Sabtu, 31 Oktober 2009

Aida 1st Stories, WHEN I GET fishED

Aida namaku, mahasiswi 20 tahun di salah satu universitas di Surabaya. Aku berjilbab, tapi bukan jilbab biasa, aku adalah seorang akhwat yang juga menjadi pengurus di masjid kampusku. Namun aku cenderung supel, senang tersenyum, periang dan aktif. Seperti akhwat-akhwat lainnya, aku sangat menjaga pakaianku, meski cukup sulit menemukan pakaian terusan yang tidak menonjolkan payudaraku yg berukuran 36B. Kesalahanku adalah aku terlalu supel dan cepat dekat dengan laki-laki tanpa memikirkan bahwa mungkin saja mereka memiliki niat jahat. dan itulah yang terjadi...

Siang itu teman akrab sekelasku (yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri) yang bernama Taufik mampir ke kostku. seperti biasanya, saat siang keadaan kostku sangatlah sepi. saat itu aku sedang tidak ada kuliah, jadi aku sendiri di kost. Taufik mengucapkan salam dan akupun membalasnya. Lalu kami ngobrol di ruang tamu yg letaknya tidak jauhdari kamarku (kamarku paling depan). Setelah duduk, Taufik menyerahkan bungkusan yang ternyata berisi juice alpukat, kesukaanku.

"tumben bawa ginian?" tanyaku. "ada acara apa nih?"
"nggak, cuman tadi abis ke warung juice sama Yogi dan faruk" jawabnya santai. Akupun membuka minuman itu dan meminumnya. Taufik lantas mengeluarkan buku pelajaran dan duduk di sampingku sambil memintaku mengajarinya.

Beberapa menit kemudian aku merasa agak gerah, langsung saja kuhabiskan es juice pemberian Mas taufik.
"panas ya?" kata mas Taufik, aku cuma mengangguk.
Rasa gerah itu lama-lama berubah menjadi sebuah perasaan yg aneh, tiba-tiba saja jantungku berpacu kencang.
"Da... kamu dah putus sama si Hildan ya?" tanya mas Taufik. aku hanya mengangguk pelan sambil berusaha memfokuskan pikiran. Tiba-tiba tangan mas taufik menyentuh pundakku dan menarikku ke pundaknya.

Entah apa yangaku pikirkan tapi badnku sangat lemas dan tidak bisa bergerak. belum habis heranku, tiba-tiba terasa gatal di sekitar kemaluanku, kemaluanku teras panas, dan aku dapat merasakan putingku mengeras.

"kenapa Da?" tanyanya lgi, belum aku menjawab, mas Taufik sudah mencium pipiku dan lalu semakin mendekat ke bibirku hingga akhirnya dia mencium bibirku. aku tidak bisa bergerak aku hanya memalingkan wajah begitu mas Taufik menghentikan cumbuannya.

Tanpa banyak kata tangan Mas Taufik turun ke payudaraku yg masih terbungkus pakaianku dan mulai meremasnya.
"jangan..." kataku lemas... vaginaku terasa semakin panas dan gatal,sedang putingku semakin mengeras. aku mencoba menggerakkan diriku tapi tidak mampu.

Mas Taufik meneruskan remasannya sambil tangan satunya mencopoti kancing depan baju terusanku. dalam hitungan menit, tangannya menyelusup ke dalam bajuku dan terus ke dalam Bra-ku, kini Mas Taufik menyentuh payudaraku langsung. Tanpa sadar aku mendesah lirih dan badanku terangkat saat Mas Taufik menyentuh dan mulai meremas payudaraku. Ciumannya di bibirku semakin ganas, dan aku terbawa, aku membalas ciumannya, melupakan ke akhwatanku selama ini.

jari jemarinya memilin-milin kecil putingku hingga aku benar-benar terangsang. Tiba-tiba dia menarik tangannya keluar dari bra-ku dan mulai masuk ke dalam rok panjangku dari arah bawah. Sekali lagi aku tak mampu melawannya, ciuman panas di bibirnya dan sentuhannya di kemaluanku (yang terbalut CD) membuatku semakin terbawa. Di bawah sana, aku sudah sangat basah. Ini memang bukan pertama kalinya tubuhku dijamah lelaki, kekasih pertamaku, Hildan, pernah memasukkan tiga jarinya saat main ke kost, malah dia melakukan saat ada teman-teman kost, untung saja teman kost tidak tahu.

Perlahan tapi pasti Mas Taufik menarik Celana Dalamku hingga benar-benar lepas, kini tangannya bermain-main di permukaan bibir vaginaku, sesekali menyentuh klitorisku, membuatku tanpa sadar mendesah.

"jangan disini" ujar Mas Taufik tiba-tiba. "nanti kelihatan orang, kita ke kamarmu saja" Dan tanpa basa-basi lagi Mas Taufik menuntunku (yang sudah sangat lemas dan terangsang) ke dalam kamarku.

Kamarku tidak memiliki daun pintu, hanya ditutup kain kelambu, itu kamar paling depan dan akses ke ruang tamu paling cepat, itu sebabnya aku memilih kamar itu, meski tidak ada pintunya. soalnya teman-temanku sering datang kemari.

Di kamar, Mas Taufik tidak menunggu lama, dia merebahkanku di ranjang dan mulai menggulung rok-ku ke atas, hingga dia dapat melihat dengan jelas vaginaku yg sudah basah. Bajuku di singkap dan Bra-ku dinaikkan sehingga payudaraku juga terlihat, dia mengecup dan memainkan lidahnya di payudaraku, menghisap-hisap putingku hingga aku lebih sering lagi mendesah. Beberapa menit melakukan itu, dia melepas celana panjangnya berikut CDnya. dan inilah pertama kalinya aku menyaksikan tongkol laki-laki. dia memegangkan tanganku ke kemaluannya dan memintaku mengocoknya. aku belum tau harus bagaiman jadi yang aku lakukan malah meremas-remasnya. Tak lama kemudian Mas Taufik membuka kedua kakiku dan menggesek-gesekkan kemaluanny ke vaginaku, aku merasa sangat nikmat, detik berikutnya dia mulai mencari lubang dan melakukan penetrasi.

Aku tersentak karena sakit yang luar biasa! tiba-tiba kesadaranku pulih! aku mendorong tubuh Mas Taufik yang menindihku, tapi dia malah menekankan tubuhnya.

"Sakit!!" ujarku sambil meringis menahan sakit, "jangan!! sakit!! sudah mas! jangan!" pintaku.

Tapi satu hentakan berikutnya terasa sangat menyakitkan, Mas Taufik terus menekan-nekankan tongkolnya hingga benar-benar amblas. Aku menangis meringis menahan sakit, tanpa banyak kata, Mas Taufik mulai menarik kembali tongkolnya dan membenamkannya lebih dalam lagi. aku kembali tersentak.
"Hmmmpphh" desahku menahan sakit. Mas Taufik melakukannya berulang-ulang sambil terus menahan tubuhku yang berontak, dia menggejotku semakin cepat dan cepat, tiba-tiba tirai pintu kamarku terbuka, dan aku dapat melihat Yogi dan Faruk masuk ke kamarku.

"bisa juga ternyata Aida dient*t" komentar Yogi sambil tersenyum melihat Taufik yang menggenjotku makin keras.
"hebat kamu fik, akhwat juga bisa kamu ent*t" tmbah Faruk.

Aku meronta tapi tak ada tenaga, Taufik mempercepat gerakannya, Yogi dan faruk duduk di kursi kecil di tepi ranjangku, menyaksikan Taufik yang semakin menggenjotku, tiba-tiba ada suara langkah dari ruang tamu, lantas terdengar suara wanita dewasa, Ibu Kost! pikirku setengah panik, aku berusaha menahan desahan dan eranganku sebisa mungkin. Mengetahui itu, Mas Taufik bukannya memperlambat malah mempercepat genjotannya.
lalu tiba-tiba mencabut penisnya dan mengeluarkan spermanya di atas perutku.

Aku berusaha bangkit tapi Yogi dan faruk (yang sudah telanjang) menekan tubuhku kembali berbaring.

"jangan.... jangan... yog.... sudah..." ucapku lemas.

Tubuhku sudah sangat lemas dan entah mengapa rasanya libidoku masih tinggi, tanpa perlawanan berarti yogi menancapkan penisnya ke vaginaku dan memompanya.

"habis kamu perawani" ucap Yogi sembari menggenjotku, "tapi masih sempit".

"jangan dibuang didalam" ujar Taufik (yang sudah kembali berpakaian) "siapa tau dia dalam kondisi subur" tambahnya sambil pergi keluar kamar.

Faruk yang dari tadi meremas-remas payudaraku mulai melepas bajuku diikuti rok.
"sekarang kita lihat rambutmu Da.." ujar Faruk sambil melucuti jilbabku. aku tak berdaya, yogi masih menggenjotku makin kencang, penisnya keluar masuk dengan cepat, tubuhku sampai sedikit terguncang. setelah melihat rambutku yang sebahu, Faruk menempelkan penisnya ke bibirku dan memaksaku mengoralnya. aku menolak, tapi dia menekan terus, hingga akhirnya penisnya bisa masuk, dia menggoyangkan penisnya searah, lalu memaksaku memakai lidah, terpaksa aku menurutinya.

Yogi mencabut penisnya dan memberi isyarat pada Faruk, segera Faruk melesakkan penisnya ke vaginaku, saat keperawananku direnggut, aku digilir tiga orang sekaligus!!.

