Aku bergelinjang kenikmatan, kedua tangankupun spontan menekan gundukan
dibalik jilbabku yang itu adalah kepala Kak Feri yang tersembunyi di balik
jilbab.. Oouhh.. Oouuh… Ssssh… Eemmh… Aku bergelinjang- menikmati
gigitan-gigitan kak Feri di putingku yang masih mungil…
***
Kenalkan, namaku Putria Leksiana. Aku saat ini masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Sudah sejak 2007 aku di Jogja. Namun, nuansa kental religi dan budaya di sini membuatku menjadi semakin berat untuk meninggalkan Jogja.
Kenalkan, namaku Putria Leksiana. Aku saat ini masih kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Sudah sejak 2007 aku di Jogja. Namun, nuansa kental religi dan budaya di sini membuatku menjadi semakin berat untuk meninggalkan Jogja.
Aku anak bungsu dari tiga
bersaudara. Abiku seorang petinggi partai di daerah kelahiranku di Kalimantan. Umiku hanya seorang Ibu
Rumah Tangga biasa. Kakakku yang pertama
bernama Ulfah, sekarang dia sudah bersuami, tinggal di Semarang. Kakakku yang kedua bernama Safira,
tinggal di Solo, masih single. Sementara aku dilahirkan di Kalimantan
tanggal 20 Februari 1987.
Semenjak pertama kali menginjakkan kakiku di Jogja, aku tak kenal
siapapun di sini, kecuali Kakakku Safira yang menemaniku untuk mencari
Kos-kosan dan kampusku. Oh ya, kosanku ada di daerah Condongcatur. Di sini aku
banyak teman aktivis. Mereka adalah aktivis KAMMI, yang rata-rata adalah senior di kampusku. Aku
mengenal dunia aktivis juga dari mereka. Adalah Kak Sherly yang membawaku ke
dunia ini. Entah kenapa aku pun jadi tertarik untuk bergabung, hingga kini,
karena keaktifanku di kampus, aku menduduki ketua bidang kaderisasi.
Di KAMMI, para akhwat seringkali
bertemu atau berkoordinasi dengan para ikhwan. Seringnya pertemuan itu, tak
jarang membuat para akhwat mengidolakan salah seorang dari mereka. Sebutlah kak
Feri, Kak Arga, dan Kak Utomo. Mereka adalah tiga orang yang menduduki puncak
pimpinan KAMMI di kampusku. Begitu juga aku, entah kenapa gairah kewanitaanku
begitu bergejolak saat melihat mereka, melihat ketampanan dan kewibawaan
mereka, serta janggut dan tubuh mereka yang tegap, tak jarang membuat… (emhh, aku
malu menyebutnya) membuat celana dalamku basah…
Aku begitu terangsang. Entahlah,
cairan itu begitu derasnya mengalir saat ketiga atau salah seorang dari mereka
lewat di depanku. Akupun langsung tertunduk malu dan wajahku pun memerah. Ohh, begitu
menderitanya aku…
Hingga suatu saat secara reflek
tanganku memainkan atau menekan-nekan bagian paling sensitif di tubuhku. Kata
orang, bagian itu adalah klitoris. Ya…aku bermasturbasi. Tak jarang itu aku
lakukan di depan mereka. Tentu saja mereka tak mengetahui karena aku
menggunakan jubah yang lebar atau jaket KAMMI.
Hhmm... ya, saat inilah aku mulai
berkenalan dengan masturbasi. Dengan sex! Yang ternyata, luar biasa nikmatnya…
***
Waktu itu, tepatnya Kamis pagi,
saat aku telah menahan lapar dan dahaga, semua kader berkumpul di halaman
kampus untuk apel persiapan aksi menentang kenaikan BBM. Aku mengenakan jubah lebar
bercorak bunga mawar kombinasi merah dan hitam, jilbab Rabbani yang aku kenakan
berwarna hitam yang menjulur sampai ke pinggang. Saat itu, Kak Feri memimpin
briefing. Suaranya yang lantang dan dalam, janggutnya yang tipis rapih,
lagi-lagi membuat aliran darahku mengalir lebih cepat dari biasanya.
Seperti biasa, berkat jubahku
dengan model kancing di depan dan jaket organisasiku, aku lebih leluasa untuk...
yah, paling tidak meredakan denyutan jantungku yang berdetak kencang. Sambil
menatap tajam pada mata dan mulutnya, aku main-mainkan klitorisku yang memang
sudah basah sedari tadi. Posisi berdiriku yang paling belakang membuat aku
leluasa memilin dan memainkan jemari lentikku di bagian itu. Entah kenapa, cara
ini membuat aku merasa nyaman, terutama saat-saat di mana aku merasakan seperti
ingin pipis. Saat itulah secara reflek jemariku menekan semakin kuat, mataku
aku pejamkan, dan aku pun tak kuasa menggigit bibir mungil bagian bawahku.
”Oooh…Sssshh... Aahhh...” sambil
kurangkul tas ransel semakin erat, ooh… aku merasakan cairanku yang masih
kental, mungkin karena kevirginanku, mengalir deras. Jemari lentik yang
kumainkan terasa kesat, seperti dua permukaan balon basah yang saling
bergesekan. Oough, tak bisa kujabarkan bagaimana nikmatnya momen-momen seperti
itu.
Dua detik menjelang ’pipis’, aku
sedikit menggelinjang dan memekik sambil spontan kepalaku yang terbalut jilbab
menengadah ke atas dengan mata terpejam.
”Sssssshhhhh…!!!!” Sungguh kenikmatan
yang luar biasa. Aku terkulai lemas, sementara jemariku masih menelusup ke
sela-sela kancing depan di balik jilbab lebarku. Sementara tanganku yang bawah basah
kuyup karena lendir kewanitaanku.
“Ukhti Leksiana, anti ndak pa-pa?”
sontak teguran itu membuatku terkaget-kaget dan salah tingkah. Ternyata ukhti
Leli mengira aku sakit karena pekikan kecil dan eranganku membuatnya heran.
