolongin Erni? Om kan baru kenal sama Erni".
"Saya nggak tega kalau kamu putus sekolah. Kasian kan kalau cita-cita kamu kandas di tengah jalan. Kasihan orang tua Erni yang punya harapan besar sama", ujarku sambil tersenyum. Sejenak ia terdiam.
"Kenapa? Kamu masih nggak percaya?", tanyaku.
Lalu ia menjawab, "Bukan begitu om, tapi rasanya Erni nggak bisa membalas kebaikan hati om. Rasanya bantuan yang diberikan om terlalu besar buat Erni. Kayaknya terima kasih aja nggak cukup buat membalas semuanya.", dengan wajah sedikit bingung.
"Ah, kamu nggak usah bingung. Kalau pengen balas budi gampang koq, asal kamu ngerti caranya.", timpalku sambil tersenyum penuh arti. Dengan pandangan penuh tanda tanya ia berkata.
"Caranya gimana om?", seolah penasaran ingin tahu kemauanku.
"Er, di dunia ini tidak ada yang gratis. Kalau ingin mendapatkan sesuatu kita harus berusaha. Begitu juga dengan teman-temanmu. Mereka tahu kalau hanya mengandalkan orang tua segala keinginan yang terpendam tidak akan mereka dapatkan. Jadi walau banyak yang tidak suka cara mereka, mungkin termasuk kamu, mereka ambil jalan yang paling gampang. Caranya ya itu tadi yang seperti kamu ceritakan. Jadi... kalau kamu ingin membalas kebaikan om, yah caranya seperti yang seperti teman-temanmu itu", paparku sambil tersenyum penuh arti. Sekilas raut wajah remaja putri itu kaget sekaligus gelisah mendengar penjelasanku tadi. Ia cuma terdiam sambil tertunduk. Wajahnya yang manis nampak penuh kebimbangan.

Melihatnya dalam keadaan bimbang kulancarkan rayuan sambil mengiming-iminginya untuk membelikan segala macam barang bagus. Sekilas kemudian sambil menatapku dengan tatapan bimbang ia bertanya dengan suara pelan,
"Tapi om kalau... saya nanti hamil gimana?".
"Oh.. itu sih gampang. Kamu nggak mungkin sampe hamil. Banyak cara buat mencegahnya koq. Tenang, om ngerti caranya.", jawabku tersenyum seraya meyakinkan dirinya yang sedang bimbang. Gadis itu kemudian menurunkan pandangannya ke atas meja sambil menaruh kedua tangannya diatas meja. Jemari kanannya meremas jemari kirinya pertanda ia sedang berpikir keras.

Setelah membiarkannya sejenak untuk berpikir, kulancarkan kalimat pamungkas untuk meruntuhkan kebimbangannya. Seraya memandang tajam wajahnya perlahan tanganku menyentuh jemarinya sambil berkata,
"Om tidak akan memaksa Erni. Kalau kamu mau om senang sekali, tapi kalau nggak ya nggak apa-apa. Tapi coba pikirkan sekali lagi, apa ada cara yang lebih baik lagi buat menyelesaikan masalah kamu sekarang..... hmmm", seakan mengarahkan pikirannya kalau tidak ada cara lagi selain yang kutawarkan tadi. Erni hanya bisa memandangku dengan tatapan sayu seakan pasrah mengiyakan ucapanku. Beberapa saat kami saling bertatapan seraya kedua tanganku meremas kedua jemarinya. Gadis itu seolah sudah berada dalam genggamanku karena ia tidak menolak jemarinya yang halus diremas olehku. Merasa semua sudah berjalan dengan rencanaku, kuajak ia berlalu dari situ.

Singkat cerita, selama dalam perjalanan menuju bungalow tempatku menginap pandangan dan pikiranku tidak lepas dari sosok siswi SMK disampingku ini. Tangan kiriku tidak henti-hentinya bergerilya mengelus pipi, dagu, tangan dan bahkan pahanya. Namun karena sudah pasrah ia diamkan saja perlakuanku itu. Rasanya tidak sabar lagi untuk segera beraksi. Kularikan kendaraanku secepat mungkin agar cepat sampai tujuan.

Sampai ditujuan keluar dari mobil, bagai sepasang kekasih kurangkul pundaknya dengan tangan kiriku. Kubawa ia menuju kamar tidur utama. Kemudian setelah menutup pintu kamar kutarik kedua lengannya dan kuletakkan diatas pundakku. Sedangkan kedua tanganku mendekap erat tubuhnya. Wajah kami saling berhadapan amat dekat. Wajah yang cantik manis dengan tatapan sayu serta bibirnya yang mungil agak sedikit terbuka seperti meminta untuk dilumat. Segera kucium dan kulumat bibirnya dengan gemas sedangkan kedua tanganku mulai beraksi mengelus punggung dan pinggangnya bergantian.

Beberapa saat kemudian tanganku beralih turun kepantatnya. Kuelus dan kuraba terasa kenyal dan padat bongkahan pantat gadis ini. Dengan gemas kuremas-remas pantatnya sambil sesekali mencengkram dan mendorongnya ke arah selangkanganku. Wajah Erni mengernyit kaget dengan perlakuanku itu. Apalagi dia merasakan benda aneh yang keras dari balik celanaku menekan-nekan selangkangannya. Puas melumat bibirnya ciumanku perlahan turun ke dagu kemudian leher menuju payudaranya. Sepasang payudara yang montok menggelembung padat meyembul dari balik hem putih lengan panjangnya. Segera kupagut dan kukulum payudara yang masih tertutup oleh kemeja putih seragamnya. Tangan kananku segera meraih dan meremas payudara kirinya sedangkan tangan kiriku masih asyik meremas pantatnya. "Ohh.... mmmhhh", kepala siswi berjilbab itu mendongak sambil melenguh menikmati perlakuanku. Kedua tangannya meremas-remas kepalaku.

Perlahan tangan kananku mulai membuka kancing baju seragamnya satu persatu sambil menarik bawahan kemeja itu dari balik roknya. Terpampang dihadapanku sepasang buah dada yang montok berukuran 33 dengan BH yang nampak kekecilan untuk menampungnya. Lalu kulucuti hem putih lengan panjang beserta BH yang masih dikenakannya itu. Kini Erni hanya tinggal mengenakan rok abu-abu panjang semata kaki dengan jlbab putihnya. Sengaja kubiarkan begitu karena bagiku hal tersebut merupakan sesuatu yang amat menggairahkan.

Melihat pemandangan yang indah ini segera kulanjutkan aksiku dengan menghisap dan menjilati sepasang puting susu miliknya yang sudah menegang dengan rakus. Terkadang tanganku ikut bermain dengan memiting dan memilin puting yang berwarna coklat muda itu.
"Ouhh... ahhh... ahhh", desah bibir mungil yang setengah terkatup sambil meremas kepala dan pundakku.
Nafasnya naik turun menahan nikmat. Semakin lama desahannya semakin kencang membuatku semakin bergairah. Sambil membalikkan tubuh ABG ini hingga membelakangiku segera kulepas semua pakaian yang kukenakan tinggal celana dalamku. Kemudian sambil memeluk dari belakang kuraih wajahnya dan kulumat kembali bibir mungilnya, sementara kugesek-gesek penisku yang sudah menegang di dalam cd-ku kearah pantatnya. Sedang tangan kiriku asyik memilin puting dan meremas buah dadanya bergantian, jari tengah tangan kananku mulai mengorek-ngorek kemaluan Erni dari luar rok abu-abu panjangnya.
"Emmhh... mmhh..", desahnya tertahan oleh ciumanku sedangkan kedua tangannya pasif memegangi tangan-tanganku yang sedang bereksplorasi seakan mengikuti permainan ini.

Beberapa menit kemudian kusuruh Erni membungkuk sambil tangannya memegang pinggiran meja hias yang ada di depannya. Lalu kusingkap roknya keatas sampai sepinggang. "Wauw indah sekali...", desahku perlahan melihat pemandangan yang ada dihadapanku ini. Pantat yang bulat sekal ditopang sepasang paha dan betis mulus dan bersih. Kutarik celana dalamnya kebawah. Mataku menatap kagum keindahan pantatnya yang putih mulus. Sejenak kuelus dan kuremas bokong indah itu sambil sesekali menciuminya dengan gemas. Erni hanya bisa menundukkan kepalanya. Tubuhnya sedikit bergetar mendapat perlakuan seperti itu.

Setelah itu kurentangkan sedikit kedua pahanya dan kulihat vagina yang ditumbuhi bulu-bulu halus menebarkan baunya yang khas. Kusibakkan vagina gadis ini dan dengan jari tengahku kukorek-korek.
"Emmmhh....", tiba-tiba tubuhnya menggelinjang hebat sambil pahanya bergerak seolah hendak menjepit tangan kananku yang sedang memainkan liang surganya.

Terus kukorek-korek sampai jariku mulai kebasahan oleh cairan kewanitaan yang keluar dari sana. Nafas dan desah kecilnya memburu membuat gairahku meningkat. Kurasa ini saat yang tepat untuk mulai beraksi karena penisku sudah menuntut untuk dimasukkan. Kutarik jariku, lalu kurebahkan tubuhnya ke ranjang. Matanya menatap sayu kearahku yang tinggal bercelana dalam.

"Ihhh..!!", pekiknya pelan sambil menutup wajahnya begitu melihat kemaluanku yang besar tegak mengacung didepannya. Perlahan kudekati Erni sembari menarik kedua belah tangannya.
"Kenapa sayang?", tanyaku sambil tersenyum.
"Takut om, punya om besar sekali. Nanti sakit.", ujarnya ketakutan.
"Tenang sayang nggak sakit koq. Cuma kayak digigit semut sebentar", jawabku sembari mencium bibirnya untuk meredakan ketakutannya.

Kedua tanganku tidak ketinggalan memainkan payudara dan liang vaginanya.
"Mmmhh.. cupp.. cupp", desahnya tertahan oleh ciumanku. Sedangkan nafas gadis ini mulai memburu pertanda ia semakin terangsang. Tak lama kemudian kurasakan ujung jariku semakin basah oleh cairan yang keluar dari kemaluannya.
"Ah, ini dia saatnya", ujarku dalam hati lalu kurentangkan kedua pahanya lebar-lebar. Lalu sambil bertumpu dengan lengan kiriku, tangan kananku membimbing sang penis memasuki kemaluannya.
"Ouhh... sshhh..!", desisnya sambil menyeringai menahan rasa sakit saat penisku perlahan memasuki liang kenikmatannya. Kedua tangannya menggenggam erat seprei ranjang seakan bersiap untuk menerima kejutan lebih lanjut. Luar biasa! Penisku terasa kesulitan menembus vaginanya. Perlahan senti demi senti kemaluanku menembus lubang sempit siswi SMK ini. Akhirnya aku berhasil membenamkan seluruh batang kejantananku kedalamnya. Kurasakan nikmat luar biasa ketika penisku terasa seperti diurut oleh denyutan dinding kemaluan gadis ini. Sesaat bisa kurasakan kalau ada sesuatu yang menetes keluar dari kemaluannya. Nampaknya keperawanan gadis ini jebol sudah.

Kemudian perlahan kupompa maju mundur. Paras cantik Erni nampak mengernyit menahan sakit sambil menggigit bibir bawahnya. Namun lama kelamaan seiring dengan makin lancarnya genjotan penisku, mimik wajahnya berubah seperti mulai menikmati permainan ini.
"Shhh.. hehh.. hhhh", desah kecil bibir mungilnya sembari kedua tangannya mencengkeram erat lenganku yang sedang bertumpu disamping tubuhnya.

Melihat wajah yang cantik sedang berdesah ini membuatku semakin bergairah. Segera kulumat bibir itu sambil memainkan lidahku di dalamnya dan ternyata ia juga membalas dengan memainkan lidahnya.
"Mmmhh... cupp... cupp...", bunyi ciuman kami berdua yang diselingi permainan lidah.

Semakin lama semakin cepat genjotanku dan secara refleks Erni melingkarkan kedua kakinya ke pinggulku. Hampir sepuluh menit lamanya kami bersenggama dengan posisi ini dan tidak lama kurasakan lubang senggamanya semakin basah.
"Ouuhhh.... ohhhh.... Omm.... Err.. nnii.. mo.. pipisss..", getar suaranya menahan suatu dorongan luar biasa dari tubuhnya. Nampaknya dara bertubuh sintal ini akan mencapai klimaksnya. Dan benar saja, tubuhnya bergetar melengkung ke belakang sedangkan pahanya yang melingkar di pinggulku menjepit erat. Terasa sesuatu yang hanyat menyemprot keluar dari dalam vaginanya membasahi penisku. Sejenak kuhentikan genjotan sambil mencabut penisku dari liang senggama dara montok ini.

Nampak penisku dibasahi oleh cairan vagina bercampur darah. Begitu juga vaginanya dan dengan secarik tisu kubersihkan kemaluan kami berdua. Beberapa menit kemudian kurangsang Erni kembali untuk menuntaskan hasrat birahiku yang belum tuntas. Tak lama kemudian vaginanya mulai basah pertanda dia sudah kembali terangsang.

Kemudian dengan mesra kuajak ia turun dari ranjang. Lalu kusuruh dia agar membungkuk membelakangiku. Tangannya bertumpu dipinggir ranjang sedangkan kedua kakinya menjejak ke lantai. Rok abu-abu panjangnya yang sempat terjurai kebawah kuangkat lagi sampai sepinggang. Sambil mencengkeram pantatnya yang montok dengan tangan kiriku, tangan yang kanan mengarahkan penis yang tegak mengacung ke arah vaginanya. Sejenak kugesek-gesekkan di bibir kemaluannya yang mulai basah tadi.
"Ohhh...", desahnya pelan sambil menundukkan kepala sambil tangannya meremas-remas seprei.

Kini ujung penisku benar-benar terasa basah oleh cairan kewanitaan yang mengucur dari dalam kemaluannya. Perlahan dengan bantuan tangan kanan aku mulai melakukan penetrasi. Tidak seperti tadi, sekarang walau masih terasa sempit kemaluanku dengan lancarnya menerobos masuk sampai pangkal penisku menyentuh bokongnya. Kubiarkan penisku yang terbenam penuh didalam liang senggama gadis ini sejenak. Lalu dengan perlahan kumaju mundurkan selangkanganku. Kulakukan dengan tempo lambat untuk beberapa saat lalu secara bertahap kupercepat sodokanku.