Yogi mendekatkan penisnya ke mulutku dan menekannya masuk, begitu penisnya didalam, dia menekan kepalaku dan mengeluarkan spermanya di mulutku. aku meronta, tapi Yogi terus menahan, apalagi Faruk memutar-mutarkan penisnya, membuat aku tak bisa konsentrasi melawan, Yogi tidak segera mencabutnya, sehingga terpaksa aku menelan spermanya.

20 menit Faruk memakaiku, setelah akhirnya dia mengeluarkan spermanya juga di dalam mulutku. kejadian itu, direkam oleh Yogi lewat HPnya. setelah insiden itu, mereka mengancam akan mengedarkan rekaman itu, dan aku harus siap untuk dipakai mereka lagi. yang paling aku sesalkan adalah jumlah mereka terus bertambah dan berganti-ganti saat memakaiku, aku jadi budak seks mereka. aku tidak bisa melepas jilbab karena keluargaku adalh keluarga Islam yg terpandang. Ternyata bukan hanya aku korban mereka, satu sahabat baikku (bukan akhwat) Yungky (pacar Taufik sendiri) diperawani dan digarap oleh cowok satu kelas saat berlibur di Villa Malang dulu. (end)


Huda masih menyodok vaginaku dalam posisi Doggy Style, desahan-desahan kecil keluar dari mulutku yang sudah lemas ini. Tak lama Huda mempererat goyangannya dan mencengkeram pinggangku sambil memasukkan penisnya lebih dalam lagi.
“Engggh....” erangku pelan saat merasakan cairan sperma Huda yang hangat memenuhi liang senggamaku. Ini adalah pertama kalinya Huda menyetubuhiku. Dengan ini, berarti semua pria di kelasku sudah pernah menyetubuhiku, menikmati tubuh yang sehari-harinya kubungkus dengan jilbab dan pakaian layaknya akhwat yang lainnya.

Tubuhku tersungkur lemas di lantai kamar Yogi yang dilapisi karpet warna hijau, Huda mengambil tissue dan membersihkan ceceran sperma yang menetes di karpet. Malam ini aku terpaksa (lagi) menginap di rumah Yogi, orang tuanya sedang ke rumah neneknya, jadi dia hanya tinggal dengan adik laki-lakinya yang saat ini kelas 2 SMU. Tanpa sepengetahuan Yogi sendiri, adiknya sering menunggangiku kalau Yogi keluar, bahkan pernah mengajak teman-temannya menunggangiku bersamaan.

Kupaksakan kaki yang masih lemas untuk mengenakan kembali pakaian dan jilbabku, lalu keluar ke kamar mandi untuk mencuci tubuh, seusai mandi aku meminum pil anti hamil, seperti malam-malam sebelumnya. Sebelum aq terlelap dalam tidur, Yogi sempat mengingatkan tentang camping bersama yang akan diadakan 2 hari dari sekarang, bersama anak-anak kelas C. Hanya 2 gadis dari kelas B yang diajak yaitu aku dan Yungky (yang juga telah menjadi budak seks mereka), jadi aku tahu sekali kalau aku akan jadi bahan pertukaran antar kelas.