Waktu itu, ia nampak anggun dengan potongan khas aktivis KAMMI, jilbab merah
jambu sampai ke dada, atasan putih longgar, dan rok bluzz panjang sampai ke
mata kaki.
”Oh, Ukhti Leli… eng, nggak pa-pa
kok ukhti, aku baik-baik aja.” segera kucabut tanganku dari balik jubah merahku.
”Ooh… ya sudah, bener kamu nggak
pa-pa?” tanyanya lagi.
”Bener, ukhti, nggak pa-pa.”
tanpa sengaja kuseka dahiku dengan tangan yang basah kuyup oleh cairanku… ”Oh
tidak!” pikirku. Untungnya ukhti Leli tidak sadar, mungkin dia mengira bahwa
cairan itu adalah keringatku. Fiiuhhh…!
“Eh, ukhti, tolong ambilkan
selebaran di sekretariat ya, 30 menit lagi kita start longmarch dari depan
kampus menuju perempatan kantor pos besar. Emmm… di sana udah ada Kak Feri,
nanti kamu tanyakan saja sama dia. Dia tahu koq tempatnya.” seru Ukhti Leli
padaku.
“Apa..?!” pikirku dalam hati. Kak Feri baru saja
kubayangkan sedang menjilati klitorisku. Apa yang akan terjadi bila aku bertemu
dengannya di ruangan yang sepi dan sempit. Darahku mulai mengalir deras, entah
kenapa daerah sekitar selangkanganku seolah berdenyut-denyut geli ingin
dimain-mainkan. Oooh…
Langkahku lemas menuju
sekretariat. Pikiranku melayang menerawang jauh hingga hal-hal yang tidak
mungkin aku lakukan dengan Kak Feri.
”Kacau…!” batinku dalam hati.
Tak terasa lamunanku mengantarku
pada Kak Feri, di sekretariat KAMMI. Saat itulah, pengalaman pertama yang tak
akan mungkin aku lupakan, terjadi…
Perlu kalian ketahui wahai para
pembaca yang budiman. Di tempat yang sama, dan momen yang hampir serupa, seniorku
bernama Ukhti Salma dan Akhi Ramdan melakukan hal terburuk dalam hidup mereka. Mereka dipergok sedang
bersenggama di dalam sekretariat KAMMI yang sepi. Parahnya lagi, Ukhti Salma tidak
menanggalkan jilbab dan jubah lebarnya, lengkap dengan ikat kepala KAMMI yang
sering kami gunakan untuk aksi, hingga akhirnya mereka dikeluarkan dari
kepengurusan.
Saat itu hampir jam sembilan
menjelang pemberangkatan longmarch anti kenaikan BBM. Tanganku dengan mangset
berwarna putih membuka pintu sekretariat. Krekeeeeeeeek…!
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam… eh, ukhti Leksiana. Mari masuk, disuruh Ukhti Leli untuk ngambil selebaran ya?” sahut Kak Feri.
“Eemmm… i-iya, Kak.” aku tersipu, wajahku memerah, dan tak ada kata yang bisa kuucapkan.
“Nih, ukhti, selebarannya.” Ia mengambil satu rim
selebaran.
Akupun berusaha mendekati dan
meraihnya, dan.. “AAAAAHhh…!!!” sontak aku kaget karena tiba-tiba ada tikus
yang berlari melintas di bawah jubah merahku, spontan aku singkapkan hingga ke
lutut. Hampir ke atas lutut! Untung aku mengenakan stoking coklat muda, jadi
pahaku tidak sampai kelihatan. Akupun sempat melihat mata Kak Feri yang
membelalak melihat betisku yang terbungkus stoking. Suasana di sekretariat
menjadi kacau, selebaran yang akan kuraih tercecer di lantai.
“Aduuh.. m-maaf, Kak, aku…” belum selesai
kalimatku, Kak Feri menimpali.
”Nggak pa-pa, ukht. Ya sudah, Ana bantuin ya..”
Suasana menjadi hening, kami sama-sama
merangkak di lantai memunguti selebaran yang tercecer, hingga tanpa sengaja
tanganku dan tangannya saling bersenggolan. Kami saling menggenggam jari satu
sama lain. Seharusnya itu tidak boleh, namun anehnya, naluriku tak sedikitpun menyuruh
untuk menarik genggaman tangan Kak Feri, begitu juga dengan kak Feri yang
semakin erat menggenggam tanganku. Malah perlahan ia menatapku yang kerepotan
memegang jilbab lebarku yang menjuntai ke lantai dan berbisik, ”Uhti….”
Bibirku diam seribu bahasa. Yang
merespon malah area kemaluan di balik jubah merahku yang mulai berdenyut
kencang, degup jantungku semakin berdebar kencang, cairan vaginaku yang belum
mengering kini kembali mengalir membasahi area kewanitaanku.
Perlahan tapi pasti, dengan
posisi masih menungging di lantai, wajahku dan wajah kak Feri saling berdekatan.
Tangan kananku yang sempat memegang beberapa selebaran, kini beralih memegang
jilbab rabbani warna hitam yang menjuntai ke bawah, aku dekapkan ke dada. Tak
kusangka, bibir kak Feri mulai mencumbu bibir mungilku. Kecupan, pagutan, dan
sedikit sedotan bibir kak Feri membuat nafsuku membludak. Pengalaman pertama
mencium bibir laki-laki bahkan yang bukan muhrim, adalah satu hal yang paling
dibenci kami sebagai aktivis kerohanian di kampus. Tapi anehnya, aku
menikmatinya.
”Eemmmfff… Eenghh… Ssylurup…”
suara-suara aneh percumbuan kami mulai membangkitkan nafsuku.