"Ahhh... ahhh... uhhh... uhhh", desah Erni yang semakin lama semakin kencang. Tubuhnya terguncang-guncang karena sodokanku yang makin lama makin cepat. Sambil menyetubuhinya dari belakang kedua tanganku beraksi meremas dan mencengkeram pantatnya.
"Plakkk... plakkk...", bunyi selangkanganku saat berbenturan dengan bokongnya. Terkadang kuremas kedua buah dadanya dari belakang

"Ohhh... Errrnnniii... sayyyanggg... ennakk... khammuu... memang... nikmaatt.. sshhh..", racauku sembari menggenjot pantatnya dengan cepat.
"Emmmhhh... ohhh... omm... mmhh", desah siswi berjilbab itu seakan merespon racauanku sembari kepalanya bergoyang kanan kiri terkadang menunduk kebawah menahan nikmat. Tubuh kami berdua kini benar-benar basah kuyup bermandikan keringat. Jilbab dan rok sekolah yang melilit dipinggang Erni juga ikut basah karenanya.

Tak terasa lebih dari 10 menit kami berdua bersetubuh dalam posisi ini. Lama kelamaan dorongan berejakulasi tidak dapat kutahan lagi. Sedangkan gadis yang sedang kugenjot ini juga mulai menampakkan tanda-tanda akan orgasme.
"Ouhh... omm... Errrhhh... nnnii... mauh... pipisss lagihhh...", kata dara manis ini dengan nafas terengah-engah.
"Ssshh... tahhann... sedikitt... llagii... sayyyaaangg. Ommh... jugga... mo.. nyampee..", ujarku sembari mempercepat laju sodokanku.

"Ohhhh....", erang Erni dengan tubuh menegang dengan kepala mendongak seraya vaginanya megucurkan cairan. Bersamaan dengan orgasmenya Erni akupun mencapai klimaks. Lalu kupeluk pinggangnya erat-erat sembari membenamkan penisku dalam-dalam.
Dan,"Ahh....!", lenguhku nikmat seraya memuntahkan air maniku. Liang senggamanya sekarang dipenuhi oleh campuran spermaku dan cairan vaginanya. Kemudian kami berdua terkulai lemas sisi ranjang dengan posisi aku menindihnya dari belakang. Kubiarkan sejenak kemaluanku yang masih tegang didalam vaginanya.

Hari menjelang sore, tak terasa kami terlelap puas. Saatnya aku mengantar Erni pulang. Tak lupa sebelumnya kuberi dia pil pencegah kehamilan. Dan sesuai dengan janjiku padanya tadi, kami mampir dulu di pusat perbelanjaan dan kuberikan semua yang ia mau plus uang untuk kebutuhan sekolahnya.

Dalam perjalanan mengantarkannya pulang aku sempat menikmati tubuhnya sekali lagi. Di tempat yang sepi dan gelap jauh dari keramaian kutepikan sedanku. Sembari menyuruh Erni pindah kepangkuanku kugeser mundur tempatku duduk. Sambil ia duduk membelakangiku kusingkap rok abu-abu panjangnya dan kusibak celana dalamnya. Lalu bersetubuhlah kami sampai klimaks. Setelah puas kulanjutkan perjalanan mengantarnya pulang. Sebelum sampai ditujuan aku berjanji padanya untuk meghubunginya kembali bila aku cuti atau libur.

Petualanganku dengannya berlanjut beberapa bulan kedepan. Dan sekarang gadis remaja itu menjadi mahir bermain seks dengan berbagai macam posisi. Sampai akhirnya aku memutuskan kontak dengannya karena ingin mencari petualangan yang baru lagi.

KEMBANG PERAWAN

Bab 4: Sarapan Spesial


Esoknya Nisa bangun kesiangan. Hampir tengah hari saat ia membuka mata dan mendapati tubuhnya sangat letih. Faris masih nyenyak di sebelahnya—bagian bawah tubuh telanjang pria itu tertutup selimut. Ia menatapnya dengan pandangan sayang, mengenang percintaan mereka yang sangat membara malam tadi. Entah berapa kali Faris membuatnya mengalami orgasme, dan entah berapa kali pula ia memberikan Faris kepuasan yang sama dengan mulut dan jemarinya.

Nisa tersenyum geli mengingat satu peristiwa di malam tadi. Waktu itu Faris memintanya untuk naik ke atas tubuhnya dengan posisi membalik. Dengan posisi itu ia mencumbu penis Faris, sedangkan Faris mencumbui vaginanya. Faris menamainya posisi 69—sebuah nama yang sangat lucu, yang ternyata sangat mengasyikan. Tentu saja Nisa tak tahu bahwa posisi itu sangat populer belakangan ini, tapi ia memang tidak tahu apa-apa sampai ketika Faris mengajari banyak hal malam tadi.

Namun ada satu hal yang sangat Nisa sukai dari Faris, yakni ketulusan sikap pria itu dalam mencintai, dengan tetap menjaga kehormatannya meski nafsu sudah memuncak. Faris tidak memaksanya saat ia mengatakan belum siap untuk hubungan seks yang sesungguhnya. Ia ingin menyerahkannya keperawanannya di malam pengantin mereka. Faris meyakinkan bahwa semua yang mereka lakukan sejauh ini sudah lebih dari cukup. Ia juga menjelaskan bahwa untuk ukuran kehidupan remaja seusia mereka, hubungan cinta malam itu adalah suatu hubungan yang lumrah terjadi.

Padahal Nisa sendiri yakin, bahwa kalau seandainya Faris lebih memaksa dirinya, ia tidak akan bisa menolak dan dengan tulus akan menyerahkan kesuciannya. Permintaannya malam itu sebetulnya hanyalah permintaan setengah hati—Nisa sendiri tidak terlalu yakin ketika mengucapkannya. Satu sisi gelap dalam dirinya menginginkan hubungan seks melebihi keinginan Faris sendiri, Nisa tahu itu. Ia meyakininya sebagai ‘nafsu wanita’, nafsu yang pandai untuk dijaga, tapi tak akan bisa berhenti bila sudah mulai meledak.

“Aku akan sabar menunggu kesiapanmu, sayang…” Demikian Faris menegaskan.

Nisa terharu mendengar kesungguhan dari Faris. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan selalu memberikan kebahagiaan kepada kekasihnya. Ia akan memenuhi hasrat-hasrat terpendam Faris bila pria itu menginginkannya, seperti dengan cumbuan tangan atau mulut yang spesial (ia malu sendiri saat membayangkan keliaran dirinya tadi malam saat mengoral penis Faris yang perkasa).


Dengan sedikit malas Nisa bangkit dari ranjangnya. Ia dapat melihat pakaian mereka berceceran di lantai dan tempat tidur. Terbayang ketika malam tadi ia begitu bernafsu hingga tak peduli pada apapun. Kini kesadaran telah membangunkannya, dan sedikit penyesalan menyeruak dalam hatinya. Sekali lagi ia merasa beruntung karena belum sempat melepaskan keperawanannya. Karena kini ia jadi tahu bahwa nafsunya tetap dapat disalurkan meski tanpa hubungan itu.

Nisa agak malas untuk mengenakan kembali pakaian aslinya. Lebih baik sekalian saja saat tubuhnya sudah bersih. Ia menggulung rambutnya yang kusut masai dan menjepitnya, lalu mencari pakaian di dalam lemari Faris. Di sana ia menemukan sebuah kaus longgar yang, ketika ia kenakan, panjangnya hampir mencapai lutut. Ia jadi ingat bahwa situasi seperti ini mirip sebuah adegan di dalam film. Ia tersenyum geli. Membiarkan dirinya mengenakan kaus itu tanpa apapun lagi di dalamnya.

Turun dari tangga dan menyiapkan sarapan, Nisa merasa dirinya seperti nyonya rumah, atau istri pengantin baru, setidaknya seperti yang sering ia saksikan di televisi. Setelah cuci muka dan menyikat gigi. ia menyiapkan nasi goreng dan secangkir kopi untuk kekasihnya. Ia sendiri merasa cukup dengan segelas susu hangat, lalu menatanya di atas meja makan.

Faris sudah bangun ketika ia menata meja. Pria itu hanya mengenakan celana pendek putih ketat hingga tonjolannya terlihat jelas. Nisa tersenyum manis saat tubuhnya dipeluk dari belakang. Rasa geli menyeruak ketika Faris mencium pipi dan lehernya yang terbuka, serta menggelinjang pelan saat tangan pria itu menyentuh pangkal pahanya. Faris berdecak karena Nisa tidak mengenakan apa-apa lagi di balik kausnya. Perlu perjuangan untuk melepaskan diri dari cumbuan lelaki itu, karena tiba-tiba saja sentuhan mesra itu berubah jadi sedikit liar.

“Mmmh… Udah, ah! Kita sarapan dulu! Udah siang, nih!”

“Ini juga lagi sarapan!” Faris tetap bertahan dan bahkan mulai meremas buah dada Nisa. Sedangkan sentuhan di pangkal paha gadis itu mulai berubah jadi remasan, hingga mau tak mau Nisa menggelinjang-gelinjang keenakan. Tubuhnya terangsang lagi. Ia mengernyit berusaha menahan rasa, sambil berpikir untuk menaklukan serangan itu.

Ide nakal muncul dalam benaknya saat ia merasakan tekanan di bagian pantatnya. Tanpa pikir panjang tangannya bergerak ke belakang, lalu menarik pantat Faris agar tubuh mereka lebih merapat lagi. Setelah itu ia menggerakkan tubuhnya naik turun dengan pantat yang sedikit lebih menekan.

“Ohh.. Nisa…” Situasi berubah dan Faris mulai kelabakan. Konsentrasinya pecah hingga serangan tangannya mulai mengendur. Nisa sendiri merasa geli oleh tekanan kuat di pantatnya. Tapi ia bertekad mengalahkan Faris pagi ini hingga pantatnya bergerak makin erotis. Membiarkan Faris setengah gila akibat cumbuannya yang agak nakal.

Setelah beberapa saat yang melenakan, Nisa mulai melepaskan diri dan membalik ke hadapan Faris. Bukannya berhenti, ia malah duduk berlutut dan memelorotkan celana pria itu. Disiram serta dibersihkannya kemaluan Faris dengan air putih di meja makan. Cucurannya ia biarkan tumpah membasahi kausnya sendiri. Setelah diseka dengan tisu, Nisa mulai menggenggam penis itu dan mengocoknya perlahan-lahan.

“Ssshhh… Ohhh…”

Faris mengerang hebat. Tapi Nisa tak peduli. Entah bagaimana ide nakal semacam itu bisa muncul dalam benaknya. Malam tadi ia masih takut dengan benda di hadapannya. Tapi kini ia telah mulai mengenalnya dengan baik, hingga mendapati dirinya ternyata sangat menyukainya. Kocokan tangan saja menjadi tidak cukup. Kepala penis yang bulat bagai helm tentara itu ia jilat perlahan-lahan, lalu mulai dilahap dengan ekspresi penuh kerinduan.

Ia telah melakukan hal semacam ini malam tadi. Awalnya terasa aneh dan menggelikan—mungkin karena baru pertama kali mencobanya. Tapi lama kelamaan ia menyukainya dan seolah ketagihan. Benda itu begitu panjang dan besar, hingga ia harus membuka mulutnya agak lebar saat ingin melahap semuanya. Nafasnya terengah-engah saat mulutnya bergerak maju mundur, sedang tangannya mempermainkan buah dzakar yang munurutnya sangat lucu itu.

Entah berapa lama ia melakukan semuanya. Yang jelas Faris makin mengerang hebat ketika sesuatu mendesaknya untuk keluar. Nisa segera berusaha mencabut mulutnya karena tahu cairan itu akan menyembur sesaat lagi. Tadi malam ia kaget karena mengiranya air kencing. Tapi Faris tak mau ia melepaskan mulutnya begitu saja, hingga ketika orgasme melanda lelaki itu, cairan sperma menyembur ke dalam mulut Nisa. Gadis itu menahan nafas agar tidak tersedak, dan mendapati cairan lengket memenuhi mulutnya.

Nisa bangkit dengan sperma mengalir di sela-sela bibir bawahnya. Ia mengernyit karena rasa anyir yang aneh dan tidak enak. Tapi Faris mendorong sperma itu dengan telunjuknya agar masuk kembali.

“Jangan dimuntahkan, sayang! Itu sehat, lho! Banyak proteinnya. Punyamu juga suka aku habiskan!”

Nisa tentu saja tahu bahwa Faris sangat bernafsu dengan cairan lendir miliknya. Tapi, jujur saja, sperma itu rasanya tidak enak. Ia menelannya dengan susah payah hanya demi menyenangkan hati Faris. Pria itu malah menertawakan dirinya karena wajahnya mengernyit aneh.

“Nggak enak, tahu! Kayak telur mentah.”


Untunglah segelas susu menetralkan semuanya hingga kesegarannya kembali pulih. Ia menemani Faris sarapan dan mendapatkan pujian dari sang kekasih. Satu hal yang baru ia temui dari Faris pagi ini, satu hal yang berbeda dari Faris yang biasanya. Faris kini terkesan lebih luwes dan seperti telah biasa melakukan hal semacam ini. Lelaki itu bahkan makan dengan tubuh telanjang. Tapi Nisa menepis perasaannya mengingat ia sendiri kini hanya mengenakan kaus basah.

Baru saja Faris menghabiskan kopinya ketika berkata pada Nisa, “Kok aku masih lapar, ya?”

“Mau Nisa buatin lagi?”

“Nggak usah. Biar aku bikin sendiri. Kamu duduk aja.”

Faris bergegas pergi ke belakang, sementara ia duduk dan menunggu. Pria itu kembali dengan membawa mentega dan susu bubuk. Nisa keheranan melihat Faris senyum-senyum sendiri. Ia tak merasa curiga sedikitpun. Mungkin Faris ingin membuat roti oles mentega. Tapi rupanya Faris memiliki rencananya sendiri, karena tiba-tiba saja Faris menarik lalu menggendong tubuhnya.

“Awww… Kamu mau apa, Faris? Lepaskan Nisa…!”