Heni

"Naik ojek di dktmu itu, minta dia antar ke warnet yg biasa. Qt ktm di sana. Jngn tkt, di sn bnyk org."
Heni membaca SMS itu di HPnya. Dia takut mengikuti perintah pengirim SMS itu. Tetapi dia takut kalau menolak. Sebab, si pengirim mengancam membongkar penyelewengannya.
Sebetulnya bukan penyelewengan besar. Sebagai sekretaris yayasan pendidikan, dia menjalin kerjasama antara sebuah bank untuk menampung pembayaran SPP siswa. Wajar kalau bank memberinya fee tiap bulan sekian persen dari SPP yang masuk lewat rekening bank itu. Tetapi, salahnya Heni, dia mengambil fee itu untuknya pribadi. Pihak Yayasan tidak diberitahunya.
Si pengirim SMS ini, entah darimana mendapatkan surat perjanjian kerjasama antara dia pribadi dengan pihak bank. Takut rahasianya kebongkar, Heni nurut saja waktu lelaki itu meminta sejumlah uang kepadanya. Uang itu akan diantarnya ke tempat mereka janji bertemu, di sebuah warnet.....
Cuma 15 menit perjalanan, tapi Heni menghabiskan waktu itu dengan menulis SMS di HPnya, memberitahu pemerasnya bahwa dia sudah di atas ojek. Serius betul dia dengan tombol-tombol keypad, sampai tidak menyadari Bang Amir, si tukang ojek, memberi kode kepada mobil APV di belakangnya.
Heni baru kaget ketika Bang Amir tiba-tiba menghentikan motornya karena APV tadi tiba-tiba nyalip dan berhenti dengan memepetnya. Heni cepat melompat turun. Apalagi ia melihat seorang lelaki beringas tiba-tiba turun dari APV dan langsung menghampirinya.
"Ayo Bu, ikut mobil. Di warnet terlalu banyak orang," katanya.
Karena terkejut, perempuan 30-an tahun itu hanya terdiam di tempat. Ia baru sadar ketika pergelangan tangannya disambar dan setengah diseret ke dalam mobil. Heni meronta, tetapi sia-sia.
Ibu muda itu didorong dengan kasar ke dalam mobil. Tubuhnya yang cenderung kurus terdorong keras ke arah seorang lelaki yang duduk di jok tengah. Heni menjerit sejadinya saat lelaki itu memeluknya. Heni berontak lalu beringsut ke dekat jendela. Bulu kuduknya berdiri mengetahui di dalam mobil itu sudah ada 4 lelaki. Dua duduk di jok depan, dua lagi di tengah bersama dirinya.
"Duitnya dibawa Bu ?" kata lelaki yang tadi memeluknya dan kini menepuk paha Heni.
Heni menepis tangan lelaki itu. Ia cepat membuka tasnya dan mengeluarkan amplop lalu menyerahkannya ke lelaki itu. Lelaki dengan kumis yang tampak tak terawat itu segera menghitung isinya.
"5 juta fren...... " katanya kepada kawan-kawannya.
"Sudah, sekarang turunkan saya !" kata perempuan berkulit hitam manis itu dengan ketus.
"Kayaknya 5 juta masih kurang ya teman-teman ?" lelaki itu tiba-tiba berkata.
"Maksud lo apa Dul ?" sahut si beringas yang tadi menyeret Heni ke mobil. Kening Heni sendiri berkernyit. Dia menunggu jawaban Dul.
"Maksudnya, kita bisa dapat lebih dari 5 juta dari nyonya cantik ini, Bon !" sahut Dul.
"Nggak.... 5 juta udah cukup. Nggak ada lagi !" sergah Heni.
"Bukan duit juga nggak apa-apa," timpal Dul sambil cengengesan. "Ini misalnya...." lanjut Dul.
"Eeeehhh.... apaan ini ??!!!" Heni memiawik. Matanya melotot, saat Dul dengan lihainya tahu-tahu mencomot payudara kirinya dari luar jilbabnya. Heni berkelit, tapi akibatnya payudaranya malah terasa seperti dibetot dan ngilu luar biasa. Dul juga tak melepaskan cengkeramannya pada payudaranya yang tak seberapa besar. Heni kini mulai merintih kesakitan....
"Aduh.... ampun.... sakit.... lepaskan... kalian mau apa ?... aaakhhh..." Heni merintih di tengah pekik marah bercampur takutnya.
Perempuan beranak tiga itu bergidik. Si Bon cuma menonton aksi Dul.
"Udahlah Dul, udah tua gitu. Paling memiawnya juga udah lebar. Toketnya juga udah kendor," kata-kata si sopir cukup melegakan Heni meski dia risih dengan istilah yang digunakannya.
"Kagak Jing, toketnya biar kecil tapi masih kenyel juga," sahut Dul sambil terus meremas-remas payudara Heni. Heni mulai menangis karena tak bisa melepaskan tangan Dul dari payudaranya. "memiawnya udah lebar apa nggak, kan bisa kita cek dulu.... Kalo udah lebar sih gua juga kagak doyan," lanjutnya.
Heni makin ketakutan mendengar kata-kata "cek". Ia tambah ketakutan ketika Bon berlutut di sisinya. "Bener lo Dul, kita cek dulu memiaw perempuan ini," katanya, sambil tangannya menangkap payudara kanan Heni.
Sia-sia Heni menjerit, meronta, menangkis..... Si Bon yang berbadan besar kini malah menelikung kedua tangannya ke belakang tubuhnya, lalu mengikatnya dengan tali rafia.
"Biar gampang ngeceknya Dul," kata Bon sambil merebahkan jok yang diduduki Heni. Kedua tangan kekarnya kini meremas-remas sepasang payudara Heni yang masih tertutup jilbab dan blousenya.
Sementara di depannya, Dul berlutut di antara dua kakinya. Heni menjerit dengan suara parau ketika lelaki itu memasukkan tangannya ke balik rok panjangnya. Dengan gerakan kilat, lelaki itu berhasil menarik lepas celana panjang Heni sekaligus celana dalam katunnya yang berwarna putih.
Wajah Heni yang sawo matang jadi pucat pasi. Ia hampir menangis melihat lelaki itu menggodanya dengan menciumi celana dalamnya.
"memiaw Mbak Heni harum.... pasti enak ngejilatinnya..." kata lelaki itu sambil menjilati bagian muka celana dalam Heni.
"Kamu mau cium bau memiawmu sendiri ?" lelaki itu lalu menyodorkan celana dalam Heni ke wajahnya. Heni melengos sambil mulai terisak. Namun tiba-tiba lelaki itu dengan kasar menyumpal mulut Heni dengan celana dalamnya.
Dengan kasar pula, ia menyingkap jilbab Heni, merobek bagian muka blusnya dan mengeluarkan payudara kanan Heni dari bra-nya.
"Mmmmffff....nnngghhhh.... mmmffff...." Heni menjerit di balik sumbat mulutnya.
Putingnya dijepit dua jari lelaki itu dengan kuat, ditarik dan diguncang-guncangkan. "Ayo mengerang, merintih.... nangis.... gue pengen denger perempuan kayak lo merintih-rintih...." bentaknya.
"Lo lihat Bon, tetek cewek ini masih lumayan seger kan ?" katanya. Bon manggut-manggut. Dua temannya di depan juga menoleh ke belakang.
Puting Heni terlihat gepeng ketika lelaki itu menariknya menjauh dan dengan tiba-tiba melepaskannya. Dari kedua mata Heni mengalir deras air mata.
"Gue mau lihat memiaw lo !" lelaki itu kemudian melucuti rok panjang Heni. Perempuan priangan itu terisak-isak. Dia begitu shock mendapat serangan tersebut.
Bagian bawah tubuhnya telanjang kini. Kontras dengan kepalanya yang terbungkus jilbab panjang.
"Mmmmff... mmffffff...." Heni mengerang lagi ketika kedua kakinya ditarik berlawanan oleh dua lelaki di sebelahnya. Otomatis, kini selangkangannya terbuka lebar, memperlihatkan vaginanya yang berbulu tipis.
Tanpa ba bi bu, lelaki di depannya langsung menusukkan telunjuk ke liang vagina Heni. Karuan saja Heni melotot. Tubuhnya mengejang. Telunjuk yang gemuk itu lumayan menyakiti vaginanya yang kering.
"Lihat fren.... memiawnya masih seger dan rapet kan ?" kata Dul. Semua melihat, bibir vagina Heni berkemut-kemut seperti menarik telunjuk Dul ke dalam.
Sakit dan terhina, itulah yang dirasakan perempuan dewasa ini. Telunjuk lelaki itu masih berputar-putr di dalam vaginanya. Bon kini malah betul-betul merenggut bra-nya sampai putus. Dia langsung asyik dengan kedua puting Heni.
Tubuh Heni bergetar merasakan kedua putingnya diserang Bon. Itu berakibat pada keluarnya secara alami cairan di vaginanya.....Telunjuk Dul di dalam vagina Heni mulai merasakan keluarnya cairan. Dijelajahinya terus setiap inchi bagian dalam vagina perempuan dewasa itu.
Heni memejamkan matanya. Nafasnya mulai memburu oleh rangsangan yang tak bisa ditolaknya. Sekali ia memiawik dan matanya melotot saat lelaki yang sedang mempermainkan vaginanya menyusul memasukkan jari tengahnya. Dengan dua jari, digaruknya bagian dalam dinding depan vaginanya. Sementara lelaki yang sedang menetek padanya merasakan putingnya makin mengeras.
Perlahan dua jari itu digerakkan maju mundur di dalam vagina Heni.
"Aku ingin membuatmu merasakan kenikmatan tiada duanya di dalam memiawmu ini..." katanya sambil mulai menambah laju gerakan tangannya.
Suara kocokan di vagina Heni mulai keluar. Heni menggigit bibirnya, berusaha menahan keluarnya rintihan, erangan atau desahan. Heni tahu, suara itu justru membuat pemerkosanya makin bergairah.
Tetapi, rangsangan di vagina dan kedua putingnya begitu kuat. Heni menyerah. Perlahan dari bibir tipisnya mulai keluar erangan. Mula-mula seperti erangan kesakitan, tetapi kemudian berubah menjadi rintihan perempuan binal yang tengah menuju puncak kenikmatan....
"Ahh...ah...ah... ounghhh... ahhh.... nnnggg,,,, mmmfff..." erangan Heni makin membuat lelaki yang mengaduk-aduk vaginanya makin bernafsu. Apalagi kini dua jarinya sudah betul-betul basah oleh cairan dari vagina ibu muda itu.
Pada satu titik, lelaki itu mendorong jauh-jauh kedua jarinya ke vagina Heni lalu mendiamkannya. Yang terlihat kemudian sungguh luar biasa. Perempuan berjilbab itu justru menggoyang-goyangkan pinggulnya sendiri, seperti tengah mengejar puncak kenikmatannya.
"Ayo terus Mbak.... goyang terus....terus...." goda lelaki itu.
Heni tampaknya tak peduli. Ia pejamkan mata, gigit bibir dan akhirnya memiawik seperti histeris ketika mencapai orgasmenya. Seluruh tubuhnya mengejang.
Tetapi, ia tak bisa sepenuhnya menikmati orgasmenya. Sebab, saat ia memiawik puas, lelaki di depannya dengan kasar mencabuti helai demi helai rambut kemaluannya....
Wajahnya kini merah padam. Di depannya, lelaki yang mengaduk-aduk vaginanya menggoda dengan menjilati kedua jarinya yang berlendir.
"Dasar perek.... diperkosa kok bisa orgasme !" kata lelaki itu.
Nafas Heni masih tersengal-sengal saat lelaki itu tahu-tahu menyurukkan wajah ke vaginanya. Lalu dengan buas menjilati dan menguyah vagina Heni.... Heni terpeki-pekik merasakan liang vaginanya dilebarkan lalu lidah lelaki itu menjulur jauh ke dalam.
"Sebentar lagi yang masuk ke sini adalah tongkol-tongkol," kata lelaki itu dengan kumis dan jenggot yang belepotan lendir vagina Heni. Heni menengok keluar jendela. Mobil sudah berhenti di dalam sebuah ruangan bercahaya remang-remang. Pintu samping mobil terbuka. Heni tahu, bencana besar bakal menimpa kehormatannya.....
Jing, si sopir, melotot memandangi pangkal paha Heni yang terkangkang. Vagina perempuan itu tampak mengkilap oleh liur Dul maupun cairan vaginanya sendiri. Heni mencoba mengatupkan pahanya ketika tangan Jing terulur, tapi Dul dan Bon menahannya.
"Eungghhhhh...." erangan terdengar lagi dari bibirnya yang tersumpal celana dalamnya sendiri. Jing tanpa basa basi menusukkan dua jarinya ke lubang vagina Heni.
Heni melengos ketika melihat Jing mengeluarkan telunjuk dari liang vaginanya lalu mengoleskan telunjuknya yang berlendir itu ke kedua putingnya.
"Lumayan.... ayo bawa masuk. Bener kata Dul. kita bisa dapat lebih dari 5 juta," katanya.
Heni memaki-maki ketika diseret keluar mobil. Berjuta perasaan mengganggu benaknya. Malu, takut dan marah bercampur jadi satu. Dengan tangan terikat, tubuh telanjang dan jilbab di kepala, Heni yakin empat lelaki ini akan membuatnya lebih terhina lagi. Tetapi, Heni tidak betul-betul tahu apa yang akan terjadi di balik pintu itu.....