Dengan posisi masih menungging,
ciuman penuh nafsu itu terus kami lakukan.. Seiring gairah kami yang semakin
membara, aku rasakan denyutan di area kemaluanku di balik jubah ini telah
membanjiri celana dalamku yang berwarna pink lengkap dengan renda-renda di
sisinya. Kamipun perlahan duduk saling berhadapan tanpa melepas bibir kami
berdua, tangan Kak Feri mulai berani memegang pundakku.
”Eengggh…!” aku hanya bisa pasrah
menerima perlakuannya, begitu nikmat kurasakan saat ini.
”Ooouh.. Eemmh…!” kini perlahan
tangan kak Feri mulai menyusup ke balik jilbab rabbaniku. Dia meremas
payudaraku! Payudara seorang gadis berjilbab, aktivis KAMMI yang loyal.
Sylrup...! Aku lepaskan bibirku darinya. Mataku terpejam penuh
nafsu. Secara spontan kepala kutengadahkan ke atas. Nafas Kak Feri terdengar terengah
penuh nafsu. Kini giliran tangan kanannya meremas payudara sebelah kiriku,
hingga tampak di balik jilbab rabbaniku tersembul-sembul gerakan tangannya yang begitu menggairahkan.
”Ouhhh… Kak Ferri…!!” Eranganku
semakin keras saat ada benda hangat menyentuh puting susuku.
”Aaaarghhh…!!!” aku menjerit.
Tak peduli dengan keadaanku yang
sudah kacau, Kak Feri terus memilin-milin puting susuku. Dia juga membuka kancing
jubah merahku di bagian dada. Kini kedua tangannya menyelusup masuk ke dalam BH-ku!
Menerima rangsangan yang belum
aku rasakan sebelumnya ini telah membuatku gelap mata. Nafsuku jaditidak tertahankan
lagi. Aku langsung mengemut jari telunjukku (bagai lolipop yang diemut anak
kecil) sambil memejamkan mata. Aku yang tampakcantik dengan mengenakan jilbab lebar
telah membuat Kak Feri gelap mata pula. Segera laki-laki itu membenamkan
mulutnya ke dalam payudaraku. Ia menyelinap ke balik jilbab Rabbaniku dan
menyusu disana. Kepalanya yang sedang menyedot dan menggigit-gigit puting payudaraku
tampak tersembunyi di balik jilbabku.
Aku bergelinjang kenikmatan,
kedua tangankupun spontan menekan gundukan dibalik jilbabku yang itu adalah
kepala Kak Feri yang tersembunyi di balik jilbab. Oouhh.. Oouuh… Ssssh… Eemmh… Aku
bergelinjang- menikmati gigitan-gigitan kak Feri di putingku yang masih mungil.
Spontan posisiku aku rubah menjadi duduk di atas pangkuan Kak Feri yang kini
duduk bersila, layaknya adegan Kama Sutra yang pernah aku lihat di internet.
Kedua tangan kak Feri memegang
erat punggungku, sementara kedua tanganku memeluk erat kepala Kak Feri, memaksanya
agar semua payudaraku masuk dalam mulutnya. Namun, karena aku mengenakan jubah
lebar, kepala Kak Feri yang tersembunyi dibalik jilbabku, sebagian kakinya yang
bersila juga terhalang oleh jubah lebarku, membuat aku seolah memeluk sebuah
guling besar dengan eratnya.
Basahnya kemaluanku yang
langsung bergesekan dengan titit Kak feri di balik celana bahannya, membuat
celananya pun terlumuri oleh cairan vaginaku. Oughhh... Aku semakin gila. Sambil
memejamkan mata, akupun mencari sensasi seks dengan menggesek-gesekkan
kemaluanku di atas benda runcing yang tersembunyi di balik celananya. Oouuh…nikmat
sekali rasanya!
10 menit berlalu tanpa terasa.
Kepuasan Kak Feri menelan buah dadaku belum usai. Ia menatap sebentar ke arahku.
Aku yang masih terbalut jilbab yang sudah kusut ini, hanya menatap pasrah kepadanya.
Dengan posisiku yang masih duduk di pangkuannya, tangan kanan kak Feri mulai membuka
resleting celananya, dan menyingkapkan gundukan panjang di balik celana
dalamnya yang seolah sudah tidak sabar ingin melesat keluar.
Ceng! jantungku berdegup kencang
saat kak Feri berhasil mengeluarkan penisnya yang besar dan panjang dari
himpitan celana dalamnya.
”Ouh…!” aku memekik keras dan
tak lama aku terkulai melihat ukuran penisnya yang begitu ngaceng dan keras.
Tapi seolah sudah terbiasa, perlahan aku meraih benda itu dan mulai
mengocok-ngocoknya dengan menggunakan tangan kanan. Karena sudah licin oleh
cairan vaginaku dan cairan pelumas milik Kak Feri, akupun tak kesulitan melakukannya.
Kak Feri hanya mengerang-ngerang
menikmatinya. ”Oooh… Ssssh… Ukhti…”
Dengan posisiku yang masih
berpangku, tak jarang jubah lebarku menghalangi pemandangan indah ini. Aku
segera menyingkapnya hingga perut sementara tangan kananku terus mengocok
batang Kak feri yang sudah panas dan berlendir, sambil sesekali
kugesek-gesekkan ke celana dalamku yang juga sudah basah kuyup.
Oughh... Kak Feri… nikmatnya…!
Karena dorongan nafsu yang sudah
bergejolak penuh di dalam tubuhku, aku takkeberatan saat Kak Feri mulai
menyingkapkan celana dalamku tepat di depan lubang kemaluanku yang merah merekah.
Ooohh… aku rasanya sudah tak sabar ingin merasakan gesekan batang besar itu di
dalam vaginaku. Hal yang selama ini kuimpikan…
Duduk saling berhadapan, dengan
kemaluan masing-masing sudah terbuka lebar, kami saling berpandangan. Kulihat
kak Feri yang biasanya alim, kini sudah tidak karuan. Dia bagaikan iblis yang
siap menerkam, satu sosok yang sangat kurindukan kehadirannya selama ini.