Nisa berusaha melepaskan diri, tapi Faris tak peduli. Lelaki itu hanya berseru ‘Lihat saja! Lihat saja!’ sambil membaringkan tubuh gadisnya di atas meja makan. Nisa merasa penasaran hingga membiarkan dirinya diperlakukan sedemikian rupa. Tadinya ia berpikir bahwa ia telah menang. Tapi rupanya ia terlalu cepat menduga, karena kini Faris melakukan hal yang lebih gila dari dirinya. Sebetulnya Nisa setengah membayangkan apa yang akan Faris lakukan terhadapnya. Tapi ia lebih suka membuktikannya secara langsung, karena Faris ternyata pintar dalam hal-hal semacam ini. Ia sudah merasakannya dengan hubungan mereka semalam suntuk.

Apa yang Nisa pikirkan kini nyata terbukti. Faris meyingkapkan kausnya hingga ke atas dan membuat semuanya terpampang jelas. Lalu tanpa basa-basi pria itu menyiraminya dengan air dari teko. Digosok-gosoknya tubuh telanjang itu untuk membuang sisa keringat serta lendir yang mongering. Faris melakukannya dengan sangat lembut dan telaten, hingga Nisa terbuai dan terlena dibuatnya. Apalagi ketika Faris menggosok-gosok vaginanya. Rasa dingin air teko berpadu dengan sentuhan hangat tangan Faris. Tubuhnya terasa bersih dan segar ketika Faris mengeringkannya dengan handuk tebal.

“Fuihh… Daging telah dibersihkan. Kini siap untuk disantap!”

Nisa tertawa geli mendengar perumpamaan yang lucu itu. Bagaimana mungkin Faris menyebutnya gumpalan daging yang siap disantap? Tapi rupanya memang itu yang terjadi, karena Faris kini telah mengambil mentega dan menuangkannya ke atas perutnya. Nisa terlonjak kaget. Mentega itu Faris oleskan dengan merata seperti mengoleskan krim untuk kulit. Nisa melihat tubuh bagian atasnya kini berlumur mentega kuning, dari dada menuju perut hingga ke pangkal pahanya. Faris bahkan mengoleskan mentega itu ke atas vaginanya juga, serta sedikit menyelipkannya di sela-sela lubangnya yang masih rapat.

Gila! Faris benar-benar telah gila! Nisa menemukan dirinya kini benar-benar jadi hidangan untuk sarapan pagi Faris. Tubuhnya yang telah berlumur mentega itu kini ditaburi lagi dengan susu dan cokelat tabur, hingga seluruh kulitnya terasa lengket dan agak licin.

“Yummi…! Saatnya sarapan…”

“Faris… Kamu nakal…”

Nisa telah pasrah seutuhnya dan diam saja menerima perlakuan dari Faris. Ia biarkan tubuhnya dijilati kekasihnya penuh nafsu, sembari menahan rasa geli yang merayapi. Mau tak mau ia mulai merintih juga. Terlebih ketika puting susunya yang dipenuhi taburan coklat dicucup dan dihisap dengan serakah. Ia mengerang-erang keenakan. Ini adalah sensasi tergila sejauh yang pernah ia alami. Buah dadanya serasa membengkak akibat dihisapi tanpa henti, sementara Faris tak mau membiarkan ada sisa mentega yang melekat di atas sana.

Tapi sensasi ternikmat tentu saja adalah saat jilatan lidah Faris makin menuju ke pangkal paha. Faris duduk santai di atas kursi, sementara dirinya telentang pasrah di atas meja makan. Kakinya dikangkangkan lebar-lebar, sehingga Faris dapat leluasa melakukan semua yang diiginginkan.

Faris menarik kaki Nisa agar lebih mendekat lagi. Kedua paha Nisa disampirkan di atas bahunya hingga kaki gadis itu kini menjuntai ke arah punggung. Dengan posisi seperti ini keduanya telah siap untuk apapun, dan Nisa menjerit panjang saat jilatan lidah Faris menyapu hangat bibir vaginanya.

“Mmmmhh… Mamaa… Ssshhh… Ohhhh…”

Lidah Faris terasa hangat dan menggelikan. Setiap sapuan membuat tubuhnya menggelinjang. Dan kecipak-kecipuk terdengar jelas saat Faris makin buas mencumbui keperawanannya.

Klitoris adalah bagian yang paling sensitif dari tubuh wanita. Dan siapapun akan gila jika klitorisnya dicumbu dengan gaya penuh nafsu. Rupanya Faris telah memahami ilmu tersebut, karena Nisa merasakan Faris terus saja mencumbui bagian klitorisnya. Seakan tak peduli bila ia menderita akibat rangsangan yang dahsyat itu.

Untunglah rumah ini sedang sepi. Nisa merasa bisa menjerit-jerit sepuasnya, karena hanya dengan cara itulah ia dapat mengekspresikan gairah nafsu yang melandanya laksana badai. Di sekolah pada jam seperti ini ia mungkin sedang mengantuk menghadapi jam terakhir pelajaran. Apalagi ini hari selasa. Pengisinya adalah guru yang sangat jago matematika tapi sudah separu baya serta mulai setengah tuli. Terbayang penderitaan selama dua jam pelajaran menghadapi guru seperti itu hanya untuk menghitung angka-angka.

Nisa berusaha bangun untuk melihat sendiri cara Faris mencumbui klitorisnya. Ia mengernyitkan wajah sembari mengerang-erang, karena menyaksikan Faris menghisap klitorisnya kuat-kuat. Ia menjulurkan tangan untuk membelai kepala Faris. Lelaki itu melepaskan cumbuannya dan menatapnya sembari tersenyum. Ia balas tersenyum. Ekspresi wajahnya cukup menjelaskan bahwa ia sangat menginginkannya. Dan Faris yang sangat memahami itu kembali lagi pada tugasnya.

Orgasme Nisa kali ini terasa dahsyat dan beruntun. Tubuh gadis itu mengejang hebat dan tanpa sadar pahanya menjepit kepala Faris kuat-kuat. Letupannya sangat indah dan berwarna laksana pelangi. Sesudahnya Nisa terempas kembali ke atas meja, mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Rasanya seperti mimpi, mengingat beberapa hari yang lalu hal semacam ini tak pernah terpikirkan sedikitpun dalam benaknya. Hanya dalam semalam ia telah berubah drastis. Dan bila mengingat beberapa saat yang lalu ia masih seorang gadis yang lugu dan pemalu, maka kini ia merasa sangat nakal dan (entah mengapa ia mulai merasa) murahan.

Tapi, bagaimanapun, ia sangat menikmatinya…

***


Sambil tetap berciuman aku lucuti jubahnya panjangnya, Umi..mahasiswi cantik ini tinggal jilbab yang menutup kepala dan pundaknya, BH dan CDnya aku buka .Juga kubuka bajuku sendiri dan celanaku sambil masih tetap berciuman. Begitu aku lepas BH yang berkop 36C, ciumannku begeser kebawah menjilat puting gadis berjilbab ini yang payudara kanan sudah mengeras tanganku kiri megang payudara kiri dan tangan kananku mengusap CD nya yang sudah lembab , basah pertanda Umi sudah terangsang berat. Sambil jilat puttingnya tanganku kanan kumasukan kedalam CDnya , terasa bulu-bulu halus dan sampailah pada kelentitnya yang sangat basah licin, kepalanya Umi dan jilbabnya goyang-goyang tidak karuan sambil merancau”Oh…oh.. Anto…geli disitu… oh….terus..terus…” posisiku tetap menjilat putingnya dan tangan kananku mengobel-ngobel mem*knya yang sudah basah dan aku lepaskan CDnya, sambil melirik kulihat vaginanya indah sekali dengan bulu-bulunya tidak terlalu lebat. Sambil aku merambat turun menjilati payudara, terus perutnya sambil tanganku berubah megang kedua payudaranya, pelan-pelan lidahnya sampai ke vaginanya dan disitu terpampang pemandangan yang indah , itilnya yang kelihatan merah jambu dengan bau khasnya, aku mulai menjilat itilnya yang sudah terlihat membengkak. Gerakan Umi sudah tidak karu-karuan kepalanya yang berjilbab geleng-geleng kenceng , tangan mencengkeram bantal yang satunya jambak rambut ku “ Anto… Anto… nikmat sekali disitu… aku gak tahaaaaan….aduh…. terus…. Terus yang cepat…..” semakin gerakannya liar semakin cepat gerakan jilatan lidahku di itilnya akhirnya…. “ Anto … aku gak tahaaaaaaan… aku keluuuuuuuar…” kepalaku dijepit kuat kuat oelh pahanya sambil diangkat-angktnya, Umi sudah mencapai orgasmenya…. Perlahan-lahan kepalaku naik lagi sambil menyingkap jilbabnya yang menutupi pemandangan kearah payudaranya dan aku cium dan jilat putingnya dia mulai tenang dan senyum “ Luar biasa Anto… hebat kamu.. baru kali ini aku merasakannya… terima kasih ya…” sambil keatas kucium lagi bibirnya dan aku bisikan “ Aku belum…” sambil nyubit pantatku mahasiswi berjilbab ini tersenyum cantik sekali. Perlahan-lahan penisku ambil posisi, dituntunnya penisku menuju vaginanya “ Besar sekali punyamu….keras lagi..” sambil senyum , pemandangan yang begitu indah senyuman wajahnya yang masih berjilbab tampak semakin cantik dan menggairahkan ” pelan…pelan ya…. Karena ini baru yang kedua bagiku….” Benar aja walaupun sudah dituntun tangannya tetap aja penisku baru kepalanya / topinya yang masuk , sambil gadis jilbab ini memejamkan matanya dibantunya memasukan penisku di vaginanya, masuk sepertiganya “ Pelan-pelan ya…” berciuman dan matanya terpejam terlihat dia sedang menikmati masuknya perlahan-lahan penisku di vaginanya. Begitu sudah dua pertiganya aku agak dorong agak keras,dan bleees …matanya terbelalak “AAAAhhhhh…!!!” Mata Umi terpejam, ia menggigit bibir bawahnya Aku diam sejenak mengamati perubahan expresi wajah gadis berjilbab ini Sedetik..dua detik…matanya terbuka,dan senyumannya yang cantik mengembang.Luar biasa…wajahnya yang berjilbab semakin cantik saja menikmati kemaluanku yang memenuhi lubang mem*knya.Aku mulai mendorong maju mundur awalnya perlahan-perlahan, terus dia mulai pantatnya digoyangkan”Aduh… mem*kmu lembut sekali Umi…” dia nyubit pantatku “Ayo… goyang agak kencengan…..” ‘Ah.. ah.. ah terus Anto terus … lagi.. kenceng lagi… aduh terasa mentok nich… terus…….nikamt sekaaali… hayo” goyangan pantatnya mulai tidak teratur , kakinya juga kepala yang berjilbab menggeleng-geleng semakin menggairahkan …” Anto… aku gak taaahaaan lagi… nich…. Hayo…” tangannya menjambak rambutku “ Tunggu sayang … aku juga mau keluar… kita bareng aja ya….” Celotehku… “ dikeluarin dimana?” tanyaku “ Aduh…aduh jangan dicabut… genjot yang kenceng lagi… aduh… mentok banget….keluarin di dalam aja… aduh… ayo… aku gak tahannn… mau sampek” aku genjot semakin kenceng dan lahar putih sudah diubun-ubun” Aku mau keluuuuar Umi….” “ Ayooooo … aku juga….. ah… ah…. Aku sampeeeeeeeek…. Eh… uh….” Spermaku nyemprot empat kali…. Umi masih aja goyangin pantatnya…..begitu melek matanya tersenyum manis sekali dengan wajahnya masih berjilbab dan mengelus-elus rambutku… “Anto … gila ini kita koq bisa melakukan hal seperti ini….apapun makasih ya…” penisku mulai lunglai dan perlahan lahan akan aku tarik dari vaginanya, tiba-tiba… “ jangan dilepas dulu…. Biarin didalam aja….” Rupanya dia sedang menikmati proses mengecilnya penis di dalam vaginanya… dan begitu aku tarik…. …. “ah….” Gadis berjilbab ini tersenyum indah…..wajahnya cantik berseri nampak sangat bahagia terlihat dibalik jilbab yang dikenakannya

TAMAT

KEMBANG PERAWAN

Bab 3: Rahasia Tubuh Nisa


Hujan mulai mereda menyisakan rintik yang jatuh perlahan-lahan. Keduanya berpelukan menikmati suasana dan sisa-sisa percintaan yang mulai mereda. Nisa tak mampu menatap Faris karena malu yang melandanya, hingga hanya menunduk dan menatap dada kekasihnya, sembari tersipu membenahi kaus ketatnya.

“Aku siapin makan malam, ya… Kamu tunggu aja dulu, ya…”

Nisa mengangguk. Sementara Faris menyiapkan makan malam, ia masuk ke kamar tidur tamu dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia menatap dirinya di dalam cermin. Satu persatu pakaiannya ia lepas dan membiarkan tubuhnya yang telanjang terpampang bebas di dalam cermin. Ia menatap bagian-bagian yang tadi dieksploitasi oleh Faris dan menemukannya basah oleh ludah serta cairan-cairan lengket lainnya. Ia tersipu malu dan membasuh lagi semuanya di kamar mandi. Ia menggunakan sabun banyak-banyak karena keringatnya telah membasahi pakaiannya. Pakaian bekas ia masukkan ke keranjang cucian dan mengenakan pakaian tidur yang tersedia di lemari.

Setelah percintaan yang melenakan Nisa barusan, gadis itu jadi mulai menyukai bentuk tubuhnya sendiri. Padahal sebelumnya ia merasa risih dengan pinggul dan payudaranya yang mulai membesar seperti ibunya. Ia juga risih dengan rambut yang mulai tumbuh di pangkal pahanya. Tapi kini Nisa tahu bahwa pria menyukai yang seperti ini. Dan ia berharap Faris akan makin mencintainya karena ia tumbuh sebagai wanita yang sempurna.