Ruangan pertama yang dimasuki adalah lorong gelap yang lumayan panjang. Heni melihat di ujung lorong ada ruangan dengan cahaya yang amat terang. Lorong ini cukup sempit. Cuma cukup untuk dua orang berjalan beriringan. Perempuan berkulit hitam manis ini terpaksa berkelit berkali-kali karena tangan-tangan jahil 4 lelaki yang membawanya ini selalu saja menjamah bagian-bagian pribadinya.
Malah ada yang menjambak rambut kemaluannya, seperti penggembala menarik tali pengikat hewan ternaknya. Mau tak mau Heni mengikuti kemana lelaki itu berjalan. Kulit vaginanya jelas terasa pedih sekali....
Sulit bagi Heni untuk menghindar dengan tangan terikat begini. Dia menggigit bibirnya ketika dari belakang tangan Jing meremas payudara kirinya dan memilin-milin putingnya.
"Aaarrhh.... sakit tau !" Heni menoleh ke belakang sambil memaki lantaran pilinan pada putingnya menyakitinya.
Ruangan bercahaya terang itu ternyata sebuah ruangan berbentuk lingkaran dengan karpet tebal berwarna kuning. Lampu di ruangan itu memang terang sekali. Tentu saja itu membuat Heni jadi jengah. Empat lelaki di ruangan itu jadi leluasa memandangi sekujur tubuh telanjangnya. Heni mencoba merapatkan kedua pahanya dan berpaling ke arah lain. Namun, keempat lelaki itu kini berdiri mengelilinginya. Baru saat itulah Heni sadar, ternyata lelaki yang duduk di sebelah sopir yang sejak tadi diam adalah Prapto, petugas bank yang menjalin kerjasama dengannya.
"Pak Prapto...." kata Heni dengan lidah tercekat.Dia teringat lelaki setengah baya yang selalu menggodanya saat proses kerjasama itu. Setengah mati dia berusaha tetap profesional meski Prapto terus berusaha mengajaknya sedikit bersenang-senang.
"Iya Mbak, saya nggak bermaksud begini lho. Saya cuma pingin 5 juta itu aja," katanya.
"Kalo gitu.... lepasin saya pak, tolong..." kata Heni memelas. Dia jengah dengan pandangan Prapto ke dada dan selangkangannya.
"Tadinya begitu Mbak. Tapi setelah melihat memiaw Mbak..... saya pikir saya harus nyobain dulu," sahut Prapto sambil menangkupkan telapak tangannya ke selangkangan Heni. Karuan saja Heni berusaha menghindar. Tapi dengan tangan terikat dan dikelilingi 4 lelaki, apa yang bisa dia perbuat selain memaki-maki.
Prapto sambil tersenyum-senyum terus meremas-remas vagina perempuan matang itu. Belakangan, jari tengahnya malah mulai menyusup ke liang vagina Heni yang lembab.
"Aaakhh... lepasin pakkk !!! Kurangajarrrr....." perempuan itu menjerit histeris saat bibir Prapto menangkap sebelah putingnya, lalu mengenyotnya seperti bayi yang kehausan......
Heni menarik nafas lega waktu Prapto melepaskan putingnya. Namun ia melengos saat Prapto menunjukkan jari tengahnya yang berlendir dan menjilatinya di depan perempuan malang itu.
"memiaw Mbak gurih. Kita pingin main-main sebentar mbak. Mbak nikmatin aja ya...." kata lelaki itu sambil melepas ikatan tangan Heni.
Begitu ikatan di tangannya terlepas, Heni dengan segera mengulurkan jilbabnya ke depan dadanya. Lumayan untuk mengurangi rasa malunya. Namun, jilbab itu tak cukup panjang untuk menutupi pangkal pahanya. Perempuan itupun menyilangkan kakinya dan menutupi pangkal pahanya dengan kedua tangannya. Tapi dari belakang, pantatnya yang bulat dan padat masih jadi pemandangan yang indah. Si Jing bahkan tak bisa menahan diri untuk meremas pantatnya. Heni memiawik.
Tak disangka, Prapto melemparkan cd dan bra kepadanya. Cepat-cepat Heni mengenakan kembali pakaian dalamnya itu. Apalagi Dul terlihat menggunakan kamera HP untuk merekamnya. Perasaan Heni agak lega, setidaknya kini payudara dan vaginanya tidak lagi telanjang. Tapi ia tetap belum merasa nyaman. Penampilannya dengan jilbab dan hanya cd dan bra pasti sangat menarik lelaki manapun.
"Keren banget Mbak... Gw sampe ngaceng nih," kata si Dul. Heni melengos melihat Dul mengeluarkan penisnya yang mengacung dari balik celananya.
Heni lebih lega lagi ketika akhirnya Prapto melemparkan rok panjang dan blusnya kepadanya. Di bawah tatapan mata keempat lelaki itu, Heni cepat-cepat mengenakan kembali bajunya. Dia tampak anggun dengan penampilan seperti itu.
"Urusan kita sudah selesai kan ?" kata Heni berusaha tegar.
Prapto dan teman-temannya mesam-mesem.
"Belum Mbak...." sahut Prapto.
"Belum ? Maksudnya apa ? Saya sudah kasih 5 juta. Kalian juga sudah melecehkan saya. Kurang apa lagi ?" katanya dengan wajah memerah karena marah.
"Kami kan belum ngerasain memiaw Mbak yang cantik...." sahut Prapto. Kalimat itu bagai petir di telinga Heni sampai-sampai ia tak bisa berkomentar. "Ayo, dibuka lagi bajunya. Jilbabnya nggak usah. Kamu lebih nafsuin kalo pake jilbab," lanjut Prapto.
Heni terdiam. Tangannya reflek menyilang di depan dadanya. Si Dul masih terus merekam.
"Cepet buka Mbak. Roknya dulu. Ayo cepet.... kalo nggak, kita keroyok baju lo malah sobek-sobek loh !" lanjut Prapto.
"CEPAAAAT !!!!" Tiba-tiba Prapto membentak. Heni sampai terkejut setengah mati. Dengan ketakutan dia mulai melepaskan lagi rok panjangnya.....
Dul berdiri mendekatinya dan merekam dari segala sudut saat Heni melepaskan lagi blus, lalu cd dan branya. Air mata menitik dari kedua sudut bola matanya. Tertekan, Heni membiarkan tangan Dul menyentuh vaginanya, menusukkan telunjuknya ke dalam liangnya yang lembab. Dibiarkannya pula Dul menarik-narik sebelah putingnya.
Heni melihat 4 lelaki di depannya sudah melepas celana mereka. Keempat lelaki itu asyik mengurut-urut penis mereka yang mulai menegang.
"Sini Mbak, merangkak ke sini," kata Prapto.
Heni menggeleng-geleng. "Nggak...please, jangan lakukan ini Pak Prapto. Kita bisa deal soal uang," kata perempuan itu.
"Sama aja Mbak. Kalau Mbak nggak ke sini merangkak, kami yang akan ke situ dan memaksa Mbak nungging. Pilih mana ? Ke sini aja deh.... tolong isepin tongkolku," lanjut Prapto.
"Nggak.... nggak mau..." Heni menggeleng-geleng. Telapak tangannya berusaha menutupi vaginanya.
"Kalo gitu kita terpaksa perkosa kamu dengan kasar !" sahut Prapto sambil berdiri diikuti teman-temannya.
Heni panik. Tetapi ia tidak bisa lari kemana-mana. Akhirnya, perempuan dewasa ini pun tersudut ke dinding. Jing dan Dul menangkap kedua pergelangan tangannya dan menariknya ke arah berlawanan. Prapto langsung meremas vaginanya yang kini terbuka. Heni memaki-maki dan berusaha menendang. Tapi Prapto meremas vaginanya makin kuat. Akhirnya jerit kemarahan Heni mulai berubah jadi jerit kesakitan. Apalagi si Bon menjepit kedua putingnya dengan telunjuk dan ibu jari. Bon menarik kedua puting Heni ke arah bawah sehingga terpaksa perempuan itu menundukkan badannya.
"Ayo nungging !" katanya sambil terus menarik kedua putingnya. Air mata Heni mengalir deras.
Prapto sudah menempatkan diri di belakang Heni. Ditendangnya belakang lutut perempuan itu hingga Heni terpaksa berlutut. Ditambah tarikan di kedua putingnya, jadilah kini posisinya nungging. Bulatan bokongnya jadi pemandangan indah bagi Prapto.
"Aaarrrhhhh....." Heni menjerit saat Prapto tanpa basa-basi langsung menusukkan dua jari ke liang vaginanya.
"Kalau kamu nurut, kami bisa kasih kamu kenikmatan. Tapi kamu kayaknya emang seneng diperkosa," katanya sambil memutar-mutar jarinya di dalam liang vagina perempuan itu.
Prapto kemudian menempatkan diri di belakang Heni. Direnggangkannya sedikit kedua pahanya. Heni bergidik, dia tahu musibah besar kini menimpanya. Pintu liang vaginanya terasa sudah ditekan sesuatu yang keras dan panas.
"Rasakan nih tongkol Prapto !" Prapto tiba-tiba mendorong penisnya ke depan dengan kasar. Heni sampai menjerit melengking, kepalanya menengadah, matanya terpejam menahan sakit. Vaginanya terasa seperti koyak.
Prapto mencengkeram pinggul Heni dan meneruskan sodokannya yang mantap tapi kasar itu. Setiap gesekan penis Prapto di dinding vaginanya terasa bagai sayatan silet bagi Heni. Pekik dan rintihan tangis Heni bagai musik indah di telinga para pemerkosa itu.
Kedua tangan Heni yang sudah tidak dipegangi lagi menggapai-gapai ke belakang, mencoba mendorong Prapto menjauh. Tapi sia-sia. Kini kepalanya malah dipegangi dengan dua tangan oleh Jing. Wajah panik Heni kini menghadap tepat ke depan penis Jing yang mengacung. Bahkan, hidung mancung dan bibir indahnya kini seperti tertampar-tampar oleh ujung penis lelaki itu.
"Ayo mbak, isep tongkol gue. Makin cepet lo nurut, makin cepet lo pulang," katanya. Heni mencoba membantah, tapi dagunya dicengkeram sampai akhirnya ia terpaksa membuka mulutnya. Heni memejamkan matanya saat penis Jing menerobos bibirnya. Ini untuk pertama kalinya dia mengulum penis dalam hidup.
Sakit dan kelelahan melawan dengan sia-sia, Heni akhirnya mulai pasrah. Ia cuma berharap Prapto dan Jing segera selesai. Tapi masih ada dua lelaki lain yang saat ini sedang asyik bermain-main dengan payudaranya yang menggantung berayun-ayun.
Kulit Heni sawo matang, tapi kulit pantatnya jadi tampak memerah karena dicengkeram Prapto selama pemerkosaan itu. Sepasang payudaranya yang masih lumayan kenyal juga memerah. Ada bekas cupangan di dekat kedua putingnya.
Suara kocokan penis Prapto dengan vagina Heni dipadu suara beradunya pangkal paha Prapto dengan bokong bundar Heni betul-betul menggairahkan. Apalagi ditambah dengan rintihan dan gumaman dari bibir Heni yang terbungkam penis Jing.
Tiba-tiba suara tadi meningkat intensitasnya. Tampaknya Prapto bakal segera sampai ke puncak. Dia menggeram dan mulai ngoceh tak karuan.
"Cewek sialan.... rasain nih.... gue buntingin lo.... rasain nih.... gue sobek-sobek memiaw loooooo.... grrrhhhh..." Prapto seperti orang kesetanan. Pada saat bersamaan, Heni mengerang panjang dan memilukan.
Prapto menarik pinggul Heni merapat ke dirinya. Seolah dia ingin memasukkan seluruh tubuhnya ke liang vagina perempuan dewasa itu. Heni merasakan vaginanya yang pedih disirami cairan panas. Tetapi, dia masih belum bisa bernafas lega. Jing tampaknya juga bakal mengakhiri perkosaan atas mulutnya.... Betul saja, lelaki satu ini terdengar menggeram. Kepala Heni yang berjilbab dipeganginya erat-erat dengan kedua tangannya. Tampaknya ia berusaha memasukkan penisnya sejauh mungkin ke kerongkongan perempuan hitam manis itu.
Heni berusaha untuk tidak menelan cairan kental berbau khas itu. Tapi mustahil baginya. Dia kesulitan bernafas karena Jing tak juga menarik keluar penisnya yang terasa mulai mengecil. Dan akhirnya Heni terpaksa membiarkan sperma Jing melewati kerongkongannya. Setidaknya itu tidak bakal membuatnya hamil, tidak seperti yang ditumpahkan Prapto ke dalam rahimnya.
Prapto lebih dulu menarik keluar penisnya dari vagina Heni. Penisnya yang sudah loyo terlihat berlepotan sperma. Dari celah vagina Heni yang perlahan mengatup kembali tampak cairan putih kental yang meluber keluar, mengalir ke salah satu sisi pahanya.
PLAKKKKK..... Prapto mengakhiri perkosaannya dengan tamparan keras ke salah satu bulatan pantat Heni.
"Lumayan untuk ukuran perempuan tigapuluhan tahun...." katanya.
Tak lama kemudian Jing juga menarik keluar penisnya dari mulut Heni. Didorongnya jidat perempuan berjilbab itu hingga Heni tersungkur. Heni terbatuk-batuk sebentar, beringsut ke sudut ruangan, menekuk tubuhnya dan terisak-isak. Dia ingin segera pulang. Tapi Bon dan Dul kini melangkah mendekatinya. Tubuh Heni menggigil, tak sanggup membayangkan dirinya harus melayani dua lelaki kasar lagi......