Sementara aku, seorang wanita dengan jilbab lebar dan jubah panjangnya, siap
menerima serangannya.
Perlahan, atas seijinku yang
masih berpangku padanya, Kak Feri dengan posisi bersila, mulai mengarahkan
batang besarnya pada lubang vaginaku yang masih perawan. Karena kesulitan, aku pun
membantunya dengan menyingkapkan jubah panjangku yang menghalangi masuknya
batang itu.
Kak Feri tersenyum sambil menggesek-gesekkan
ujung batangnya pada permukaan liang vaginaku. Oooughh… kemaluanku yang selama
ini hanya aku mainkan dengan jari jemari, kini benar-benar menerima batang
kontol yang siap menyobek selaput kehormatanku.
Dengan satu anggukan kecil
dariku, perlahan Kak Feri mendorongnya, memasukkan batangnya hitam panjang itu ke
dalam lubang memekku yang masih sempit dan suci. Dengan seksama dan perasaan
berdebar-debar, kuperhatikan semuanya, detik demi detik hilangnya keperawananku.
Awalnya sangat sakit sekali saat
batang Kak Feri berusaha menyeruak menembus lubang kehormatanku. Sakit yang tidak
pernah kubayangkan sebelumnya. ”Sssshh… AAAaaww… Kak Feri…!!” aku menjerit,
tapi tetap kusuruh ia untuk mendorong penisnya. Meski sakit, aku harus
menahannya. Persetubuhan ini harus tetap terjadi. Tanggung kalau harus berhenti
sekarang. Tubuhku sudah terlanjur ternoda.
aku pun membantunya dengan
menggoyang-goyangkan pinggul ke atas dan ke bawah, hingga akhirnya… Blesss!!! Batang
kak Feri menghunjam keras menembus sucinya lubang kemaluanku. Cairan berwarna
merah segar membasahi selangkangan kami berdua, denyutan di memekku terasa semakin
kencang saja menjepit erat batang Kak Feri yang mulai bergerak pelan di dalam
sana. Oughhh… aku hanya bisa pasrah, berharap ini semua berakhir dengan indah.
Perlahan, rasa sakit yang
kurasakan mulai mereda, berganti dengan rasa geli yang menggetarkan badan, dan
seiring goyangan kak Feri yang kian kencang, rasa geli itu berubah menjadi rasa
nikmat yang amat sangat. Oughhh... asyiknya, aku menikmati persetubuhan ini!
Karena ini pengalaman pertamaku,
taklama, aku sudah tak bisa lagi membendung kenikmatan yang di awal kubilang ’pipis’,
kini seluruh otot di selangkanganku mengejang berusaha menyemburkan cairan itu
sekuat-kuatnya dan crrt...! Crrt…! Crtt...! sambil memeluk erat tubuh Kak Feri yang
bersembunyi di balik jilbab lebarku, aku pun orgasme. Cairanku menyembur
kencang membasahi kemaluan kami berdua.
“Ahhhh.. ! Ahhhh..! Aaaaaaaah…!”
aku menjerit dengan tubuh lemas.
Melihat kondisiku yang sudah mulai
tenang, batang kak Feri yang sedari tadi diam menikmati pijitan vagina dan semburan
hangat memek seorang gadis muda, kini mulai bergerak kembali dengan teratur,
keatas dan kebawah. Dan karena ini juga pengalaman pertama Kak Feri, ia pun tak
kuasa membendung kenikmatan ini terlalu lama, hingga buru-buru ia cabut batang
penisnya dan sambil mengocok-ngocok benda itu, ia pun melenguh...
”Arhhhhhh...” crooot.. crooot.. crooot..!!!
Semburan hangat spermanya membuat jubah dan jilbabku basah belepotan.
Aku pun terkulai lemas. Perlahan
tubuh mulusku jatuh telungkup di lantai dengan jilbab yang sudah kusut. Jubah panjangku
tersingkap hingga pinggul, mengekspos pinggul dan pahaku yang putih mulus
menggiurkan.
Kak Feri mengelus-elusnya pelan
sambil menciumi pipiku. Ia yang juga kelelahan, ikut tergeletak di sebelahku tak
lama kemudian. Tumpukan kertas selebaran yang berserakan di sekitar kami,
menjadi saksi bisu lepasnya perawanku pagi itu.
Inilah pengalaman pertamaku. Awal kisahku dengan seks.
Saat itu aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Hanya saja Kak Leli menemukanku
dalam keadaan tergeletak di lantai tanpa Kak Feri.
***
Pengalamanku dengan Kak Feri
benar-benar telah merubah kebiasaan dan kepribadianku sebagai seorang mahasiswi
yang aktif di organisasi mahasiswa, tentunya para wanita atau yg biasa kami
sebut sebagai akhwat-akhwat disini adalah setiap wanita yang menutupi seluruh
bagian tubuhnya dengan jilbab yang anggun. Ya, organisasi ini terkenal dengan
akhwat-akhwatnya yang anggun dan ramah. Tapi siapa sangka, di dalamnya ada
seorang wanita yg memiliki kepribadian dan kebiasaan yang benar-benar berbeda
dengan yang lain…
Saat ini, aku bukan lagi wanita
seperti dulu, yang selalu ceria karena belum ada satupun yang ’hilang’ dari
tubuhku. Tapi saat ini, semuanya telah berubah. Sesuatu yang tadinya aku
hindari, saat ini malah menjadi kesenanganku. Hampir setiap malam aku
melakukannya. Sendirian…
Termasuk pada suatu malam, saat
kami menginap di salah satu kamar di sebuah villa di kaliurang. Waktu itu di sela acara
akhir di hari pertama Outbond Kepemimpinan Mahasiswa.
“Ukhty, aku duluan ya, ngantuk
berat nih,” ujarku pada mbak Nurul, seniorku di organisasi.
“Ohh, kamu kenapa, dik? Sakit ya?” dia tampak kuatir. “Ya udah, istirahat duluan sana, nanti mbak nyusul.”