Kalau beberapa waktu sebelumnya Nisa merasa risih dengan pakaian minim yang ia kenakan, kini ia justru sangat menyukainya. Rupanya Faris juga suka melihatnya seperti ini. Sehingga ia memutuskan mengenakan gaun tidur yang terbuka di bagian atas, yang hanya di tautkan ke pundaknya dengan tali kecil. Gaun itu berwarna ungu lavender, serta tidak terlalu panjang di bagian bawahnya. Paha dan betisnya yang putih jenjang nampak indah dibalut warna lavender gaun tidurnya. Kalung dan anting mutiara berkilauan di leher dan telinganya. Ia mematut diri di balik cermin dan sangat bangga memiliki kecantikan yang sangat alami.

Makan malam berlangsung hangat dan romantis. Keduanya saling menyuapi, berbicara tentang banyak hal, dan berkali-kali ucapan Faris menjurus pada hubungan seks. Nisa malu-malu menanggapinya, dan terdiam jengah saat Faris menjelaskan bahwa orgasme bisa didapatkan melalui banyak cara. Tapi ia telah melalui wilayah terlarang itu, hingga mau tak mau harus belajar terbiasa dengan pembahasan seperti itu. Terlebih lagi beberapa waktu kemudian keduanya memutuskan untuk tidur bersama di atas satu ranjang, dan melanjutkan cumbuan mereka yang sempat terputus oleh makan malam.

Seperti semua pemain pemula yang mau banyak belajar, Nisa pandai menepiskan rasa malunya dan mengikuti instruksi Faris yang senakal apapun. Ia pasrah ketika dirinya dijadikan boneka mainan kekasihnya, dan membiarkan semua bagian tubuhnya dicumbui habis-habisan oleh bibir dan tangan Faris. Leher dan bahunya merah-merah bekas pagutan, tapi ia tak peduli dan tetap membiarkan Faris melanjutkan permainannya.

“Talinya aku lepas, ya!” Bisik Faris yang duduk di hadapannya. Dan ia hanya mampu menjawab dalam bisikan, “Terserah kamu aja…”

Nisa melihat Faris tak ragu-ragu untuk melepaskan tali gaun di bahunya dan membiarkannya jatuh ke arah perut. Ia sendiri dapat melihat bagaimana BHnya dicampakkan ke atas ranjang, hingga dadanya benar-benar terbuka di hadapan kekasihnya. Ia sempat berusaha menutupi puting susunya yang mengacung, tapi tangan Faris menariknya dan mendorong tubuhnya agar berbaring. Ia telentang pasrah, menyaksikan kekasihnya berdecak kagum pada buah dadanya yang padat kencang. Puting susunya yang merah muda segera dilahap oleh kekasihnya, dan Nisa merasakan serangan kenikmatan itu datang lagi. Puting susunya kanan dan kiri dicumbu oleh mulut dan jari Faris, dan ia hanya mampu menjerit-jerit serta meremas seprai ranjang. Kegiatan itu berlangsung beberapa menit, sampai Faris melepaskannya saat kedua puting itu makin mengacung tegak serta basah oleh ludah.

“Oh… Paha kamu indah sekali! Halus… Mulus…” Nisa menatap Faris yang berdecak kagum saat memandangi kedua pahanya. Ia sendiri memang bangga dengan pahanya, tapi tak dapat membayangkan bahwa pria akan sedemikian bernafsunya melihat paha perempuan yang terbuka. Tapi keheranannya tak lama, karena darahnya berdesir saat kedua tangan Faris mulai mengelus-elus pahanya itu, dari lutut… Terus ke arah dalam. Roknya makin tersingkap, terus terbuka…

“Boleh, kan?”

“Mmmmhhh…”

Gaun tidur Nisa tergulung ke atas hingga melewati batas perutnya. Pusarnya terlihat jelas. Celana dalamnya terpampang lebar. Faris mulai menyentuhnya dengan kelembutan yang melenakan. Nisa menggelinjang saat Faris menjilati dan menggelitiki pusarnya dengan ujung lidah. Ia menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Wajahnya semerah udang rebus. Mulutnya menganga mengeluarkan rintihan panas. Jilatan dan elusan Faris makin terpusat ke satu titik. Dengan tarikan lembut di bagian kanan dan kiri, tali CD Nisa terlepas hingga Faris leluasa membukanya. Pria itu berhenti untuk berdecak kagum, memandangi rambut-rambut halus di sebuah bukit indah yang hangat dan masih sangat rapat.

Nisa masih perawan, dan bagian itu tak pernah tersentuh siapapun selain dirinya sebelumnya. Daerah itu putih bersih dan terawat, namun menjadi merah muda dan ‘berumput’ di bagian tengahnya. Bagian lubang lebih seperti sebuah garis lurus. Tentunya perlu perjuangan ekstra keras jika ingin menemukan lubang yang tepat, dan bertambah keras lagi untuk dapat menembusnya.

Tapi tentu saja bukan itu yang akan dilakukan Faris sekarang. Nisa pasti akan berontak jika hal itu dilakukan terlalu terburu-buru. Sekarang saja paha Nisa telah merapat dengan ketat, dan kedua tangannya berusaha menutupi keterbukaannya. Gadis itu merengek-rengek pada kekasihnya,

“Jangan, Faris… Nisa malu… Nisa takut…”

“Memangnya kenapa?”

“Pokoknya jangan…”

“Aku nggak akan apa-apain, kok… Cuma lihat saja… Sebentar, ya…”

“Jangan Faris…”

Nisa merengek setengah menangis. Ia agak takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Tapi Faris terus meyakinkannya bahwa ia tidak akan menodai Nisa. Ia hanya akan melihatnya sebentar saja. Nisa sungguh bodoh karena mempercayai ucapan pria itu. Tak mungkin Faris menelanjanginya jika hanya ingin melihat saja. Tapi itulah yang terjadi pada Nisa. Meski berkali-kali merapatkan kaki, ia akhirnya menuruti permintaan kekasihnya dan mengijinkan Faris melakukan apa yang ia inginkan. Ia hanya menunggu dengan berdebar, dengan tubuh yang sangat gelisah dan nafas terengah-engah, ketika wajah Faris tepat berada di depan kemaluannya. Tangan lelaki itu menggenggam tangannya dan menyingkirkannya ke samping, dan ia tak tahu harus melakukan apa lagi.

“Apa kubilang?! Punyamu ini bagus sekali! Indah! Masih perawan… Kenapa kamu harus malu, sayang? Aku kan kekasihmu… Calon suamimu…”

Mungkin itu semacam mantra sihir bagi Nisa. Gadis itu sejenak lupa ketelanjangannya saat Faris mengucapkan kata ‘suami’. Suami berarti pernikahan. Dan apa yang harus dirahasiakan dari dua orang yang sudah menikah? Bukankah hal semacam ini toh nanti akan ia lakukan juga?

Muka Nisa bersemu merah menerima sanjungan itu. Matanya menatap sayu, dan merasa nyaman akan belaian Faris di paha putihnya. Faris sungguh baik karena selalu meminta izin untuk melakukan berbagai hal. Ia tentu saja harus mengizinkannya, karena Faris adalah orang yang paling ia cintai di dunia ini. Ia harus mengizinkan bila ternyata Faris tidak sekedar melihat miliknya itu, melainkan menyentuh dan membelainya dengan ujung jarinya.

“Aaah… Aahhh… Risss…. Kamu jangan…. Ohh…”

Ucapan Nisa terpotong erangannya sendiri. Bagaimanapun belaian di pangkal pahanya telah membuatnya belingsatan. Faris telah menarik sebuah bantal besar dan meletakkannya di bawah pantatnya. Pahanya direnggangkan, sangat lebar hingga ia terpaksa mengangkang, semementara lelaki itu menelusuri pahanya dengan ciuman-ciuman basah. Makin ke pangkal dan menjilatinya dengan ujung lidah.

Duh Mama… Seandainya aku tahu kenikmatan ini sejak dulu…, Nisa membatin dalam penderitaannya menerima cumbuan Faris. Lelaki itu memadukan jilatan lidah, hisapan mulut dan gelitikan jari jemari hingga membuatnya benar-benar setengah gila. Erangannya telah memenuhi seluruh kamar, dan remasan tangannya telah mengacak-acak seprai ranjang.


Faris adalah tipe pria yang sabar dan telaten. Ia seakan tahu titik-titik mana yang paling membangkitkan gairah Nisa, hingga Nisa tak peduli lagi pada aturan serta etiket yang pernah melekat erat dalam hidupnya. Tak ada lagi Nisa si gadis santun. Yang ada hanyalah gadis 16 tahun yang tengah dimabuk cinta, setengah telanjang di atas ranjang di kamar orang, dengan seorang pria asyik memagut-magut klitoris di pangkal kewanitaanya.

Jika ini sejenis penyiksaan, maka ini adalah penyiksaan yang paling menyenangkan. Cairan vagina Nisa telah membanjir, dan paha putihnya terus mengejang-ngejang akibat kontraksi hebat. Ia menjepit kepala Faris kuat-kuat, saat orgasme kembali melanda tubuh remajanya. Letupan hebat membuat pantatnya terangkat naik, membawanya mencapai puncak dengan kepuasan yang sempurna.

Malam telah larut ketika Nisa terbaring tenang di atas ranjang. Tubuhnya masih telanjang dan gaun tidurnya masih melilit di perut rampingnya. Ia menikmati sisa-sisa letupan, sesaat lupa pada Faris yang berada di hadapannya. Kesadarannya kembali ketika Faris memanggilnya,

“Nisa, kamu senang?”

Ia menatap kekasihnya yang kini berbaring menghadap dirinya. Ia mengangguk lemah seraya tersenyum. Ia merasa makin cinta kepada Faris. Ketampanan pria itu benar-benar memesonanya, dan sentuhannya telah memabukkan dirinya.

“Kamu mau, kan, gantian membahagiakanku?”

“Tentu saja, sayang! Apapun yang kamu mau, akan Nisa lakukan.”

“Benar?”

“Iya…” Suaranya serak akibat erangan-erangan tadi.

“Kalau gitu, kamu cumbu aku, ya…” Sembari mengatakan itu, Faris menarik tangan Nisa yang telanjang dan mengusapkannya ke balik celananya sendiri. Tentu saja Nisa tersentak dan menarik tangannya cepat. Ia mendapati sebuah benda keras menyembul di balik celana Faris, sesuatu yang ia tahu tapi tak pernah ia lihat secara langsung.

“Ris… A.. Apa yang mesti Nisa lakukan?”

“Seperti yang telah aku lakukan kepadamu barusan.” Faris kembali menarik tangan Nisa yang gemetar. Ia mengelus-eluskan tangan hangat itu ke kemaluannya.

“Ta… Tapi…” Nisa sangat gelisah karena mendapati benda itu makin mengeras akibat sentuhannya. Terasa panas di telapak tangannya. Sentuhan seperti inikah yang disukai seorang pria?

Faris tak menunggu jawaban dari dirinya. Lelaki itu begitu rileks saat melucuti pakaiannya sendiri, hingga benar-benar telanjang di hadapan sang perawan. Nisa sempat menutup wajah saat menyaksikan benda yang tadi ia sentuh kini mengacung tepat ke hadapannya. Bentuknya besar dan panjang, dan terlihat lebih hitam dibanding tubuh Faris yang lain. Inikah yang disebut kemaluan laki-laki? Benda inikah yang dirindukan sekaligus ditakuti banyak wanita? Nisa tak berani membayangkan seandainya Faris meminta lebih semisal hubungan seks yang sesungguhnya.

“Ayolah sayang!” Nisa tak bisa berpikir lama karena Faris kini mulai menariknya agar duduk bersimpuh. Sedangkan Faris sendiri berdiri tegak di atas ranjang, hingga penis itu kini berada tepat di depan wajahnya. Nisa meringis dan salah tingkah, tak tahu harus berbuat apa. Ia memasrahkan semuanya pada kekasihnya, yang ternyata menarik tangannya agar menggenggam kemaluan yang kekar itu. Nisa kini tahu apa yang diinginkan oleh Faris.

***

[BERSAMBUNG]

KEMBANG PERAWAN

Bab 2: Inikah ‘Bunga Cinta’ Itu?


Pertemuan selanjutnya ternyata lebih lama dari yang diduga. Keduanya benar-benar tersibukkan oleh tugas-tugas sekolah, hingga baru bertemu lagi (untuk berduaan tentunya) dua minggu setelahnya. Keluarga Faris berlibur ke rumah nenek di luar kota. Alasan ujian membuat Faris bisa menghindar dari paksaan orang tuanya, sehingga rumahnya bebas selama satu minggu penuh. Itulah saat yang tepat untuk bermesraan dengan Nisa, dan ia telah menyiapkan banyak hal untuk pekan yang istimewa itu.

Nisa datang pagi hari itu dengan mengenakan seragam sekolahnya. Perpisahan yang cukup lama ternyata membuat gadis itu lebih agresif, sehingga, meskipun tetap Faris yang harus memulainya, Nisa memberikan balasan yang sedikit liar dan nakal. Faris sampai megap-megap kewalahan. Sesudahnya mereka tertawa-tawa sambil berpelukan di atas sofa, sembari mata mereka menatap layar TV tanpa bermaksud menontonnya.

Sekitar menjelang siang Nisa dibonceng Faris untuk main ke Mall M. Setelah itu dilanjutkan ke taman L dan bermain sepeda air di sana. Mereka juga melakukan banyak hal yang menyenangkan, yang membuat mereka lupa waktu. Hari telah senja ketika keduanya memutuskan untuk pulang, saat langit berubah gelap dan tiba-tiba saja menjadi hujan yang sangat deras sebelum keduanya tiba di rumah. Tak sampai lima menit ketika keduanya berubah basah kuyup, dan Nisa telah menggigil kedinginan saat perjalanan belum mencapai setengahnya.

Keduanya tiba di rumah saat menjelang makan malam. Oleh-oleh yang mereka beli di jalan telah basah kuyup dan tak ada satu bagianpun yang kering dari diri mereka. Tubuh Nisa menggigil hebat dan wajahnya pusat pasi. Bibirnya agak membiru. Faris bergegas membawa gadis itu ke dalam rumah dan menyiapkan air panas di bath-tub kamar atas. Sementara menunggu gadis itu mandi, ia menyiapkan dua gelas susu coklat panas dan sekaleng biskuit kacang. Ia sendiri langsung mandi setelah itu, dan keduanya selesai setengah jam kemudian.