Heni terisak-isak. Dua lelaki itu kini berlutut di sisinya. Ia terlalu lelah dan sakit untuk melawan. Dibiarkannya Dul dari belakang menyentuh bibir vaginanya. Membelek-beleknya, mencoba mengeluarkan sperma Prapto dari dalamnya. Sementara Dul mencolek setitik sperma di sudut bibir Heni dengan ujung telunjuknya.
"Masih kuat kan mbak ?" kata Dul sambil mengoleskan ujung telunjuknya itu ke puting kanan Heni.
Heni menggigit bibirnya. Di wajahnya jelas terpancar lebih banyak ketakutan dibanding kemarahan. Heni mencoba menepis telunjuk dan ibu jari Dul yang kini memilin puting yang barusan diolesi sperma itu. Tetapi Dul malah memperkeras jepitannya pada daging mungil berwarna gelap itu.
Tiba-tiba Heni menjerit kecil. Penyebabnya, Bon mengangkat sebelah tungkainya. Akibatnya, kini area vaginanya terbuka luas. Terlihat jelas vaginanya yang memerah. Rambut kemaluannya tak terlalu lebat. Bibir vaginanya masih terlihat mengkilap karena lelehan sperma Prapto.
Heni tak bisa mengatupkan kakinya, sebab Bon meletakkan kaki perempuan itu di pundaknya. Ini posisi yang amat memalukan buat perempuan baik-baik seperti Heni. Heni terbayang wajah 3 anak perempuannya, berharap mereka tak mendapat perlakuan hina seperti dirinya.
"Tolong... jangan lagi... saya akan penuhi permintaan kalian....ughhh.... tapi...ihhh... tolong...lepasin saya....eungghhhh...." Heni mencoba merayu. Tapi Bon malah asyik mencomot sebelah labia mayora Heni dan menarik-nariknya seperti guru menjewer telinga murid.
Heni merasa amat risih ketika Bon memasukkan dua jempolnya ke liang vaginanya. Lalu, kedua jempol itu ditarik ke arah berlawanan hingga liang vaginanya membuka lebar. Terlihat bagian dalamnya yang basah dan penuh cairan putih kental. Bon terus lakukan itu tanpa peduli geliatan dan erangan Miriaini. Malah, terakhir dia mulai mengaduk-aduk vagina Heni dengan dua jarinya.
"Kita bisa lepasin Mbak, tapi janji nurut dulu ya...." katanya.
"Eunghhh... iya...iya....uhhhh...." Heni cepat-cepat mengangguk. Risih betul dia, sebab Bon dengan telunjuk dan ibu jarinya berusaha memilin-milin klitorisnya.
Bon menarik keluar dua jarinya yang berlumur sperma Prapto, lalu menyodorkannya ke depan wajah Heni.
"Jilatin ini dulu sampai bersih. Habis ini Mbak kita lepasin, nggak kita ent*t lagi," katanya.
Heni mengernyitkan keningnya. Giginya yang rapi menggigit bibirnya yang seksi. Dua jari Bon menyentuh bibirnya.
"Ayo mbak... dijilatin..." katanya.
Heni memejamkan matanya yang indah. Perlahan bibirnya membuka, lalu perlahan lidahnya menjulur keluar. Lidah Heni akhirnya menjilati kedua jari Bon dari pangkal sampai ke ujung, berulang-ulang. Bon bahkan bisa meyakinkan Heni untuk mengulum kedua jarinya itu. Jing yang tadi menikmati dioral Heni mendekat dan merekam adegan langka itu dengan handycam. Heni tak sadar aksinya itu tengah direkam. Keinginan segera pulang membuatnya juga tak peduli dengan Dul yang asyik sendiri menyedot-nyedot putingnya, kanan dan kiri berganti-ganti...
"Bagus Mbak.... jilatan Mbak enak banget. Gimana, rasa sperma enak nggak ?" goda Bon.
"Nggak..." sahut Heni.
"Kalau gitu, kita coba sekali lagi. Coba dinikmati ya Mbak," kata Bon dan tanpa izin langsung menusukkan lagi telunjuk dan jari tengahnya ke vagina Heni, berputar-putar seperti menggaruk dinding dalam vaginanya, berusaha mengeluarkan seluruh sperma yang tadi ditumpahkan Prapto.
Dua jari Bon terlihat kembali berlumur sperma. Disodorkannya ke depan wajah Heni.
"Cobain lagi Mbak... Yang ini pasti enak," katanya.
Heni mau menolak. Tapi keinginan cepat pulang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Diulanginya lagi adegan menjilat dua jari berlumur sperma itu. Dikulumnya juga dua jari Bon sampai betul-betul bersih dari sperma Prapto.
Bon menarik keluar dua jarinya yang sudah bersih. Heni memandangnya dengan wajah sebal.
"Gimana Mbak ? Enak kan ?" godanya.
Khawatir disuruh menjilati jari berlumur sperma lagi, Heni dengan cepat menjawab, "Enak..."
Keempat lelaki di ruangan itu tertawa mendengar jawabannya.
"Bener enak ?" kata Bon sambil memainkan puting kanan Heni.
"Iya..." sahut Heni. Wajahnya yang hitam manis terlihat kemerahan menahan malu.
"Enak mana sama sperma yang kamu minum langsung dari kont*l gue ?" tanya Jing.
Heni menoleh dan kaget melihat Jing tengah merekamnya dengan handycam. Dia cepat melengos.
"Iya Mbak... enak mana ?" Bon menanyakan lagi dengan tekanan suara yang berbeda diiringi pilinan yang diperkuat di puting Heni.
"Aduh...eh... ihh... enak yang... di jari..." katanya. Wajahnya makin memerah.
Prapto, Dul dan Bon tertawa terbahak-bahak. Jing mencak-mencak.
"Sialan lo.... bilang gak enak tapi lo telen sampe abis juga," katanya. "Ntar cobain kont*l gue di mem*k lo," lanjutnya.
Tahu-tahu, Dul berdiri dan mengangkangi wajah Heni. Penisnya yang mengacung menyodok-nyodok wajah manis Heni.
"Ayo mbak... cobain punya gue. Pasti lebih enak dari maninya si Jing," katanya.
Heni menggeleng-geleng dan mulai terisak-isak lagi.
"Ayo deh Mbak.... biar Mbak cepet pulang," rayu Bon, lagi-lagi sambil menekannya dengan pilinan di puting Heni. Dipilin seperti itu, Heni merasa putingnya seperti ditusuk-tusuk jarum, pedih.... Itu membuatnya makin tak mampu berpikir jernih. Dibukanya bibirnya sedikit. Dul memanfaatkannya dengan baik. Penisnya dengan cepat memenuhi rongga mulut aktivis sebuah partai itu.
Dul sibuk memperkosa mulut perempuan alim berjilbab itu. Bon masih menduduki sebelah paha telanjang Heni. Sebelah kaki yang lain tersangga di pundak Dul. Penis Bon pun sudah mengacung, menuding vagina Heni yang mengkilap dengan sisa-sisa sperma. Apalagi yang mungkin terjadi dalam situasi seperti itu ?
Betul ! Bon pun merapatkan pangkal pahanya ke pangkal paha Heni. Menekan pintu liang vagina Heni dengan kepala penisnya yang seperti helm tentara. Plop... kepala serdadu itu sudah terjepit di antara labia minora perempuan muda cantik. Heni yang tengah sibuk berupaya membuat Dul orgasme terkejut menyadari vaginanya bakal dipenetrasi.
"Emmh...emmmhhh....Eummmmfff.... " Heni berusaha berontak, meronta, melawan. Tapi semua sia-sia.
Penis Bon dengan perkasa telah menerobos jauh ke dalam vagina Heni, merasakan remasan dari bagian dalamnya yang lembut. Bon bahkan merasakan kepala penisnya menekan dinding kenyal di ujung terdalam vagina perempuan itu. Dul tak kalah semangatnya dari Bon. Dia ingin Heni bisa membedakan rasa spermanya lebih nikmat dibanding sperma Jing....
Mengerang, merintih dan memaki di dalam hati. Cuma itu yang bisa dilakukan Heni. Sampai akhirnya rongga mulutnya dipenuhi cairan pekat. Pandangannya berkunang-kunang ketika Dul memaksanya menelan spermanya. Susah payah, akhirnya Heni bisa menelan sperma Dul. Hanya berselang beberapa menit, Heni merasakan Bon dengan kasar mengaduk-aduk vaginanya dan terakhir mendorong tubuhnya sampai pangkal paha keduanya menempel erat. Heni kembali merasakan cairan hangat memenuhi vaginanya. Sebelum akhirnya tubuhnya lunglai dan ia kehilangan kesadaran.
Keempat lelaki itu membiarkan Heni tergolek di lantai berkarpet hijau itu setengah jam lebih. Kepalanya