Aku hanya mengangguk lemas.
Setibanya di kamar, suasana
begitu hening dan suhu udara sangat dingin. Di dinding, jarum jam menunjuk
angka sepuluh malam. Udara yang begitu menusuk tulang membuatku tidak menanggalkan
jilbab dan jaket milik Mbak Nurul. Sambil iseng, kubuka laptop mbak Nurul yang
memang disimpan di kamarnya. Dia wanita tercantik dan anggun di kampusku,
seorang pria asal Lampung berhasil merebut hatinya seminggu yang lalu. Hanya saja, karena posisinya
yang penting di organisasi, Mbak Nurul belum sempat berbulan madu.
Aku mulai membuka file dan
folder yang ada di drive D. Aku penasaran saat menemukan folder bernama ’my
first time’. Jantungku mulai berdebar kencang karena takut ketahuan, karena aku
yakin ini adalah folder privasinya mbak Nurul. Karena acara akan berakhir
sekitar jam sebelas malam, jadi aku masih punya waktu sekitar 30 menitan untuk memuaskan
rasa penasaranku.
Saat mouse kugerakkan menuju
folder itu, alangkah terkejutnya aku saat melihat foto-foto Mbak Nurul dan
suaminya yang tidak biasa. Rupanya mbak Nurul dan suaminya ingin mengabadikan
saat-saat terakhir kevirginan Mbak Nurul dan keperjakaan suaminya. Jantungku
semakin berdebar hebat dan libidoku mencapai puncaknya. My pinky area juga
seolah berdenyut kencang dan gatal ingin diperlakukan sesuatu kepadanya.
“Oohhh… mbak nurul…” aku
melenguh. Ada sekitar 40 buah foto dan 3 buah file video berformat avi. Aku
mulai melihatnya satu-persatu.
Dimulai dengan foto mbak Nurul
yg anggun, berbalut jilbab jingga merk rabbani yg menutup hingga dadanya.
Sebuah senyuman berlesung pipi membuatnya semakin cantik mempesona. Kemudian
berlanjut pada foto suaminya yg mengenakan jas hitam, gagah dan tampan.
“Mbak nggak salah memilih
suami,” gumamku.
Selanjutnya foto Mbak Nurul dan
suaminya berpose berdua saling berpelukan layaknya suami isteri.
“Aahhh…” aku kaget saat foto itu
terus berlanjut.
Mas Ahmad mulai mencium mbak
Nurul. Dia mencium bibir mbak Nurul yang mungil dan tipis. Mbak Nurul sendiri memperlihatkan
pose yang pasrah dan nampak menikmati kecupan dan kuluman suaminya. Di foto
itu, mbak Nurul memejamkan matanya seolah menikmati apapun yang diperlakukan mas
Ahmad.
“Ooohhh…” Vaginaku mulai basah. Aku pun membenarkan
posisi dudukku di atas ranjang. Keningku mulai berkeringat. Aku segera menyekanya
dengan jilbab rabbaniku. Foto-foto itu telah membuatku terangsang hebat.
Aku pun mulai membuka kedua
kakiku layaknya seperti orang yang sedang melahirkan sehingga vaginaku menganga
ke arah laptop yang menampilkan slide foto mbak Nurul. Aku pun mulai
mendesah-desah, sambil menyusupkan jemariku ke dalam celana dalamku yang tipis dan
berenda.
Oooughh… Libidoku yang
meledak-ledak sudah membuatku lupa diri. Aku tak sadar kalau sedang mengangkang bermasturbasi
sambil masih mengenakan jilbab. Sementara di depanku, foto itu terus bergantian.
Semakin lama semakin membuatku terangsang hebat.
Kulihat Mas Ahmad mulai
menyingkap jilbab Mbak Nurul. Nampak dia mulai meremas BH wanita cantik itu. Sayang
ekspresi mbak Nurul tidak tertangkap kamera. Lalu mas Ahmad mulai menyingkapkan
BH berwarna krem itu ke atas, memperlihatkan sepasang buah dada yang bulat dan
putih. Putingnya yang mungil tampak coklat kemerahan. Di foto berikutnya,
tampak Mas Ahmad mulai memilin dan memijitnya.
“Ooooh…” sial, aku hampir
mencapai orgasme. Jilbabku sudah kusut tak karuan. Karena sudah semakin panas,
jaket Mbak Nurul aku lepas. Tangan kiriku memainkan vagina, sementara tangan
kananku mulai menelusup ke balik jilbab rabbaniku.
“Ooouhh… Sssshh.. Aahhh… “ aku
semakin merintih.
slide-slide foto milik mbak Nurul
dan mas Ahmad benar-benar membuatku menggelinjang hebat. Suasana yang sunyi dan
malam yang dingin menambah suasana penuh gairah seks. Semakin tak tahan dengan
adegan-adegan itu, akupun mulai mengangkangkan kedua kakiku ke arah laptop,
sehingga otomatis posisiku seperti wanita yg sedang melahirkan. Lalu perlahan
kusingkapkan rok satin berwarna hitam yang kukenakan.
Ssurrrr… aku bergidik, seolah
ada angin sepoi yang menelusup menari-nari di area selangkanganku. Seiring
adegan yg semakin panas, jemariku pun mulai menelusup ke dalam celana dalamku yang
berwarna merah muda.
“Ooouuuhhh…” memekku sudah
terbanjiri oleh cairan berlendir yang keluar dari lubangnya. Tentunya kondisi
ini semakin membuatku terangsang. Lalu aku mulai memilin bagian yg menonjol di
vaginaku.
“Emmmhhh…” sesekali kumasukkan
jari tengahku ke dalam lubang memek milikku, “Sssshhh… auw…!” gairahku memuncak.
Tanpa kusadari, jilbab rabbani yang menutupi kepalaku hingga ke dada kini mulai
kusut tak karuan, sedikit basah oleh keringat yang mulai mengucur deras. Slide
foto di laptop milik mbak Nurul semakin membuatku klimaks.