Nisa baru sadar bahwa ia tidak memiliki pakaian ganti, dan kebingungan sampai mengurung diri di kamar mandi. Faris berusaha meminjamkan pakaian ibunya, tapi pakaian bersih ibunya terkunci dalam lemari. Sementara itu pakaian Hana juga tak muat dan terlalu kecil. Untunglah Faris ingat bahwa di kamar tamu ada pakaian-pakaian saudara sepupunya, yang biasa disimpan di sana untuk dipakai jika menginap di rumah Faris.

“Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi pakaiannya agak… Kamu coba aja deh cari yang pas. Aku tunggu di ruang TV…”

Nisa kebingungan sendiri di kamar tamu itu. Ia agak risih karena semua pakaian di dalam lemari itu adalah pakaian-pakaian yang gaul, serba ketat dan serba minim. Cukup lama ia memilih dan tidak menemukan juga pakaian yang cocok untuk dirinya, sehingga ia memilih pakaian yang menurutnya agak paling sopan. Tapi tetap saja serba minim. Dengan malu ia mengenakan pakaian pilihannya dan menghampiri kekasihnya di ruang TV.

Wajah Faris berubah kaget dan matanya bergerak kesana-kemari; mata yang biasa Nisa temukan pada pria-pria nakal di pinggir jalan. Tapi Nisa tahu semua ini karena dirinya, dan setengah menangis ia berusaha menutupi keterbukaan dirinya dengan kedua tangan. Bagaimana tidak?! Inilah pertama kalinya seumur hidup ia mengenakan pakaian minim di hadapan seorang pria, meskipun itu adalah kekasihnya juga. Sepupu Faris bertubuh lebih pendek dan kecil dari dirinya, sehingga kaus pink tipis bergambar Barbie yang ia kenakan benar-benar melekat ketat di tubuhnya, menampakkan lekuk-lekuk yang nyata dan mempesona. Bahkan bagian pusarnya tidak betul-betul tertutupi, meskipun berkali-kali ia berusaha menarik kaus itu ke bawah.

Sementara itu, celana hijau lumut selututnya juga sama ketatnya, dan tidak benar-benar selutut, karena tubuh Nisa yang tinggi. Nisa sebetulnya memiliki kulit yang putih bersih dan lekuk yang indah, sehingga ia nampak cantik menawan dengan pakaian seksi itu. Terlebih rambut panjangnya masih setengah basah, menciptakan sedikit gelombang yang menambah aura kecantikannya. Tapi Nisa tak terbiasa dengan hal-hal seperti itu, hingga ia merasa dirinya buruk dan norak. Ia takut Faris meledeknya, serta jengah dengan keterbukaannya sendiri.

“Kamu cantik sekali, Nisa…” Suara Faris terdengar bergetar, dan Nisa merinding ketika pria itu malah mendekatinya dan berusaha memeluknya. Ia berusaha menghindar dan tangannya menolak pelukan Faris.

“Nisa malu… Jangan, Faris… Jangan…”

“Lho… Kenapa?”

Nisa hanya menggeleng dan Faris berusaha menghormatinya. Mereka menghabiskan malam dengan menonton TV dan menghabiskan susu hangat di meja. Namun Nisa agak lebih pendiam dan gelisah. Tangannya terus-terusan memeluk bantal besar, berusaha menutupi apa yang ada di baliknya. Ia tak tahu bahwa pria di sebelahnya lebih gelisah lagi, meski alasannya sedikit berbeda. Ia terlalu sibuk oleh pikirannya sendiri hingga tak sadar bahwa mata Faris terus menelusuri dirinya, seolah berusaha menelanjangi.


Awalnya Nisa tak sadar pada sentuhan itu. Berkali-kali Faris mencium pipinya, tapi ia menganggap wajar hal tersebut. Itu hal yang biasa mereka lakukan, dan Nisa menganggapnya sebagai sun sayang yang biasa ia dapatkan. Tapi Faris kini telah melingkarkan tangan kiri melalui sandaran sofa dan mendarat di bahunya. Sedang tangan kanan diletakkan di atas lutut Nisa yang terbuka. Cuaca memang sangat dingin akibat hujan yang tidak juga berhenti, hingga elusan di lututnya terasa nyaman dan menghangatkan, membuat Nisa setengah tak sadar ketika elusan itu makin merambat ke atas pahanya yang sedikit tersingkap.

Nisa sangat suka nonton sinetron dan tayangan di TV adalah sinetron favoritnya. Adegan dan kata-kata romantis di layar kaca seperti memberi hipnotis tersendiri. Adegan ciuman memang disensor, tapi hal itu justru membuatnya tak kuasa menolak saat ciuman Faris beralih ke bibir basahnya. Untunglah saat itu sedang iklan, hingga ciuman dari Faris dapat diterima oleh Nisa sepenuhnya, yang baru sadar bahwa posisi duduk kekasihnya sangat mengintimidasi dirinya. Tapi ciuman itu begitu manis dan menyenangkan, memunculkan rasa hangat yang menggelora yang sangat ia rindukan. Tak perlu menunggu lama untuk membangitkan hasrat gadis itu. Pengalaman telah mengajarkan banyak hal kepadanya, sehingga lidahnya langsung menyambut saat Faris mulai mengajaknya bermain-main.

Bibir Nisa termasuk agak tipis, merah dan masih alami. Namun lidahnya lincah dan pandai bergerak. Dengan daya dukung kecerdasan di atas rata-rata, ia menjadi gadis yang cepat belajar dan tahu bagaimana cara memuaskan lawan mainnya. Faris sendiri sangat kaget dengan kecepatan Nisa dalam mempelajari teknik-tekik baru, hingga di akhir pertandingan lidah mereka, ia membiarkan sang gadis mengalahkannya hingga pipi gadis itu merona akibat agresivitasnya sendiri.

Ketika berciuman Nisa lupa pada apapun. Tapi setelah selesai ia baru sadar bahwa sejak tadi tangan kanan Faris terus-terusan membelai-belai pahanya, bergantian antara kanan dan kiri. Kini ia benar-benar merasakan rangsangan itu, rangsangan yang lebih terkesan dewasa dibanding sekedar ciuman bibir. Tangannya bertindak cepat, mencegah Faris sesaat sebelum tangan kekasihnya itu menyentuh bagian pangkal pahanya. Mulut mereka terdiam dan hanya mata yang berbicara. Faris meminta, Nisa menolak halus. Tangan Faris bergerak lagi, tapi Nisa mencegah lagi.

Faris tersenyum manis. “Maaf, ya… Aku kelewatan…”

Nisa ikut tersenyum.

“Lebih baik kita dengar musik aja, ya! Kita berdansa. Seperti di film.”

Nisa diam menunggu dan manut saja pada apa yang diinginkan kekasihnya. Suara lembut mengalun dari player, dan tangan Faris menjulur padanya. Nisa grogi karena ia belum pernah berdansa sebelumnya. Faris meyakinkan bahwa ia sama tidak tahunya seperti Nisa. Jadi tak usah malu karena mereka hanya berdua di sini. Dengan langkah-langkah kaku tubuh mereka bergerak pelan, saling berpelukan. Keduanya tertawa pada gerakan masing-masing, tapi tetap merasa senang karena ciuman dimulai lagi beberapa saat sesudahnya.

Tubuh Nisa hampir sama tingginya dengan Faris, hingga ia tak perlu berjinjit untuk menyambut pagutan pria itu. Ia tak tahu bahwa kecantikannya makin memesona diri Faris dan keremajaannya terus memancing-mancing gairah. Belum lagi aroma parfum menebar dari seluruh tubuhnya. Tangan Faris tak tahan untuk tidak mengelus-elus tubuh bagusnya, bergerak dari pinggang ke arah atas.

Nisa masih setengah menganggap elusan itu adalah bagian dari gerakan berdansa. Ciuman bibir Faris membuat tubuhnya lemas, hingga elusan itu ia nikmati saja seperti halnya ciuman di bibirnya. Terasa geli saat menyentuh bagian samping dadanya.

“Mmmh… Mmhhh…” Elusan tangan Faris makin mengarah ke dada Nisa, membelai-belai benda yang lunak dan empuk itu. Gadis itu mengejang karena rasa aneh yang melandanya. Itu adalah sentuhan pertamanya, dan ia masih sangat sensitif. Tangannya secara refleks berusaha mencegah, tapi Faris yang tak mau gagal lagi berusaha menahan Nisa agar tetap diam. Ciumannya makin liar hingga Nisa tak bisa mengelak. Remasan di dadanya terasa makin nyata, membuat Nisa terengah-engah akibat rangsangan hebat di tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah remasan itu, karena bagaimanapun dirinya ternyata menikmatinya.

Keduanya terengah-engah akibat ciuman yang panjang itu. Sedang muka Nisa makin memerah, karena ia benar-benar terangsang oleh remasan tangan Faris di dadanya. Payudaranya yang berisi membuat genggaman Faris terasa penuh. Ia membiarkan dirinya terdesak ke dinding, hingga ia tidak sampai merosot jatuh saat remasan tangan Faris makin lincah dan mempermainkan puncaknya yang masih tertutup kaus. Ia hanya mendongak setengah terpejam dan tangannya yang bingung merapat ketat di tembok. Ia makin belingsatan karena di saat yang bersamaan ciuman Faris mendarat di dagu dan lehernya bertubi-tubi. Lehernya cukup panjang dan jenjang, hingga kepala Faris dapat terbenam di sana dan memagut-magutnya seperti ular.

Nisa merasakan air mata mengalir lewat sudut matanya. Ia sangat kebingungan mengenali perasaannya saat ini. Remasan tangan kanan Faris berganti menjadi ciuman bibir. Ia sempat menunduk dan hanya melihat rambut kekasihnya. Kepala Faris terbenam di buah dadanya yang telah mengeras kencang, dan Nisa dapat mendengar kecipak-kecipuk saat Faris melahap dadanya itu dengan sedikit buas.

“Faris… Faris… Ohhh. Apa yang kamu lakukan sama Nisaaa… Mmhhh… Jangan, Ris… Aahh…”

Faris telah menggulung kaus ketatnya ke arah atas, berusaha menyingkapkannya agar buah dada itu lebih leluasa dinikmati. Lelaki itu terus meremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan. Menjepit dan mempermainkan putting susunya yang masih tertutup BH tipis berwarna krem. Mungkin Faris merasa gemas mendapati payudara yang demikian empuk dan kenyal itu, payudara perawan yang masih sangat sensitif dari sentuhan.

Keadaan Nisa kini sungguh mengenaskan. Kekasihnya menyerangnya di berbagai tempat, mempermainkan dirinya seperti sebuah boneka. Bibir dan tangan kiri di payudaranya, tangan kanan di sela-sela pahanya. Semuanya adalah sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Dulu ketika ia belum pernah mengalaminya, ia selalu berjanji bahwa ia hanya akan melakukan ini dengan suaminya di atas ranjang pernikahan. Dulu ketika hal ini tak pernah terbersit dalam benaknya, ia sangat yakin mampu menjaga kehormatannya. Tapi kini ketika benar-benar mengalaminya, ia tak tahu apakah ia akan tetap sekuat itu. Sentuhan-sentuhan ini terlalu melenakan dirinya, dan membangunkan perasaan rindunya yang telah lama terpendam. Ia sangat bingung hingga hanya mampu meneteskan air mata dan meremas remas rambut Faris.

“Aku sayang kamu, Nisa… Mmmh… Aku sayang kamu…” Terdengar rayuan Faris di sela-sela kesibukannya. Nisa hanya mampu menjawabnya dengan erangan-erangan aneh, karena saat itu tangan kanan Faris telah menembus langsung ke pangkal pahanya. Jari jemari pria itu menggosok-gosok dan mempermainkan di tempat yang paling sensitif, hingga Nisa merasakan celananya basah oleh cairan yang tak ia kenal sebelumnya.

Memang sentuhan tersebut bukanlah sentuhan langsung karena tubuh Nisa masih tertutup CD tipis dan celana ketatnya. Tapi ini adalah sentuhan pertamanya, dan semuanya sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan rangsangan dahsyat itu. Apalagi setelah beberapa lama Faris tidak juga menghentikan aktivitasnya, melainkan menggesek-gesek dengan lebih liar. Kemaluannya terasa seperti diaduk-aduk, hingga makin lama ia makin merasakan desakan yang aneh sangat sulit ia pahami. Ia tak dapat menahan perasaannya. Ia terus mengerang… mengerang… hingga desakan itu makin menuju ke arah puncak… Ia tak sanggup bertahan lagi…

“Aaahh… Aaahh… Akhhhhh….” Nisa menjerit panjang saat orgasme melanda tubuhnya untuk pertama kalinya. Tubuhnya mengejang kuat, melengkung seperti busur. Kakinya merapat menjepit tangan Faris yang tak juga berhenti bergerak. Ia merasakan letupan-letupan dahsyat seperti sebuah terpaan badai. Dunia dipenuhi warna yang berpadu dengan indahnya.

“Oohh… Mamaa… Mmhhh…”

***

[Bersambung]

KEMBANG PERAWAN

Bab 1: Ciuman Mesra

Meskipun awalnya ragu, akhirnya Nisa mau juga masuk ke rumah Faris. Dadanya berdegup kencang karena ini adalah kali pertama ia main ke rumah teman prianya. Kamu tentu tahu Madrasah ‘Aliyah tempat mereka berdua bersekolah melarang hubungan lawan jenis seperti ini. Seperti halnya perintah tegas Sekolah kepada setiap siswi untuk mengenakan jilbab.

Tapi Nisa tak bisa menolak ajakan teman yang ia sukai itu. Dua tahun sudah mereka saling mengenal, sejak keduanya sama-sama duduk di bangku kelas satu. Dan perasaan suka itu muncul di hati Nisa tak lama setelah pertemuan pertamanya. Kalau tidak karena Faris memberi sinyal yang sama, Nisa tentu sudah melupakan perasaannya. Tapi cowok itu terus saja bersikap spesial kepadanya, hingga cinta jarak jauh mereka terjalin erat meski tanpa kontak fisik.

Lalu tiga bulan yang lalu saat menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas pria dan wanita yang biasanya terpisah mulai digabung di beberapa kesempatan karena alasan peningkatan intensitas pelajaran. Siswa putra duduk di barisan depan, sedang yang putri di bagian belakang. Tapi Faris duduk di barisan putra paling belakang sedang Nisa di barisan putri paling depan. Maka tak ayal Faris berada tepat di depan Nisa. Dan itulah awal kontak terdekat yang terjadi pada mereka.