masih berjilbab. Payudaranya yang tak seberapa besar terbuka bebas. Ada bekas lovebites di dekat kedua putingnya yang hitam mengacung. Lovebites juga terlihat di dekat pangkal pahanya. Sepasang pahanya mengangkang lebar. Sperma Bon masih meluber di sela-sela bibir vaginanya yang kemerahan.
"Terus Mas Prapto... kita apain cewek ini ?" tanya Jing sambil mengelus-elus rambut kemaluan Heni yang tak seberapa lebat. "Gue blom ngerasain mem*k cewek ini," lanjutnya.
"Gue juga belon," timpal Dul. "And... jangan lupa bro, pantat cewek ini masih perawan," lanjut si Dul sambil mengolesi anus Heni dengan sperma yang meleleh dari celah vaginanya.
Dul tak berhenti di situ. Dimasukkannya telunjuknya ke vagina Heni. Lalu, ditariknya telunjuknya keluar. Terlihat telunjuknya betul-betul belepotan sperma. Tanpa banyak bicara, ditusukkannya telunjuknya itu ke anus Heni. Perlahan tapi pasti telunjuk Dul terbenam ke dalam anus Heni yang masih tak sadarkan diri. Terlihat Heni sedikit menggeliat. Rupanya dalam keadaan tidak sadar, tubuhnya tetap merasakan sakit di anusnya.
"Ya udah, kalo lo masih mau ngent*t cewek ini, cepet aja. Sebelum malam dia harus sudah kita pulangin," sahut Prapto.
"Bangunin dia Jing," kata Dul kepada temannya. Dia masih asyik dengan vagina dan anus sekretaris berjilbab ini. Jari tengahnya mengaduk-aduk vagina, sementara jari telunjuknya menusuk lubang di sebelahnya.
Jing yang gemas melihat wajah innocense Heni menyeringai. Lalu dengan wajah sadis disentilnya puting kanan Heni dengan keras. Akibatnya, luar biasa. Tubuh Heni terlonjak. Mula-mula dari bibirnya terdengar rintihan pelan, lalu tiba-tiba Heni seperti orang histeris, menjerit-jerit sambil mengusap-usap putingnya. Seperti baru tersadar, ia juga menjerit melihat anusnya tengah diobok-obok Dul....
Dul dan Jing tak berlama-lama membiarkan ibu muda berjilbab itu menjerit-jerit. Dul segera memposisikan perempuan itu dalam keadaan menungging. Sementara Jing dari depan mengangkat dagu Heni lalu bibirnya langsung melumat bibir seksi perempuan itu. Jeritan Heni terbungkam menjadi gumaman yang tak jelas. Kalau tak dicium Jing, pasti jerit Heni makin menjadi saat Dul menancapkan penisnya yang kembali tegak ke vaginanya.
Dul tipe lelaki kasar. Segera saja terdengar suara plak-plok kocokan penisnya di vagina Heni yang becek oleh sperma Prapto dan Bon. Heni merasakan vaginanya betul-betul pedih. Rasa sakit akibat perkosaan dua lelaki sebelumnya belum hilang, kini Dul memperkosanya dengan kasar pula. Apalagi dia kesulitan bernafas karena bibirnya dipagut dengan penuh nafsu oleh Jing.
Tiba-tiba Heni merasa sedikit lega. Penyebabnya, Dul menarik keluar penisnya. Tetapi itu cuma kelegaan sejenak saja. Heni kini menghadapi kengerian baru yang belum pernah dialaminya.
"Gue mau perawanin pantat lo," kata Dul sambil mengarahkan ujung penisnya yang tampak berlumur sperma.
Heni mengerang-erang dan meronta-ronta ketika merasakan sesuatu yang keras mulai menusuk lubang belakangnya. Rasanya panas dan pedih saat kepala penis Dul berhasil menembus benteng pertahanannya. Bundaran bokongnya juga terasa pedih karena Dul mencengkeram dengan jarinya yang berkuku panjang.
"Aaarrgghhh.... ouhhhhh.... jangaannnn..... sakiiit.... !" Heni berteriak sejadinya ketika akhirnya berhasil melepas kuluman bibir Jing setelah ia mencakar pipi lelaki itu.
Jing yang kesakitan dengan marah menampar pipi Heni. Akibatnya, sudut bibir perempuan itu berdarah.
"Jangan pernah berbuat seperti itu lagi padaku.... ngerti ?!" bentak Jing sambil mencubit kedua puting Heni.
"Aaaakhhhh... iya... iyaaahh..." Heni menjerit karena Jing menarik kedua putingnya.
Air mata mengalir ke kedua pipi perempuan dewasa ini. Sakit di kedua putingnya tak seberapa dibanding pedih yang dirasakan di anusnya. Heni masih merangkak seperti anjing. Jing dan Bon meremas-remas kedua payudaranya yang menggantung. Dia melihat Prapto yang tengah merekam dirinya dengan wajah penuh kebencian. Prapto hanya tersenyum sinis.
Berkali-kali Heni mem*kik kesakitan saat Dul mencoba memasukkan penisnya lebih dalam ke anusnya.
"Santai aja Mbak. Jangan ngeden.... Kalo ngeden, pantat Mbak malah sakit. Santai aja biar kont*l saya bisa masuk lebih gampang. Kalo santai, Mbak malah bisa ngerasain enak nanti," kata Dul.
Bagaimanapun, Heni ingin segera lepas dari situasi yang mengerikan ini. Ia pun menuruti kata-kata Dul.
"Nah, gitu dong....hih... !" Dul mendengus saat merasakan cengkeraman otot anus Heni mengendor. Saat itu juga Dul mendorong penisnya masuk lebih dalam. Heni mem*kik lagi. Dia merasa perutnya seolah penuh, tetapi perih yang sebelumnya sangat mengganggu mulai berkurang. Karena itu, ia mulai mencoba merelakskan dirinya.
Sikap Heni itu memudahkan Dul. Lelaki kasar itu kini bisa mendorong penisnya ke dalam anus Heni sampai pangkalnya. Lalu, perlahan dia menarik mundur sampai hampir keluar, lalu didorong lagi maju dengan kekuatan penuh. Terus diulang dengan gerakan yang makin lama makin cepat. Heni mengerang-erang sepanjang perkosaan anal itu.
Tiba-tiba, Dul menarik tubuh Heni ke arah dirinya yang merebahkan diri. Akibatnya kini perempuan berjilbab lebar itu rebah terlentang di atas tubuh Dul. Penis Dul masih tertancap kuat di dalam anusnya.
"Nah, ini baru mantap...." komentar Prapto yang langsung merekam adegan itu dari arah depan. Jing dan Bon membantu merenggangkan kedua paha Heni hingga terlihat jelas anus perempuan itu mencengkeram penis Dul. Vaginanya yang memerah juga masih terlihat mengeluarkan sperma bekas perkosaan sebelumnya.
"Jing, lo ent*t cewek ini sekarang," kata Dul yang kini memeluk tubuh Heni dengan mencengkeram kedua payudaranya.
Heni bergidik membayangkan dua lubang bersebelahan di bagian bawah tubuhnya itu akan dimasuki dua penis.
"Jangan... please... jangan.... saya bisa mati...." rintihnya memelas.
"Nggak apa-apa mbak. Matinya mati enak.... ha ha ha..." timpal Prapto disambut gelak teman-temannya.
Jing ternyata sudah bersiap-siap di depan selangkangan perempuan alim itu.
"Masih kelewat basah sperma nih," katanya sambil menusukkan dua jari ke vagina Heni, mengorek-ngorek untuk mengeluarkan sperma dari dalamnya. Saat ditarik keluar, di dua jari Jing terlihat segumpal sperma yang kental dan putih kekuningan. Dicengkeramnya dagu Heni dan dipaksanya perempuan itu mengulum kedua jarinya itu. Heni lagi-lagi cuma bisa terisak-isak. Dengan tegang ia menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Penis di dalam anusnya saja sudah terasa sangat menyakitkan. Akhirnya yang ditakutkannya terjadi. Terasa pintu liang vaginanya mulai terdesak sesuatu yang besar dan keras.
"Rasain nih.... perempuan seperti mbak memang bagusnya dinikmati sama-sama.... hihhhhh !!!" kata Jing sambil dengan kekuatan penuh menusukkan torpedonya ke liang vagina Heni.
Heni mengerang panjang. Tubuhnya terasa terbelah di bagian bawah. Pandangannya berkunang-kunang. Ia berharap untuk pingsan saja agar tak merasakan derita ini. Tetapi, ternyata ia tetap tersadar....
Perasaan sakit yang aneh. Di dalam tubuhnya terasa ada dua benda besar yang bergerak maju mundur bersamaan. Ia terpaksa berulangkali mengejan seperti hendak mengeluarkan benda-benda itu. Tetapi akibatnya justru menyenangkan bagi kedua pemerkosanya. Jing dan Dul seperti merasakan remasan kuat di penis mereka.
Prapto tak menyangka bakal dapat obyek syutingan sedramatis ini. Dia kini mengclose up keluar masuknya dua batang penis di dua lubang yang bersebelahan. Dia juga mengclose up wajah Heni yang tampak menderita. Memejamkan mata dengan kening berkerut sambil menggigit bibir dan tak henti mengerang-erang.
Di luar dugaan, Bon yang sejak tadi cuma menonton tak bisa menahan nafsunya. Disuruhnya Jing menegakkan tubuh, lalu dengan enaknya dia mengangkangi wajah Heni. Tentu saja Heni kaget, Dia melotot ketika menyadari penis Bon dengan enaknya menggeletak di wajahnya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa menghadapi pemaksaan gila-gilaan seperti itu. Bon pun dengan mudah memaksanya memasukkan penis ke mulutnya. Prapto kini punya obyek syuting yang lebih dahsyat. Seorang perempuan dewasa dengan jilbab putih lebar tengah dihimpit di antara dua lelaki telanjang di atas tubuhnya dan seorang lelaki telanjang lainnya di bawahnya.
Satu persatu pemerkosa Heni menuntaskan hajatnya. Diawali Jing yang memenuhi vagina Heni dengan spermanya. Lalu tak berapa lama, Bon yang menyemprotkan spermanya ke wajah Heni. Terakhir, Dul menunggingkan lagi perempuan itu dan dengan tenaga ekstra menggenjot penisnya di anus Heni sebelum akhirnya menumpahkan spermanya ke dalamnya.
Heni tersungkur telungkup di lantai. Sekujur tubuhnya pegal-pegal. Pantatnya tampak memerah. Prapto merenggangkan kedua paha Heni untuk mengcloseup lelehan sperma dari anus dan vaginanya ke karpet. Diclose-upnya juga wajah Heni yang berlepotan sperma. Salah satu matanya terpejam karena setumpuk sperma tepat di atas kelopak matanya.
"Sudah, sana mandi Mbak. Habis mandi, mbak boleh pulang," kata Prapto sambil berjongkok di sebelah Heni dan menyeka sperma yang menutupi matanya. Perempuan dewasa itu masih terisak. Dia memalingkan wajahnya.
PLAKKK....
Tiba-tiba Prapto menampar keras pantat Heni. Karuan saja Heni terlonjak dan menjerit. Tubuhnya kini miring menghadap Prapto.
"Sana cepat, mandi !" bentak Prapto. "Atau mau tetekmu gua gampar ?" lanjutnya sambil mengangkat tangannya siap menampar.
Heni dengan wajah ketakutan menyilangkan kedua tangannya ke depan payudaranya. Ia cepat berdiri dan berjalan gontai ke arah yang ditunjuk Prapto. Keempat pemerkosanya tertawa terbahak-bahak melihat langkah perempuan berjilbab dengan sperma di sekujur organ vitalnya itu.
"Bener mau kita pulangin dia, Mas ?" tanya Jing kepada Prapto.
Prapto menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Lalu, dihembuskannya asap rokoknya ke atas sambil tersenyum menyeringai.
"Ya, tapi besok-besok kita akan sering-sering menikmati tubuhnya," sahutnya.