Disana tampak mas Ahmad yang
berjanggut tipis mulai menjilati memek perawan mbak Nurul yang terlihat legit
dan terawat. Tampak bulu-bulu tipis menghiasi di sekitar dinding vaginanya yang
sudah basah oleh air liur mas Ahmad dan cairan kewanitaan milik mbak Nurul. Akupun
semakin mempercepat irama kocokan jari tengahku di dalam lubang kewanitaanku.
Akibatnya, tubuhku semakin menggelinjang hebat saat cairan kewanitaanku mulai
memuncrat keluar.
”Oouuhhh… Aahhh… Aawhhh.. Eemmmhh…!”
akupun sedikit memekik dan menjerit. Nafasku terengah-engah. Sambil merebahkan
badan ke dinding, aku membetulkan jilbab rabbaniku yang tersingkap saat aku
mengalami puncak kenikmatan tadi.
”Oh, mbak nurul, maafkan aku.” kataku
dalam hati.
Tapi aku juga heran. Untuk seorang
wanita kader seperti mbak Nurul, kelakuannya tadi sungguh janggal, meskipun itu
dilakukan dengan suami. Pergumulannya dengan mas Ahmad tadi seolah sedang
melampiaskan sesuatu yang sudah terpendam cukup lama. Cara mas ahmad menjilat
putingnya, lalu menjilati vaginanya… oh, bagiku ini aneh. Hal ini semakin membuatku
penasaran pada mas Ahmad dan mbak Nurul.
Aku pun membersihkan jemariku
yang basah oleh cairan kewanitaanku sambil membenarkan posisi celana dalamku
yang sedikit menjepit dinding vaginaku. lalu aku mematikan laptop milik mbak Nurul.
Saat
itulah, tiba-tiba...
”Leksi, kamu habis ngapain?!”
Ouh! aku kaget sekali saat
melihat sosok wanita berjilbab biru di balik pintu kamar hotel kaliurang…
***
Tiga hari pasca ’Percintaan’
dengan kak Feri telah membuatku sakit. Badanku panas, pikiranku terus saja tak
lepas dari kejadian itu. Kenikmatan yang kurasakan tak mudah aku lupakan. Ukhti
Leli lah yang selama ini membantuku membuatkan bubur dan membelikan obat di
kosku. Selangkanganku terasa perih, tapi selalu berdenyut-denyut dan seolah
ingin melakukan untuk kedua kalinya.
“Tapi tak mungkin…” pikirku.
Saat pikiran itu datang,
tanganku seolah refleks untuk mengarah pada selangkanganku, tapi kucoba untuk
memainkan seperti biasa, rasanya ngilu bercampur geli. Akhirnya kugunakan baby
oil milik Ukhti leli yang biasa ia gunakan. A nggak ngerti baby oil itu digunakan
untuk apa oleh Ukhti leli. Aku tumpahkan sedikit ke telapak tangan, lalu aku
masukkan tanganku ke dalam selimut yang kupakai. Sambil setengah duduk
(bersandar pada bantal di tembok), aku mengangkangkan kakiku seperti posisi
seorang wanita yang mau melahirkan. Rasa ngilu yang tadi kurasakan kini hilang.
”Eemmmh…” sambil memejamkan mata
membayangkan batang kemaluan Kak Feri yang besar, ooough… rasa geli-geli nikmat
langsung menyerang tubuhku. Entah kata-kata apa yang cocok untuk menggambarkan
betapa nikmatnya posisi itu. Klitorisku terus kupilin-pilin dan sesekali kutekan.
Sendirian di dalam kamar, aku mengerang dan menggeliat-geliat keenakan.
“Oouh… Sssshh.. Auw…! Eennnghhh…” aku semakin
gila, semakin kurasa ingin pipis. Aku mempercepat gerakanku. “Ooh! Ooh! Aaah…!
Sssshhh…!” spontan aku ambil guling sementara tangan kananku terus mengocok klitorisku.
Aku peluk erat-erat gulingku dan... ”Aahh! Aah! Aaaaahhh…!” tak perlu waktu
lama, aku pun orgasme. Tubuhku terkulai lemas. Karena kondisiku yang tidak fit,
aku pun tertidur dengan posisi kaki masih mengangkang sementara guling berada
di pelukanku. Selimut yang kupakai agak tersingkap di bagian lutut, sehingga
bila dilihat dari arah kaki, tentu saja selangkanganku akan terlihat jelas di
balik rok panjang yang kukenakan.
“Hhhmmmhhh….” aku menarik nafas
panjang dan tertidur pulas.
Waktu pun berlalu. Di dinding jam
menunjukkan pukul sebelas siang. Aku terbangun dengan kondisi acak-acakan,
selimut sudah tak menutup lagi badanku, rok panjang yang kukenakan juga tersingkap
ke bagian pinggul, memperlihatkan bokong besarku yang tidak tertutup celana
dalam.
“Ya ampun..!” spontan aku
melihat ke arah jendela yang terbuka, berharap mudah-mudahan tidak ada yang melihat.
Aku bergegas mandi.
Setelah selesai menyegarkan badan,
biasanya aku langsung mengenakan jilbab rabbaniku berwarna putih berpadu pink,
jubah berkancing depan dengan motif bunga-bunga kecil, dan celana dalam berenda
warna pink kesayanganku. Kali ini aku singkapkan jubahku dan celana dalamku
untuk melihat area kesayanganku, kehormatanku, my pinky area.
Aku perhatikan, “Lubangnya masih
sempit…” pikirku. Berharap agar kejadian itu tak terulang kembali.
Aku pun bergegas meninggalkan
kos, menuju kampus. Tepat jam satu siang, aku ada kuliah ekonomi manajemen. Singkat
cerita, setelah perkuliahan usai sekitar jam 15.30, ada dering sms masuk ke Hpku.