Biasalah… Awalnya pura-pura pinjam alat tulis, tanya buku, ini… itu… Tapi senyuman makin sering tertukar dan kontak batin terjalin dengan pasti. Kadang ada alasan bagi keduanya untuk tidak keluar buru-buru saat istirahat, hingga ada masa singkat ketika mereka hanya berdua di dalam kelas; tanya-tanya pelajaran—alasan basi yang paling disukai setiap orang.

Dua bulan lebih dari cukup untuk memupuk rasa cinta. Meski pacaran adalah terlarang, dan keduanya belum pernah saling mengutarakan cinta, tapi semua teman mereka tahu keduanya adalah sepasang kekasih. Hubungan cinta yang unik di jaman yang serba bebas ini. Dan Nisa begitu menikmati perasaannya. Setiap waktu teramat berharga. Sekilas tatapan serta seulas senyuman selalu menjadi bagian yang menyenangkan.

Lalu cinta mulai berkembang saat kenakalan muncul perlahan-lahan. Nisa sempat ragu saat Faris memintanya untuk datang ke Mall M sepulang sekolah sore itu. Sejuta perasaan bahagia membuncah di hati Nisa, bercampur dengan rasa takut dan kegugupan yang luar biasa. Ia nyaris pulang lagi saat sore itu ia berdiri di pintu Mall untuk bertemu dengan Faris. Tapi cowok itu keburu melihatnya hingga ia tak dapat menghindar lagi. Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah selama kencan pertama mereka.

Malamnya Nisa tak bisa tidur. Membayangkan tentang betapa menyenangkannya kencan mereka, saat untuk pertama kalinya Faris menggenggam tangannya selama berkeliling melihat-lihat banyak hal. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Faris bahkan membelikan sebuah hadiah berupa kalung mutiara yang sangat mahal untuk ukuran dirinya. Untaian mutiara itu sangat indah, putih memancarkan kilau yang terang. Cowok itu berkata, “Walaupun aku tak akan dapat melihatmu mengenakan kalung itu, kuharap kamu mau tetap mengenakannya.” Dan tentu saja ia senantiasa mengenakan kalung mutiara itu.

Satu bulan itu dihiasi dengan kencan sembunyi-sembunyi yang sangat mendebarkan. Seperti bermain kucing-kucingan dengan semua orang yang Nisa kenal. Kalau ada satu saja orang yang tahu Nisa berduaan dengan seorang pria di Mall, maka Nisa tak dapat membayangkan petaka apa yang akan menimpanya. Tapi berhenti dari melakukan itu ia yakini lebih mengerikan daripada terus menjalaninya. Karena, di sore itu, di satu sudut yang sepi di dalam Mall, tiba-tiba saja Faris mencium pipinya dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga. Hanya sekilas, dan Faris membuat seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi pengaruhnya sangat besar pada diri Nisa. Karena seluruh perasaannya bergemuruh dan membuncah. Bercampur aduk hingga ia hanya bisa diam saja seperti orang bodoh. Sisa sore itu berlalu tanpa ada dialog apapun, karena Nisa tahu wajah putihnya telah berubah semerah udang rebus. Meninggalkan kesan terindah yang terbawa ke dalam mimpi bermalam-malam sesudahnya.

Tiga hari sejak peristiwa itu Nisa selalu berusaha menghindar dari Faris. Ia merasa malu, bingung dan takut. Bagaimanapun juga satu sisi perasaannya masih memiliki keyakinan bahwa cinta mereka mulai melewati batas. Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu. Karena ketika akhirnya mereka bertemu kembali, Nisa tak bisa menolak saat di banyak kesempatan Faris mencium pipinya berkali-kali; kanan dan kiri. Bahkan, saat Faris semakin nakal dengan meremas tangannya, memeluk tubuhnya dan mencium bibirnya (meski semua itu dilakukan Faris tak lebih dari lima detik saja), Nisa hanya terpana dan sangat menikmati semuanya. Sebelum berpisah, Faris berbisik pelan kepadanya, “Kamu mau, kan, main ke rumah esok sore?”

Anehnya, seperti seorang yang terhipnotis, Nisa mengangguk…



Maka, sore itu, dengan mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja dengan hiasan renda bunga melati, dipadukan dengan jilbab pink yang disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Nisa duduk di sofa ruang tamu di rumah Faris. Menunggu kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring buah-buahan segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan yang sangat menyenangkan.

Kesan itu didapat, sebagian karena bagaimanapun ini adalah rumah orang yang ia cintai, dan sebagiannya lagi karena pemiliknya memiliki cukup banyak uang untuk menata dengan demikian indahnya. Nisa tak tahu banyak soal dekorasi, tapi sesungguhnya rumah itu memang didesain dengan nuansa klasik yang sesuai dengan alam pegunungan tempat rumah itu berdiri. Perabotan, dari mulai lampu-lampu, tempat duduk, meja, lukisan-lukisan serta berbagai hal didominasi oleh corak bambu dan kayu asli. Sementara dedaunan dan tanaman hijau—bercampur antara imitasi dan buatan—menghiasi sudut-sudut yang tepat. Air terjun buatan dibangun di samping ruang tamu, dengan cahaya matahari yang hangat menyinari dari kaca jendela samping. Wilayah itu ditutup oleh kaca bening yang dialiri air dari atas, sehingga mengesankan suasana hujan yang indah dan menimbulkan bunyi gemericik air yang terdengar menyenangkan.

Lukisan pedesaan dipasang di satu sudut yang tepat bagi pandangan mata, dengan gaya naturalis hingga setiap detail nampak sangat jelas. Seperti sebuah foto namun memancarkan aura magis yang lebih kentara. Nisa sempat terpana dengan semuanya, dengan kesejukan yang melingkupi seluruh dirinya, sampai ia tak sadar kalau Faris telah duduk di sebelahnya, sedang menata gelas dan piring-piring.

“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin Abi…”

Nisa tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana, sehingga rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar dan mewah ini ternyata milik pacarnya.

“Nggak apa-apa, Ris. Nisa seneng, kok…” Nisa merasakan suaranya tercekat di tenggorokan.

Sore itu Nisa lalui dengan sangat menyenangkan. Ngobrol berdua, bercanda, tertawa, nonton film, main game PS hingga makan malam. Nisa baru tahu bahwa ternyata Faris bisa memasak. Pintar malah. Kelezatan rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan malu ia mengakui itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi kanan yang lembut.

“Aku tetep sayang kamu, kok…”

Perlu diketahui bahwa Nisa saat itu berusia 16 tahun dan memiliki tubuh yang mulai matang sebagai seorang gadis. Posturnya juga tinggi dengan wajah manis yang terkesan keibuan. Tapi percayalah bahwa ia sangat polos, lebih polos dari gadis SD di kota besar yang telah mahir urusan peluk dan cium. Desa tempat ia tinggal sangat jauh dari arus informasi dan pengaruh buruk ibukota. Maka ia tak menaruh prasangka apapun saat Faris mengajaknya menginap di rumahnya malam itu. Memang ini urusan yang tabu di desanya, tapi kepolosan Nisa membuatnya yakin bahwa Faris tak akan melakukan hal buruk terhadapnya. Sehingga, pilihan berbohong ia lakukan agar bisa berduaan terus dengan kekasihnya. Ia telah bilang pada orang rumah bahwa ia akan menginap di rumah Ririn. Ia tahu orang tuanya tak akan curiga, karena hal itu biasa ia lakukan di waktu-waktu ujian sekolah. Apalagi menjelang Ujian Akhir seperti sekarang.

Suasana malam sangat sunyi dan suara jengkerik telah berganti dengan burung malam. Tak berapa lama rintik hujan mulai turun, dan Nisa tak menyadarinya sampai hujan itu berubah jadi deras. Sangat deras, karena di musim penghujan seperti ini hal seperti itu selalu saja terjadi. Kalau tidak karena suasana cinta yang tengah meliputinya, Nisa tak akan betah di rumah orang dalam situasi seperti itu.

O, iya… Sebetulnya Nisa dan Faris tidak benar-benar berdua di rumah, karena ada Hana, adik perempuan Faris yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP. Makanya Nisa tidak terlalu merasa sungkan, karena ia bisa bermain dengan Hana juga di sepanjang sore dan malam itu. Farislah yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar berjanji tidak memberitahukan keberadaan Nisa kepada orang tua mereka. Hana sebetulnya tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati.

Peluk dan cium beberapa waktu yang lalu memang mendapatkan perlawanan (meski setengah hati) dari Nisa. Tapi hal itu tak berlaku malam ini, karena kini Nisa merasa lebih santai dan bebas. Di satu kesempatan Faris memeluknya sembari mencium bibirnya sekilas. Di kesempatan lain ia dipeluk dari belakang, tepatnya saat ia mencuci piring bekas makan malam dan pria itu mengendap-endap dari belakang dan begitu saja melingkarkan tangan di pinggangnya. Nisa sempat menjerit pelan dan berusaha meronta, tapi tangannya yang memegang piring dipenuhi busa sabun hingga susah untuk bergerak. Ia hanya menggelinjang pelan dan merengek lemah, saat pelukan itu makin erat dan ciuman di pipinya membuatnya terbius. Hampir saja Hana melihat perbuatan mereka, kalau Faris tidak buru-buru melepaskan pelukan di pinggang yang ramping itu.

Setelah mandi malam yang menyenangkan, di dalam bath-tub air hangat yang penuh busa dan peralatan mandi yang lengkap milik Umi Faris, Nisa bergabung dengan kakak beradik di ruang TV. Ia mengenakan busana malam yang lebih santai (setidaknya untuk ukuran gadis berjilbab); kemeja kaus lengan panjang putih bermotif garis warna biru dengan bawahan rok katun berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru senada. Parfum aroma bunga khas remaja ia seprotkan di tempat-tempat yang tepat untuk menyegarkan dirinya. Lalu ia duduk di samping Hana yang sedang tertawa menyaksikan film kartun di televisi.

Mata Nisa saat itu tertuju penuh ke televisi, namun pikirannya terbang ke alam tertinggi yang penuh imajinasi. Pelukan dan ciuman hangat dari Faris mau tak mau membangkitkan gairah terpendam yang selama ini tersembuyi jauh di dasar jiwanya. Ia mengalami semacam sensasi aneh yang baru dikenalnya, yang sangat memabukkan dan membuatnya lupa diri. Jam baru pukul delapan malam namun kegelisahannya telah memuncak.

Nisa tak tahu—atau mungkin tak berani mengakui—bahwa dirinya telah dipenuhi sensasi seks yang menyenangkan. Terlebih ini adalah masa-masa suburnya. Letupan-letupan kecil yang dipicu oleh Faris membuatnya perlahan-lahan tebawa ke arus deras, hingga sulit terbendung oleh keremajaannya yang sedang membara. Penghalang dirinya untuk melakukan hal-hal yang lebih seronok adalah rasa malu, takut serta ketidaktahuan yang besar tentang kondisi-kondisi semacam ini. Tapi pancingan-pancingan yang dilakukan oleh Faris dengan lihai membawanya pada pengalaman-pengalaman terlarang yang sangat menggairahkan. Semuanya akibat kepolosan sang gadis remaja.

Jam delapan lewat dua puluh menit Faris bangkit dari duduknya dan menarik tangan Nisa agar mengikutinya. Hana tak sadar karena ia terfokus pada acara televisi. Nisa menurut dan dadanya berdebar kencang saat Faris menariknya ke lantai dua. Kalau Nisa sedikit lebih gaul, ia akan tahu Faris bermaksud melakukan sesuatu, tapi Nisa jauh lebih polos dari yang orang kira, hingga ia justru merasa senang saat Faris mengajaknya untuk melihat-lihat kamarnya. Ia senang bisa tahu isi dalam kamar kekasih yang ia cintai.

Nisa kagum pada suasana kamar Faris yang menyenangkan. Ia juga terkejut saat menemukan foto dirinya dalam pose separuh badan terpampang di dinding kamar. Foto itu ditutupi Faris oleh poster pemain bola, hingga tidak ada yang tahu bila setiap malam ia menarik poster itu dan memandangi foto gadis yang tersenyum manis di sana.

Nisa setengah lupa tentang kapan ia membuat foto itu. Ia merasa foto itu lebih cantik dari aslinya. Tapi Faris menjelaskan bahwa program komputer photoshop dapat melakukan banyak hal, seperti membuat gadis secantik dirinya terlihat lebih segar dan mempesona. Nisa tersipu malu. Tapi itu belum seberapa, karena tiba-tiba Faris menarik dirinya agar berhadapan, lalu mengeluarkan sepasang anting mutiara dari kotak beludru di saku celananya. Nisa terperanjat. Faris berbisik mesra,

“Ini pasangan kalung yang pernah kuberikan. Aku mau kamu mengenakannya…”

Mata Nisa berkaca-kaca. Kalau saja ia berani, ia sudah memeluk pria di hadapannya dan menciumnya bertubi-tubi. Tapi ia terlalu malu untuk melakukan hal semacam itu. Ia hanya salah tingkah, saat Faris meletakkan anting-anting itu di telapak tangannya dan berkata lagi,

“Aku pasangkan sekarang, ya…”

“Tapi…” Suara Nisa serak dan lirih.

“Tapi kenapa?”

“Nisa malu…”

“Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling tertutup?”

Nisa bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama dalam hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki. Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian seksi di Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini. Tapi Nisa adalah perempuan yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian tubuhnya dan tak memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya. Melepas jilbab baginya sama seperti melepas rok di depan kamera bagi gadis keumuman.

Aneh? Memang! Tapi itulah kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak kuasa menolak permintaan Faris yang menyudutkan itu. Ia memang diam. Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari Faris melepasi jarum dan peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam dan menahan nafas saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya. Tangannya yang gemetar meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri saat Faris menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya.

“Kamu cantik sekali, Nisa…” Suara itu terdengar lirih, dan Nisa hanya terpejam menahan semua perasaannya. Itu adalah ekspresi terbodoh yang pernah ia lakukan, atau justru yang terbaik, karena semuanya mendorong Faris untuk mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman hangat dan penuh cinta, membawa Nisa terbang tinggi dan melupakan dunia ini.