Heni baru betul-betul lega ketika acara mandi bareng itu selesai. Mereka membiarkannya mengeringkan tubuh dengan handuk. Heni juga lega melihat blus dan rok panjang, jilbab dan kaus kakinya ada di dekat handuk.
"BH sama celana dalem Mbak saya bawa pulang. Buat kenang-kenangan," kata Prapto. Heni cuma melirik lelaki itu dengan tatapan tidak suka. Apalagi lelaki itu masih mensyuting dirinya.
Usai mandi, Heni dengan cemas melangkahkan kakinya ke arah lorong panjang tempat dia pertama kali datang tadi. Dia sudah tampak segar dengan busana yang panjang dan rapi.
"Mau kemana Mbak ?" tanya Prapto. Lelaki itu sudah duduk di karpet dengan Bon, Jing dan Dul serta seorang lelaki lain.
"Pulang..." sahutnya ketus.
"Nggak usah buru-buru, ini udah saya panggilin ojek," katanya sambil menunjuk lelaki lain tadi. Barulah Heni menyadari kehadiran tukang ojek yang tadi membawanya.
"Iya Neng, entar Abang anterin. Tapi kagak gratis loh !" timpal Bang Amir, si tukang ojek sambil meringis memperlihatkan giginya yang hitam. Bibirnya juga hitam, tanda bahwa dia perokok berat.
"Iya, nanti saya bayar. Ayo sekarang aja," ujar Heni.
"Bayar di muka Neng..." balas Bang Amir.
"Berapa ?"
"Nggak usah pake duit, Neng...." sahut Bang Amir. Mendengar jawaban itu Heni kaget. Dia mulai mengerti arah omongan Bang Amir.
"Huh.... kalian memang setan !" makinya. Kelima lelaki itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Lo emang pengen dibayar pake apa, Bang ?" kata Prapto di tengah tawanya.
"Gue pengen ngerasain mem*k dia, Mas. Sebentaaar aja...." katanya. Para lelaki tadi tertawa-tawa lagi. Heni betul-betul kehilangan akal sehatnya. Dia mulai menangis lagi.
"Eh, nggak usah nangis Mbak. Udah deh, kasih dia mem*k kamu sebentar. Abis itu dia antar kamu pulang," kata Prapto kali ini sambil berdiri dan menggamit tangan Heni.
Heni kini berdiri di hadapan Bang Amir yang duduk di karpet. Dibiarkannya Prapto mengangkat rok panjangnya sampai ke pinggang. Bang Amir melotot melihat vagina Heni yang mulus tanpa sehelai rambutpun. Tangannya gemetar, terjulur dan menyentuh vagina perempuan itu. Begitu tersentuh, ganti tubuh Heni yang bergetar. Ia mulai terisak lagi. Apalagi, telunjuk Bang Amir mulai menyusuri celah bibir kelaminnya, makin ke bawah dan akhirnya menemukan pintu liang vaginanya.
Perlahan tapi pasti, Bang Amir menusukkan telunjuknya ke dalam vagina Heni. Dilihatnya Heni menggigit bibir. Kedua belah pipinya mulai basah oleh airmata. Heni menggeliat ketika Bang Amir menyusulkan jari tengahnya ikut masuk. Terasa bagian dalam vaginanya dikorek-korek dua jari lelaki setengah baya itu.
"Wah, udah lama abang mimpiin mem*k Neng," katanya. Heni baru sadar, selama ini tukang ojek yang mangkal dekat rumahnya itu memang sering menatapnya dengan pandangan nafsu.
"Cuman mem*knya Bang ? Pengen ngenyot toketnya kagak ?" tiba-tiba terdengar suara Dul.
Bang Amir mendongak.
Liurnya menetes melihat pemandangan heboh di atasnya. Jilbab lebar Heni sudah disampirkan ke pundak. Kancing blusnya terbuka lebar dan sepasang payudaranya tampak mengacung dalam genggaman dua telapak tangan Dul.
"Wah... pengen banget..." katanya.
Dul menekan pundak Heni hingga perempuan itu berlutut di depan Bang Amir. Sejenak lelaki kampung ini melupakan vagina Heni. Langsung ditangkapnya sepasang payudara telanjang di depannya. Dengan lahap dihisapnya puting susu Heni, kanan dan kiri berganti-ganti. Heni tak banyak protes lagi. Tetapi jelas tampak ia marah, takut sekaligus malu.
Sepasang payudaranya kini terlihat basah kuyup oleh aiur liur Bang Amir.
"Udah Bang, ntar keburu sore. Lo sekarang telentang, santai aja biar Mbak Heni yang muasin lo," kata Dul.
Bang Amir nurut. Dia segera melepas celananya dan terlentang. Dia melihat Dul melepas rok panjang Heni, tetapi membiarkannya tetap memakai kaos kaki, jilbab lebar yang disampirkan ke pundak dan blus yang terbuka kancingnya. Pemandangan itu membuat penisnya yang hitam bangkit. Lumayan panjang dan terlihat kekar
dengan urat-urat di sekujur batangnya.