”Oh tidak! Kak Feri…!” Pikiranku
langsung melayang tak jelas, teringat kembali memori itu. Oohh, kubuka sms
darinya. Isinya kurang lebih begini: ’Ass, Ukhti. Maaf ganggu, aq tw km g mo bc
sms driq, tp tlg skli ini sj d dpn toilet lt 3 Fak Pertanian. Jazakillah…’
Jantungku berdegup kencang
setelah kubaca sms itu. Selain isinya yg mengajak bertemu, juga tempatnya… Mengapa
kak Feri mengajak bertemu di tempat yang sepi. Ooh… pikiranku berkata tidak,
tapi hatiku seolah menuntunku untuk pergi kesana.
“Apakah akan terulang lagi?”
pikirku.
Dua lantai aku lewati, sampailah
aku di tempat perjanjian. Selain waktu sudah sore, memang tempat ini jarang
dikunjungi mahasiswa karena sedikit sekali mahasiswanya, di samping memang
kondisinya yang tidak terawat. Di kejauhan terdengar sorak sorai orang sedang
bermain basket, namun, rindangnya pohon Mahoni umur ratusan tahun menutupi
tempat itu.
Awalnya aku takut, karena tak
ada siapapun disini, “Apa kak Feri terlanjur pergi dari sini?” Akupun
memberanikan diri untuk memanggilnya, “Assalamu’alaikum, Kaaak? Kak Feri, Kakak
di mana?” sambil celingukan aku mencarinya. Tiba-tiba...
“Aaaahhh! mmmffff..!!!” Aku sontak kaget!
badanku tak bisa bergerak! Sebuah tangan menutup mulutku, sementara tangan yang
lain memelukku dari belakang! Pikiranku mulai kalut, air mata mulai mencair dari mataku.
Sementara aku berusaha meronta-ronta, jilbab dan jubahku kusut tak karuan.
“Sstt… Ukhti, ini aku… Kak Feri!”
bisik orang itu.
Perlahan aku menoleh ke belakang.
Pelukan dan cengkeraman tangannya pun mulai dilepaskan. Setelah kuyakin
perkataannya benar, aku hanya menarik nafas panjang dengan sedikit ngos-ngosan.
Aku berkata kepadanya, “Hmm… Kak Feri,
ini maksudnya apa?”
“Iya, Ukhti, sabar… maaf kalo
caraku kasar. Aku hanya ingin bicara.” dan sebelum mulutku bicara, kak Feri
sudah memotongnya, “Pertama, aku minta maaf atas kejadian itu. Kedua, aku ingin
bertanggung jawab. Ketiga, aku tak bisa meninggalkan kuliahku. Ke empat, aku
menyukaimu. ukhti…!”
Mendengar perkataannya itu, aku
hanya diam seribu bahasa. Aku tertunduk layu sampai tak kusadari tangannya
mengangkat dahiku. Aku jadi sedikit kaget karena wajah kak Feri sudah sangat
dekat dengan wajahku.
Dan tanpa kusangka, ”Eemmmfff… Mmmmh…
Clep.. Cclpot…!” bibirnya segera membungkam bibir mungilku. Yang aneh, aku tak
menolaknya. Bukannya berontak, aku malah menikmati pagutannya itu. My pinky
area di balik jubahku juga mulai berdenyut-denyut meminta untuk diperlakukan lebih.
Aku hanya bisa memejamkan mata menikmati ciuman dan cumbuan Kak Feri.
”Eemmh.. Mmff..” Begitu
terangsangnya aku sehingga aku memeluk pundaknya saat kak Feri menarik
pinggulku ke arahnya. Ooough… terasa sekali gundukan batang Kak Feri di balik
celana tipisnya. Jilatan lidah laki-laki itu membuatku melayang, karena belum
pernah aku diperlakukan seperti itu.
Lima menit berlalu dengan begitu
cepat. Ciuman
kami sudah semakin panas. Tanganku kini sudah beralih ke kepalanya, berusaha
untuk menekan lebih ke dalam mulutku, sementara kedua tangan Kak Feri mulai
menarik ke atas jubah panjangku, seperti salah satu adegan di film Ghost, saat
kedua insan sedang menikmati seks.
Tak terpikirkan olehku, akan
bercinta untuk kedua kalinya dengan tetap mengenakan jilbab dan jubahku. Saat
itu, posisi kami masih berpelukan. Kak Feri mendorongku ke arah tembok, hingga
aku bersandar pada dinding yang lembab. Lumut-lumut hijau yang menempel dan
mengotori jilbab putihku, tidak kuhiraukan. Yang penting adalah, sensasi ciuman
dan jilatan lidah Kak Feri yang seolah ingin menyedot lidahku ke dalam mulutnya,
jangan sampai hilang.
“Ooough… Eemmmmh… Sssshhh…!”
perlahan tapi pasti, pinggul, paha, dan betisku yang terbalut stoking berwarna
krem terpampang sudah. Tak mau ketinggalan, tangan kananku secara refleks
menurunkan resleting celana Kak Feri dan berusaha mengeluarkan batang kemaluannya
yang sering aku bayangkan saat bermasturbasi, yang sudah pernah kurasakan
sebelumnya.
”Besar sekali, Kak…” bisikku
padanya.
Awalnya aku kesulitan untuk
mengeluarkannya, namun dengan bantuan Kak Feri, akhirnya aku bisa manarik ayam
jagoku itu dari sangkarnya. Kini di depanku, mengacung sebuah batang besar yang
terlihat tegak menggoda. Saat aku sedang terkagum-kagum, giliran kak Feri yang
menyelinap masuk ke balik celana dalam merah mudaku yang sudah basah sejak aku
menaiki tangga pertama, dan menggelitik disana.