“Mmmh…”

Nisa hanya terpejam pasrah. Tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah Faris mulai menjulur dan menggelitiki rongga mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih sangat kaku, saling menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna. Tangannya begitu saja memeluk lengan Faris yang kokoh, yang saat itu tengah melingkarkannya di pinggangnya sendiri.

Waktu seakan berhenti. Dan keduanya terpaku seperti sepasang patung sihir. Hanya helaan nafas yang terdengar di sela-sela ciuman membara dan dipenuhi gelora cinta. Kedua tubuh itu merapat dan saling bergesekan, seakan tak dapat terpisahkan. Saling memberikan rasa hangat yang aneh dan membangkitkan seluruh saraf yang tertidur. Keduanya baru berhenti ketika nafas mulai habis dan terengah-engah kelelahan. Nisa kaget dan merasa malu sekali. Mulutnya basah akibat ciuman panas itu. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa selain menanti yang terjadi selanjutnya. Ia membiarkan Faris memasang anting-anting di kedua telinganya. Ia menahan rasa geli saat jari jemari Faris seakan menggelitik kedua telinganya, dan menurut saja ketika pria itu menuntunya ke hadapan cermin besar.

“Lihat… Kamu cantik sekali..”

Nisa melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa jilbab, dengan dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya. Ia merengek manja dan menutup muka dengan telapak tangannya. “Aah… Faris jahat… Nisa malu…”

“Malu sama siapa?”

Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat. Ciuman tadi telah menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka kini lebih mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang sarat nuansa cinta.



Pagi itu adalah pagi terindah bagi Nisa. Menghidangkan sarapan di meja makan untuk Faris membuatnya merasa seperti seorang istri yang melayani suaminya. Faris dan adiknya sangat puas dengan masakannya. Canda tawa menghiasi makan pagi mereka yang berlangsung dengan santai. Seusai makan Hana langsung berangkat sekolah, meninggalkan sepasang sejoli yang dimabuk asmara itu tanpa kecurigaan apapun. Membiarkan keduanya menikmati hari dalam kemesraannya.

Tapi, kalau kamu berpikir malam itu keduanya melakukan hubungan-hubungan khusus suami istri, percayalah bahwa kamu salah besar. Mereka masih terlalu penakut untuk melakukan hubungan yang lebih jauh. Meskipun ciuman mereka semakin panas, aktivitas lain masih terhitung sopan karena tangan Faris tak pernah bergerilya seperti tangan para professional. Masih tetap pelukan sopan yang tak melibatkan rabaan ataupun sentuhan lain. Keduanya tidur terpisah dan tak ada aktivitas nakal di malam hari.

Nisa pulang dari rumah Faris sekitar pukul sepuluh pagi, setelah banyak ciuman tambahan sehabis sarapan dan mandi pagi. Kepada orang rumah ia bilang sekolah pulang cepat. Seharian ia lebih banyak mengunci diri dalam kamarnya, menikmati sensasi imajinasi yang semakin liar dibanding waktu sebelumnya.
***

[Bersambung]

Vina dan Maya

Perkenalkan nama saya Laila, saya seorang mahasiswi semester 4 di
Purwokerto. Ada satu pengalaman nyata yang saya alami yang berkaitan
dengan cewek-cewek PKS. Di Purwokerto sendiri banyak sih cewek PKS
terutama di Kampus, hanya saja saya tidak ada yang kenal mereka
semua. Cuman saya melihat mereka adalah cewek-cewek yang alim dengan
jilbab panjang dan jubah mereka itu.Saya sendiri cuman pakai kerudung
kecil yang seringkalai dipandang sebelah mata oleh cewek-cewek PKS
yang berkerudung lebar.
Dua minggu yang lalu, saya harus ke Jogja untuk urusan kuliah. Karena
saya banyak ke sibukan, sehingga baru jam 5 sore saya berangkat ke
Jogja. Saya naik bis Patas Raharja dan di sebelah saya duduk seorang
cewek berjilbab gede. Semula saya cuekin, tapi kemudian dia ngajak
ngobrol. Orangnya ramah, cantik, putih dan kuliah di UGM hampir
selesai. Asalnya Bandung, namanya Neneng dan ternyata dia aktivis PKS.
Kami ngobrol banyak terutama tentang pemilu, nyambung karena saya
jurusan sospol dan akhirnya dia nawarin numpang di kostnya setelah
dia tahu saya kesulitan bermalam di Jogja dan berniat bermalam di
penginapan.
Kurang lebih jam 8 malam kami sampai di Jogja dan Mbak Neneng tetep
ngajak saya tidur di kostnya. Singkat cerita kami sampai di kostnya
yang terletak di di daerah Jln Kaliurang sekitar UGM. Di kost
tersebut ada 5 cewek lainnya dan saya di persilahkan tidur kamar Mbak
Neneng. 5 cewek temen kost Mbak Neneng ternyata juga aktivis PKS di
Jogja. Ke 5 cewek PKS itu kelihatan merendahkan saya karena kerudung
saya yang kecil walaupun jujur saja saya merasa iri dengan ke 5 cewek
temen Mbak Neneng, karena mereka berwajah cantik dan berkulit putih-
putih bersih.
Pukul 10 malem saya sudah ngantuk berat hingga saya pamit tidur, tak
lama kemudian Mbak Neneng juga menyusul ke kamar.
Ketika saya sudah berbaring,saya merasa heran ketika Mbak Neneng
membuka seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat. Mbak nenneg
mengakui kalau selama ini, dia tidur jarang memakai pakian lengkap,
kadang cuman BH dan CD atau CD aja atau bahkan bugil seperti malam
ini. Kata dia sih karena Jogja sangat panas. Aku diam saja mendengar
penjelasan dia dan saya akui lekak-lekuk tubuh Mbak Neneng memnag
sangat sintal membuat saya menjadi sangat iri.Karena kami sama-sama
perempuan, saya tidak merasa tergganggu olehnya lagian mata saya
sudah sangat mengantuk
Pukul 12 malam, saya terbangun karena pengen kencing. Saya kaget
ketika menyadari Mbak Neneng yang bugil tengah memeluk saya dalam
tidurnya. Akhirnya setelah melepaskan pelukan Mbak Neneng dengan
susah payah, saya keluar kamar menuju WC. Setelah saya selesai dari
WC saya bermaksud kembali ke kamar Mbak Neneng, tapi kemudian saya
inget kalau Mbak Neneng malam ini tidur tanpa busana sehingga membuat
saya ingin melihat apakah 5 cewek PKS temen Mbak Neneng juga tidur
tanpa busana.
Saya mengintip 5 kamar lainnya dan saya dapati 3 temen Mbak Neneng
tidur tanpa busana sementara 1 orang tidur hanya memakai celana dalam
dan satu orang lagi tampak sedang membuka internet namuan alangkah
kagetnya saya ketika saya amti ternyata yang sedang dibukanya adalah
situs-situs hot. Apalagi ketika saya lihat cewek PKS yang sedang buka
internet itu juga sambil bermasturbasi.
Yah akhirnya sisa malam itu, saya nggak bisa tidur. Saya nggak mau
tidur dengan Mbak Neneng yang kayaknya lesbian. Dalam pikiran ana
timbul kesadaran, ternyata tidak mesti cewek PKS itu alim-alim
buktinya di tempat kost tempat saya menumpang. semalamman saya
berpikir seperti itu hingga pagi. Bahkan kemudian, malam itu juga
saya menemukan foto laki-laki bugil dalam salah satu tumpukan majalah
UMMI di ruang tamu
Paginya, ana kembali kaget oleh cewek-cewek PKS di tempat kost ini
ketika ternyata mereka membeli sarapan pagi ke warung tanpa pakain
dalam. Memang mereka pakai pakaian jubah panjang dan jilbab lebar dan
kaus kaki tapi saya tahu mereka nggak pakai pakaian dalam. Kata
mereka sih pakaian ini sudah cukup menutupi.
Saya menolak tawaran mandi bareng Mbak Neneng, dan akhirnya pagi-pagi
sekali saya cabut dari tempat kost cewek PKS itu.
Jadi saya pikir, tidak mesti semua cewek-cewek PKS itu alim-alim
Bonar, Monang dan Togar bengong. Tiga preman terminal itu tak
menyangka bakal dapat order seperti itu.
"Kau serius?" tanya Monang kepada lelaki perlente di depannya.
"Serius Bang. Dua juta untuk persekot. Delapan juta lagi kalau sudah
selesai," sahutnya.
"Kalau sudah kita perkosa, terus diapain?" lanjut Monang.
"Pokoknya terserah abang bertiga. Mau dipelihara terus boleh, dijual
ke germo juga boleh. Asal jangan dibunuh," sahut lelaki itu.
Tiga preman itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka sering
menerima order untuk menagih utang, menghajar seseorang atau bahkan
membunuh. Tapi order kali ini mereka anggap sangat aneh: menculik dan
memperkosa dua mahasiswi lalu memaksanya agar berhenti kuliah. Mereka
makin terkejut begitu melihat foto dua calon korban mereka.
"Gila ! Kau suruh kami perkosa cewek pake cadar ! Sebetulnya apa sih
masalahnya?" kali ini Bonar yang bicara.
Lelaki perlente itu menghela napas dalam-dalam.
"Dua cewek ini bikin suasana kampus jadi nggak enak. Sudah lah...
abang bertiga mau duit sepuluh juta tidak?" sahutnya.
Tiga preman itu saling berpandangan. Di tengah keraguan dan hasrat
mendapat uang mudah, menyeruak perasaan aneh di hati mereka.
Terbayang di benak kotor ketiganya, mereka akan menelanjangi dua
gadis yang berpakaian serba tertutup, lalu memperkosanya.
"Oke... kami mau !" Monang yang langsung ambil keputusan. Kedua
temannya mengangkat bahu, tak berkomentar tapi menunjukkan
persetujuan. "Kapan kami harus lakukan?" lanjut Monang.
Lelaki perlente itu tersenyum.
"Minggu ini juga. Ini duit dua juta, ini foto dan alamat dua cewek
itu. Telepon saya kalau sudah selesai," ujarnya.
***
Sepeninggal lelaki itu, ketiganya memandangi lagi foto dua gadis itu.
Terlihat seorang yang berjilbab dan cadar serba putih dan rekannya
yang mengenakan busana serupa berwarna hitam tengah diwawancarai
seorang reporter TV. Cadar yang menutup wajah keduanya membuat hanya
sepasang mata kedua gadis itu yang terlihat. Pada cadar putih
tertulis nama 'Maya' sedang pada cadar hitam tertulis 'Vina'.
"Boleh juga nih. Aku jadi terangsang Bang, pengen cepat lihat
memiawnya dua cewek ini!" ujar Togar yang sejak tadi diam.
"Bah, bukan cuma kau lihat. Kau boleh makan memiaw dia. Kita memang
beruntung. Dapat memiaw dua, bukan cuma gratis, dibayar 10 juta
pula !" sahut Monang disambut gelak dua kawannya.
Tiga preman itu pun langsung berunding untuk menentukan cara menculik
kedua gadis itu. Akhirnya mereka pun menemukan cara mudah: menjebak
keduanya. Togar yang berpenampilan rapi ditugaskan menyamar sebagai
wartawan yang akan mewawancarai keduanya. Monang menyamar sebagai
fotografer, sedang Bonar menunggu di belakang kemudi mobil van
mereka.
Tak menunggu lama, Togar langsung beraksi. Diangkatnya ponselnya,
menghubungi rumah kos Maya. Suara lembut seorang gadis terdengar
menyapa.
"Dik Maya, saya wartawan. Saya ikut prihatin dengan kejadian di
kampus. Bisa tidak saya wawancara adik?" katanya.
"Ya...ya... berdua dengan Vina sekalian,"
"Besok siang, sepulang kuliah ? Di mana?"
"Tempat kos? Oke ! Vina sekalian ke situ? Oke ! Sampai ketemu besok,"
Togar bersorak begitu menutup ponselnya.
***
Siang yang dijanjikan pun tiba. Togar mengenakan rompinya yang
bersaku banyak. Di salah satu saku sengaja disembulkan ujung sebuah
blocknote dan beberapa bolpoin. Tapi di salah satu saku yang lain, ia
mengantongi sepucuk pistol yang dibelinya di pasar gelap. Monang tak
kalah miripnya dengan fotografer betulan. Ia menyandang tas kamera.
Tak ada yang bakal menyangka kalau tas itu isinya juga pistol.
Sampai di depan rumah kos Maya, mobil van yang dikemudikan Bonar
berhenti. Dua rekannya turun dan memasuki halaman rumah. Bonar
menunggu di belakang kemudi sambil mengawasi keadaan sekitar yang
sepi.
Togar mengetuk pintu.
"Siapa?" terdengar suara dari balik pintu.
"Kami, wartawan," sahut Togar. Pintu pun terbuka. Togar dan Monang
masuk.
Di ruang tamu tak ada kursi ataupun meja, tetapi sehelai karpet tipis
tergelar di sudut. Di sudut yang jauh, duduk seorang gadis berjubah
dan jilbab panjang serta cadar serba biru tua. Gadis yang membukakan
pintu mengenakan busana serupa tetapi berwarna hijau botol, menyusul
duduk di sebelahnya.
Togar mengeluarkan blocknote-nya.
"Kok sepi? Yang lain mana?" Togar membuka percakapan, sekaligus
mengecek kondisi rumah.
"Masih pada kuliah, belum pulang," sahut si cadar hijau.
"Baik. Kami ingin dengar cerita dari adik berdua. Tapi sebelumnya,
saya ingin tahu mana yang Maya mana yang Vina," katanya.
Dua gadis itu saling pandang.
"Saya Maya, ini Vina," kata gadis bercadar hijau. Ia lalu menuturkan
kesulitan mereka berdua di kampus.
"Kalian pernah diteror?"
"Ya, kami sering diteror lewat telepon,"
"Bentuk terornya bagaimana?"
"Yaaa... diancam bunuh lah, dimaki-maki dengan kata-kata kotor..."
"Eh, maaf ya... ada yang mengancam memperkosa tidak?" Togar bertanya
sambil memasukkan tangannya ke kantong tempatnya menyimpan pistol.
Diliriknya Monang yang tengah membuka tas kamera.
Maya dan Vina saling berpandangan lagi.
"Ah, eh... tak ada itu..." sahut Maya sambil menggelengkan kepala
diikuti Vina.
"Bagus kalau begitu. Sebab sekarang kami yang mengancam kalian," kata
Togar sambil tiba-tiba mengacungkan pistolnya. Monang terkekeh dan
ikut mengacungkan pistolnya juga.
Kedua gadis itu memiawik, terkejut luar biasa. Keduanya langsung
berpelukan ketakutan melihat Togar dan Monang mendesak mereka ke
sudut.
"Tak perlu teriak, karena tak bakal ada yang dengar. Selain itu,
kalau kalian nekad, pistol ini akan menghabisi kalian!" ancam Togar
sambil mengarahkan moncong pistol ke kepala Maya.
Maya dan Vina yang ketakutan diperintah tengkurap di atas karpet.
Togar lalu menelikung tangan Maya ke belakang dan mengikatnya dengan
tali. Monang melakukan hal serupa pada Vina.
"Eiiiiiii...." Vina menjerit, sebab begitu tangannya terikat, Monang
membalik tubuhnya dan meremas-remas sepasang payudaranya dari luar
lapisan kain yang dikenakannya.
Togar terlihat masuk ke bagian belakang rumah kos. Sekejap kemudian
ia kembali dengan membawa dua helai celana dalam dari tempat cucian.
Saat kembali, ia melihat Monang tengah meremas payudara Maya dengan
tangan kirinya. Sedang tangan kanannya meremas-remas pangkal paha
gadis itu. Maya meronta-ronta dan menyumpah-nyumpah.
"Iblis... kalian memang iblis !" pekiknya.
"Ha ha ha... kalian akan tahu rasanya diperkosa iblis," sahut Monang.
Togar lalu melemparkan sehelai celana dalam bau itu ke arah Monang.
"Sudah, kita harus cepat !" perintahnya.
Monang langsung menarik turun cadar Maya. Sejenak ia terpana
memandang wajah cantik di balik cadar itu. Sorot matanya
memperlihakan kemarahan dan ketakutan. Tapi Monang tak peduli,
disumpalnya mulut gadis itu dengan celana dalam. Togar pun melakukan
hal serupa pada Vina.
Tak lama kemudian, kedua gadis itu pun digelandang ke mobil van
Di dalam mobil, penderitaan keduanya pun dimulai. Kedua lelaki itu
dengan buas terus meremas-remas payudara dan pangkal paha Maya dan
Vina sepanjang jalan. Kedua lelaki itu bahkan menemukan jalan lewat
celah-celah kancing jubah sampai ke bra keduanya. Lalu tangan-tangan
kasar pun menyelusup ke baliknya dan meremas-remas daging kenyal dan
lembut di baliknya.
Vina mengerang panjang ketika kedua putingnya dijepit keras oleh
Monang. Sementara Maya tak kalah menderitanya karena payudaranya yang
tak seberapa besar dicengkeram dan dibetot, seolah hendak dilepaskan
dari tempatnya. Dari celah cadar, terlihat mata kedua gadis itu
meneteskan air bening.
Maya dan Vina tak tahu kemana mereka dibawa. Yang mereka tahu, mobil
akhirnya berhenti di dalam sebuah ruangan besar yang mirip gudang.
Keduanya lalu digiring ke tengah ruangan. Maya dan Vina agak lega
ketika ikatan tangan mereka dan sumpal di mulut mereka dilepas.
"Jahanam.... kalian mau apa sebenarnya?!" pekik Maya begitu sumpal
mulutnya dilepas.
Tiga lelaki itu terbahak.
"Jangan galak-galak begitu. Kalian tak bisa melawan kami. Mau teriak
pun boleh. Tak ada yang akan mendengar," sahut Monang. "Begini...
sepulang dari sini nanti, kalian harus memutuskan untuk berhenti
kuliah," lanjutnya.
"Kalian siapa? Kenapa meminta kami melakukan itu?" sahut Maya ketus.
"Kau tak perlu tahu siapa kami. Yang perlu kau tahu, kami akan
memperkosa kalian dan merekam semuanya. Kalau kalian menolak berhenti
kuliah, rekaman itu akan tersebar di kampus...." ancam Monang.
"Tapi kami lebih suka kalau kalian bekerjasama dan kita akan sama-
sama menikmatinya. Kalau kalian menolak bekerjasama, kami bisa
berlaku kasar !" ancamnya lagi.
"Ayo, sekarang mulai buka baju panjang kalian itu. Cepat !"
Kedua gadis itu kelihatan mulai panik. Tapi lagi-lagi Maya
memberanikan diri menolak. Akibatnya, ia diringkus Togar dari
belakang. Dari depan, Monang menyampirkan jilbabnya yang panjang
sampai pinggul ke pundaknya. Lalu, dicengkeramnya kuat-kuat payudara
kanan Maya. Gadis itu menjerit histeris saat belati Monang mengoyak
berlapis kain yang menutupi dadanya sampai akhirnya terlihat
payudaranya yang terbungkus bra putih.
"Aaaarrghhhh....." Maya menjerit keras ketika Monang mengeluarkan
payudaranya dari cup branya.
"Kalau kamu tak mau kerjasama, kamu bisa kehilangan benda ini !"
Monang menggerakkan ujung belatinya melingkari payudara Maya yang
lumayan besar.
"Hei... kau duluan buka baju. Ingat, kalau menolak, tetek temanmu ini
aku potong," lanjutnya. Monang pun mulai menjilat puting Maya dan
sesekali menggigitnya agak keras.
Vina ketakutan. Ia tak ingin temannya disakiti. Ia pun mulai
melepaskan kancing atas jubahnya setelah Bonar menyampirkan jilbab
panjangnya ke pundak.
"Jangan Vinaaa... jangan turuti mereka. Aaaaakkhhhh... !!!" Maya
menjerit. Gigi Monang menggigit putingnya lumayan keras, sementara
pangkal pahanya diremas-remas.
Jubah Vina yang terbuat dari kain yang tebal melorot jatuh ke
kakinya. Tapi di baliknya masih ada busana serupa dari bahan yang
lebih tipis. Bentuk tubuhnya mulai terlihat. Bonar terus merekam
dengan handycamnya. Sesekali ia tak sabar menyentuh payudara Vina.
Isak Vina mulai terdengar saat baju yang lebih tipis itu pun jatuh ke
lantai. Tapi masih ada lagi di baliknya, rok dalam dan kaus dalam.
Lengan telanjang Vina tampak kuning langsat, kontras dengan kaus
tangan biru tuanya.
"Kalian apa tidak gerah pakai baju berlapis-lapis begitu ?" ujar
Togar yang masih memegangi Maya. Monang yang asyik menghisap puting
Maya pun menoleh.
"Kau lama sekali. Sini kubantu..." katanya sambil mendekati Vina.
Breett... brettt... brettt....
Dengan kasar direnggutnya kaus dalam dan rok dalam Vina, lalu celana
dalam dan branya. Vina menjerit-jerit, tapi ia tak kuasa melawan
lelaki kasar itu. Bonar terus merekam ketika kedua temannya tak
berkedip melihat pemandangan langka, seorang gadis muda berjilbab dan
cadar, tetapi dari dada ke bawah telanjang.
Payudaranya tak sebesar milik Maya, tapi terlihat padat dan agak
mengacung. Vaginanya tampak mulus, sepertinya bekas dicukur. Bonar
menepis tangan Vina yang berusaha menutupi payudara dan pangkal
pahanya.
Sekujur tubuh Vina merinding ketika Monang memeluknya dari belakang.
Telapak tangannya langsung bermain-main di pangkal paha Vina. Jari
tengahnya bergerak naik turun menyusuri celah sempit vagina gadis
itu. Vina terisak-isak. Sepasang payudaranya didorong ke atas hingga
makin menjulang.
"He Togar, lepaskan cewek sok tahu itu. Kita lihat solidaritasnya
dengan teman," ujar Monang.
"He kau Maya ! Cepat kau bikin striptease buat kami. Jangan membantah
kalau tak ingin teman kau ini kehilangan tetek cantik ini," katanya.
Maya masih diam mematung. Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan Vina.
Ternyata puting kanannya dijepit dan ditarik ke depan, sementara
belati Monang menempel ke areolanya yang sempit. "Ayo cepat !" bentak
Monang lagi.
Maya tak punya pilihan lain. Dilepaskannya busananya sampai ia
telanjang bulat kecuali jilbab, cadar, kaus kaki dan kaus tangannya.
Seperti Vina, ia juga tak punya rambut kemaluan.
"Kenapa sih kalian tak punya jembut?" kata Togar yang langsung
mengucek-ngucek kelamin Maya.
Dua gadis itu lalu dipaksa berlutut berdampingan. Mereka ketakutan
ketika Togar dan Monang berdiri di depan mereka dan mulai membuka
celana. Keduanya terus menundukkan muka sampai akhirnya dagu mereka
diangkat. Keduanya memiawik bersamaan melihat di depan wajah mereka
penis kedua lelaki itu mengacung.
"Ayo... dikulum !" perintah Monang sambil mengangkat cadar Maya. Hal
yang sama dilakukan Togar kepada Vina.
Maya dan Vina tak kuasa melawan lagi. Mereka tak pernah membayangkan
bakal melakukan perbuatan itu. Begitu kepala penisnya terjepit bibir
Maya, Monang pun langsung memegang bagian belakang kepala Maya dan
menariknya. Dua preman itu tak mempedulikan erangan dua gadis
bercadar itu. Bonar terus merekam dengan handycamnya saat penis dua
lelaki itu keluar masuk bibir Maya dan Vina di balik cadarnya.
Tapi Bonar tak sabar juga. Ia berlutut di belakang kedua gadis itu,
bermain-main dengan payudara dua gadis itu. Tak hanya itu, vagina
telanjang kedua gadis itu pun diremas-remasnya. Vina dan Maya pun
mengerang-erang kesakitan ketika puting mereka ditarik-tarik Bonar.
Apalagi, jemari Bonar kemudian mempermainkan klitoris mereka sesuka
hati.
Togar dan Monang seperti tengah berlomba. Keduanya mengocok penis
mereka di mulut kedua gadis bercadar itu. Awalnya Togar yang
berteriak keras saat mencapai puncak kenikmatan. Dibenamkannya jauh-
jauh penisnya ke pangkal tenggorokan Vina. Gadis itu memelototkan
matanya saat semburan sperma Togar memenuhi rongga mulutnya. Ia
terpaksa menelannya, karena Togar terus memegangi kepalanya.
Tiba-tiba Togar mendorong kepala Vina hingga gadis itu jatuh
terlentang. Tapi dengan cepat ia meringkuk, berusaha menutupi
ketelanjangannya sebisa mungkin. Terdengar ia menangis. Kain cadar
biru tua di bagian bibirnya terlihat basah oleh sebagian sperma Togar
yang keluar dari mulutnya.
Tak lama kemudian, giliran Monang yang berejakulasi di mulut Maya.
Seperti temannya, ia juga membiarkan beberapa lama penisnya tetap di
dalam mulut gadis itu dan kemudian mendorong Maya jatuh ke sisi Vina.
Giliran Bonar mendekat. Langsung disergapnya pinggul Vina yang masih
meringkuk di lantai. Mahasiswi itu menjerit-jerit dan meronta dengan
sia-sia. Wajah Bonar telah melekat erat di selangkangannya. Mulut
Bonar dengan rakus melahap vagina Vina yang mulus tanpa rambut.
"Aaakhhh....hentikaaaan... aarrghhh...oouhhhhh....nngghhhhh..." Vina
merintih sejadi-jadinya. Lidah Bonar menyapu sekujur permukaan
vaginanya.
Lalu terasa bibir kelaminnya dikuakkan dan kini lidah lelaki itu
menjulur-julur ke dalam. Vina merintih panjang saat lidah Bonar
menyentuh klitorisnya. Lalu, titik peka di tubuhnya itu pun dihisap
kuat-kuat.
"Lepaskan....lepaskan....kalian bejat !" terdengar Maya memaki-maki.
Togar dan Monang meringkusnya dan memaksanya menduduki wajah Vina.
Monang menyingkapkan dulu cadar Vina sebelum akhirnya pangkal paha
Maya melekat di bibirnya.
"Ayo, jilati memiaw temanmu ini !" kata Togar sambil menjepit kuat-
kuat dua puting Vina.
Tak kuasa menahan sakit, Vina mulai menjilati kelamin temannya,
sementara miliknya sendiri terus dijilati Bonar. Kedua gadis itu
mengerang-erang. Monang dan Togar berebut menghisap puting Maya
sambil tangan mereka meremas-remas payudara Vina.
"Ayo Bonar, lakukan sekarang !" ujar Monang.
Bonar menyeringai dan menempatkan dirinya di antara kedua paha mulus
Vina yang mengangkang lebar. Vina tak sadar apa yang akan terjadi
sampai terasa sesuatu yang keras menekan liang vaginanya.
"Aaakhh.... jangaaann... mmff..." Vina menjerit. Kepala penis Bonar
mulai menyelinap di antara bibir vaginanya.
Lalu, dengan kekuatan penuh, Bonar mendorong pinggangnya.
"Aaaaaaaakkhhhhhh....!!!" Vina menjerit histeris, tapi jeritnya
langsung terbungkam oleh vagina Maya yang ditekan ke mulutnya.
Bonar merasakan penisnya terjepit vagina Vina dengan sangat kuat.
Tapi perlahan ia merasakan ada cairan yang membasahinya. Ia hapal
betul, itu adalah darah dari koyaknya selaput dara. Bonar menarik
mundur penisnya. Lalu seperti gila ia mendorong ke depan, menghunjam
sampai terasa kepala penisnya menekan dinding belakang vagina Vina.
Bonar terus menggenjot dengan brutal. Vina menjerit-jerit kesakitan.
Sampai akhirnya...
"Ouughh.....aaargghhhhh....!!!" Bonar menggereng. Kedua tangannya
mencengkeram pinggul Vina. Pinggulnya sendiri didorong jauh ke depan.
Vina terisak-isak merasakan cairan hangat memenuhi rongga vaginanya