Dul membimbing Heni untuk berjongkok mengangkangi wajah Bang Amir dengan posisi membelakanginya. Tukang ojek itu terlihat menelan air liurnya menyaksikan vagina perempuan baik-baik tepat di depan hidungnya. Aromanya pun mulai tercium. Gemetaran tangan Bang Amir menyentuh bibir vagina Heni.
Prapto mengajarinya menguakkan bibir vagina yang mulus itu dengan dua tangan.
"Isepin kont*l abang, Neng... Abang mau jilatin dulu mem*k Neng," kata Bang Amir dan lidahnya pun mulai menyapu bibir vagina Heni.
Tubuh Heni bergetar ketika lidah Bang Amir menemukan klitorisnya. Juga ketika lidahnya berupaya menyusup ke dalam liang senggamanya. Bang Amir sendiri mengerang seperti orang kedinginan ketika Heni yang dibimbing Dul mulai merangsang penisnya. Tangan kiri Heni menggenggam buah zakar Bang Amir yang berambut lebat, meremasnya lembut. Tangan kanannya menggenggam pangkal batang penis Bang Amir dan mengurutnya dengan tekanan ke arah kepala penisnya. Bang Amir serasa melayang ketika Heni di bawah arahan Dul menjilati lubang di kepala penisnya. Lalu, bibirnya yang seksi juga mengucup bagian lubang itu dan menyedot-nyedot. Baru setelah itu Heni mulai memasukkan penis Bang Amir ke mulutnya. Makin lama makin dalam. Bang Amir dan Heni mengerang-erang. Sebab, saat bersamaan, Bang Amir juga menyedot-nyedot klitoris Heni sambil dua jarinya mengaduk-aduk vaginanya.
"Sudah, pemanasannya jangan lama-lama...Ayo Mbak, masukin kont*l dia ke mem*k Mbak !" terdengar Prapto memerintah sambil terus merekam adegan Heni tengah mengulum penis Bang Amir.
Dul dan Jing memegangi lengan kanan dan kiri Heni, membimbing perempuan itu mengangkangi penis Bang Amir yang tegang maksimal. Heni sekarang tak banyak menolak ataupun meronta. Dia bahkan menurut ketika disuruh memasukkan sendiri penis Bang Amir ke vaginanya.
"Buka aja bajunya Dul, ngganggu pemandangan," kata Prapto. Lagi-lagi, Heni kembali bugil. Cuma jilbab dan kaos kaki yang melekat di tubuhnya kini.
Heni menggigit bibirnya ketika untuk kesekian kalinya vaginanya kemasukan penis lelaki yang bukan suaminya. Tragisnya, kali ini justru ia berperan aktif. Mengangkangi penis Bang Amir yang mengacung dengan posisi membelakanginya. Memegang penis yang berurat itu dan mengarahkannya ke liang vaginanya. Lalu, perlahan menurunkan tubuhnya hingga penis itu tertelan seluruhnya oleh vaginanya. Semua adegan itu tak luput dari perhatian Bang Amir dan rekaman Prapto.
Vaginanya yang kini tidak berambut jadi terasa sensitif saat penis Bang Amir masuk sampai pangkalnya dan rambut kemaluannya yang lebat menggesek kulit vaginanya. Bahkan, klitorisnya pun tergesek rambut kemaluan Bang Amir. Bagaimanapun hal tersebut membuat tubuh Heni bereaksi spontan. Vaginanya mulai membasah, melumasi gesekan antara penis Bang Amir dan vaginanya. Hal itu mendatangkan perasaan nikmat bagi Bang Amir maupun Heni sendiri.
Heni tak mampu berpikir jernih lagi. Setelah menderita sejak pagi, sedikit kenikmatan itu membuatnya tergoda untuk mendapatkan lebih banyak lagi. Ia pun mulai menggoyangkan pinggulnya, membuat penis Bang Amir menjangkau segenap pelosok bagian dalam vaginanya.
Makin lama, frekuensi goyang pinggul Heni makin tinggi. Kedua tangannya yang semula menyangga tubuhnya ke belakang, kini mulai meremas-remas kedua payudaranya sendiri, memilin-milin dan menarik-narik kedua putingnya. Heni juga tak kuasa menahan diri untuk tidak mengerang-erang dan mendesah-desah. Keempat pemerkosanya tercengang melihat perubahan itu. Prapto tak melewatkan momen itu dan merekamnya.
Ia lalu menyerahkan handycam kepada Bon. Prapto sendiri menyodorkan penisnya yang sudah mengacung ke wajah Heni.
"Ayo Mbak.... terus goyang, nikmatin aja Mbak... sekarang isep kont*lku Mbak... iyahhhh...." kata Prapto.
Tanpa banyak tanya, Heni menggenggam penis Prapto dan memasukkannya ke mulutnya. Lalu, sambil menaikturunkan pinggul dan memutar-mutarnya, Heni juga mengulum penis Prapto. Prapto merem melek merasakan kuluman perempuan itu. Dipeganginya kepala Heni yang berjilbab. Sesekali didorongnya penisnya jauh sampai terasa menyentuh kerongkongannya. Heni masih terus memutar-mutar pinggulnya. Desahannya tetap terdengar meski tersumbat penis Prapto.
Prapto rupanya punya rencana sendiri. Didorongnya kepala Heni dengan penisnya tetap di dalam mulut perempuan itu. Posisi itu ptomatis membuat Heni rebah ke atas tubuh Bang Amir. Si tukang ojek luar biasa senang. Sebab, kini ia bisa menikmati jepitan vagina Heni sambil meremas-remas kedua payudaranya.
Prapto menarik keluar penisnya dari mulut Heni. Ia kini berlutut di depan selangkangan Heni yang terbuka lebar. Penis Prapto masih keluar masuk disambut goyangan pinggul Heni. Vagina perempuan itu sudah betul-betul basah.
Prapto menyentuh klitoris Heni, menekannya dengan ibu jari dan merangsangnya dengan gerakan mengucek-ngucek, makin lama makin cepat. Reaksinya luar biasa. Heni seperti berupaya bangkit. Tangannya menggapai-gapai ke kemaluannya sendiri tapi tak bisa karena Bang Amir menahan tubuhnya. Akhirnya, dari mulutnya keluar rintihan yang lebih mirip erangan memelas, bukan kesakitan. Yang pernah menonton Miyabi orgasme, tahu bahwa Heni juga akan menemukan orgasmenya....Rintihannya tak jauh beda dengan rintihan nikmat Miyabi.
"Ayo Mbak....jangan malu-malu.... ayo, nikmatin aja.... ayo....." goda Prapto sambil terus merangsang klitorisnya.
"Aiyaiyaiyai.... aihh.... aaiihhh....auhhh....aaaakhhhh....mmmmfff....aaaiiihhh...." suara yang betul-betul menggairahkan itu akhirnya keluar melengking dari bibir Heni saat terpaan orgasme seperti meledakkan dirinya. Tubuhnya kelojotan di atas tubuh Bang Amir. Penis Bang Amir sendiri masih lumayan gagah tertancap di vagina Heni yang basah kuyup.
Empat pemerkosanya terbahak-bahak melihat adegan itu. Perlahan, kesadaran merasuki benak Heni lagi. Mendengar tawa dan komentar yang menghina, rasa malu mulai merambati dirinya....
"Tahu gini, tadi kan nggak usah kita perkosa Mbak.... mem*k Mbak juga butuh nih....." kata Prapto sambil menepuk vagina Heni agak keras.
"Gue tahu Mbak butuh kont*l lebih dari satu. Gimana kalo kita coba masukin dua kont*l sekaligus ?" lanjut Prapto.
Heni kaget. Apalagi ia merasakan aneh, ketika Prapto menusukkan satu jarinya di sela-sela penis yang terjepit vaginanya. Satu jari lagi menyusul...."Tenang aja Mbak.... kepala bayi aja muat. Masak cuman 2 kont*l aja nggak muat ?" kata Prapto samil mulai menjejalkan penisnya bersamaan penis Bang Amir.
"Akhh.... aihh.... jangan... aduhhh.... jangan... nggak muaaat...." Heni ketakutan. Ia mencoba mendorong dada Prapto. Tapi dadanya sendiri malah dicengkeram Bang Amir.
"Biarin aja Neng....mem*k Neng emang udah agak longgar kalo dipake sendiri kok..." komentar Bang Amir.
Mula-mula Prapto kesulitan. Tetapi akhirnya kepala penisnya berhasil masuk. Baru setelah itu tak sulit baginya untuk mendorong masuk penisnya jauh ke dalam diiringi jerit kesakitan Heni. Vaginanya terasa seperti akan sobek.
Tak ada lagi desahan nikmat keluar dari mulut Heni. Yang ada kini pekik dan erangan kesakitan. Dul pun tak mampu menahan diri untuk tidak memperkosa mulut Heni lagi.
Prapto dan Bang Amir seperti berlomba memasukkan penis mereka sejauh-jauhnya ke vagina Heni. Prapto yang pertama kali menyelesaikan hajatnya, disusul kemudian Prapto, lalu Dul di mulut Heni.
Kembali ibu muda itu tergolek lemah di lantai berkarpet hijau. Jilbabnya kusut masai. Sperma belepotan di bibir dan vaginanya.
Prapto menampar pantatnya, menyuruhnya segera bersiap pulang. Dengan gontai ia kembali ke kamar mandi, membersihkan bekas-bekas perkosaan dahsyat itu. Bang Amir menunggu di atas jok motor di luar rumah.


Tamat