“Oough… Aahhh…” dia seperti
sudah lihai memainkan klitoris. Dipilin-pilinnya benjolan kenikmatan itu sambil
sesekali ia tekan-tekan. Oouhh… sensasinya begitu membuatku melayang. Spontan aku
menengadahkan kepala ke atas sambil memejamkan mata. Posisi itu tak
disia-siakan Kak Feri, tangan kanannya segera menyingkap jilbab lebarku dan
mulai mengecup dan menyedoti leherku.
”Aaawhhh..” aku menggelinjang bercampur
geli yang sangat nikmat. Aku hanya tertawa centil sambil memukul-mukul pundak
Kak Feri saat dia mencium semakin liar. Sesekali dia menggigit dan menyedot
leher dan di bagian belakang telingaku, seolah ingin menyedot semua keringat
yang keluar dari leherku Sementara di bawah, tangannya semakin lincah memainkan
klitorisku, membuatku semakin menjerit dan menggelinjang penuh nikmat.
”Oooh… kak! Iiiih… oough...” Kemaluanku mulai banjir
dan lengket. Kurasakan kak Feri semakin berani memasukkan jarinya ke dalam
lubang kemaluanku, tempat biasa aku pipis. Ooouh… dan aku makin menjerit saat dia
menggelitikkan jari-jarinya di dinding-dinding vaginaku.
”Ooouh… Eemmh…” aku bisa
merasakan nikmat yang tak terhingga atas kelakuannya. Kujepit erat tangan kak
Feri agar rasa itu tidak cepat berakhir. Kak Feri yang mengerti, terus
menggerakkan jarinya. Dan semakin lama menjadi semakin cepat. Hingga
akhirnya...
“Kak, aku mau… pi… piiiisss...”
dan crrr! Crrret! Crresss! Muncratlah cairan vaginaku.
“Aah! Aah! Ssssh! Aaaahhhmmm…!” kupeluk
erat tubuh kak Feri sebagai pelampiasan rasa nikmatku.
“Kamu capek, ukhti?” tanyanya.
Aku hanya menggelengkan kepala
walau keringat sudah membasahi jilbab dan jubahku. Kak Feri segera menarik jemarinya
dan menggendongku, namun, tangannya memangku pada pangkal kedua lututku
sehingga posisiku mengangkang namun kakiku tak mendarat di lantai. Tentu saja, posisi itu membuat lubang memekku
ternganga jelas.
Aku pun bingung. ”Mau kau apakan aku, akhi?” tanyaku. Tapi anehnya,
sambil berkata begitu, aku malah menyingkap celana dalamku tepat di bagian
depan lubang pipisku, dan kak Feri yang melihatnya segera menggoyang-goyangkan
pinggulnya sambil mengarahkan batang penisnya ke lubang memekku.
Akupun membantunya dengan menyingkapkan jubahku yang lebar yang
menghalangi jalan masuknya ayam jagoku ke dalam lubang tidurnya. Vaginaku terasa semakin
senat-senut. Karena baru satu kali dimasuki batang lelaki, maka otomatis
lubangnya pun masih mungil. Area kemaluanku pun masih tampak merah muda kecoklatan,
seolah semua darah bekumpul di sana.
Tak lama kemudian, batang
kemaluan Kak Feri berhasil masuk. Blesss…! Tidak seperti yang pertama, yang ini
terasa lebih mudah. Juga lebih nikmat. Sudah tidak ada rasa sakit sama sekali. Kami
pun memekik berbarengan. “Aaargghhhhhhh…”
Setelah terdiam sejenak, dengan
nafas terengah-engah, kak Feri mulai mengayun-ayunkan tubuhku ke atas dan ke
bawah, menyesuaikan dengan masuk keluarnya batang penisnya yang kini sudah bergerilya
di balik jubah panjangku.
”Oooh… Eemmmh… Aaaaw… Ssssshh…” gesekan-gesekan
yang ditimbulkan membuatku melayang. Terasa begitu nikmat, seperti dua
permukaan karet basah yang saling bergesekan.
Sejak awal, aku terus digendong
Kak Feri. Aku hanya bisa pasrah sambil memegang jubah panjangku agar tak
menghalangi kemaluan kak Feri. Jilbabku sudah kotor oleh lumut, jubahku pun
sudah kusut tak karuan. Tapi aku tak peduli. Bunyi cepakan dari kemaluanku yang
menjepit penis kak Feri semakin membuatku terangsang hebat.
”Ccpak.. Ccpak.. Ccpak…! Plokk..
Plokk.. Plokk…!” Semakin lama semakin nikmat, apalagi saat kak Feri mulai mempercepat
goyangannya.
“Hhah… Hhahhh... Eemmmh…” Kak
Feri mulai meracau, sedangkan aku…
“Kak, aku pipis lagi…!” jeritku sambil
memeluk erat pundaknya. Aku pun orgasme… ”Ccrrrt.. Ccrrrt.. Ccrrt..” tubuhku
lemas, sementara kak Feri masih terus menggenjot batangnya yang terasa semakin
panas di dalam memekku.
“Ayo, kak. Ayo keluarin di dalam
punyaku…” kuberi dia semangat.
Dengan muka merah padam, kak
Feri pun menggeram. “Hhahhh.. Eemmmh… Aaaaaarrgggghhhh…!!!!″ Ccrooot… Ccrooot...
Ccroooot…!!! Tiga kali semburan hangat kurasakan di dalam memekku.
Kak Feri pun menghentikan
goyangannya hingga kakiku kini bisa menginjak lantai. Perlahan jubahku
menjuntai ke bawah sampai mata kakiku, menutupi lagi tubuhku yang sudah setengah
telanjang. Sementara kontol kak Feri berangsur-angsur lemas dan keluar dengan
sendirinya dari lubang pipisku.
“Kak Feri janji akan bertanggung
jawab kalau aku hamil?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya.
“Aku janji, ukhti…” jawabnya
terengah-engah.
Waktu menunjukkan jam setengah
lima sore, saat langit mulai menghitam. Toilet dan bekas gesekan jilbabku di
tembok berlumut itu menjadi saksi bisu percintaanku dengan kak Feri.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar