Terus terang tak pernah aku
berpikir bisa berbuat seperti ini sebelumnya. Di kalangan masyarakat komplek perumahan yang kutinggali, aku termasuk
ibu rumah tangga yang alim dan terhormat. Aku sangat mencintai suamiku, Mas
Wardi, yang berusia 38 tahun, cukup ganteng, punya jabatan pula, dia adalah
seorang insinyur dan manager dari sebuah perusahaan konstruksi.
Aku sendiri Ani, 32 tahun, cukup cantik, bahkan menurut tetanggaku aku sangat cantik, hingga mereka bilang aku mirip Annisa Trihapsari, itu lho artis cantik mantan istri Adjie Pangestu yang sekarang berjilbab. Sama seperti dia, setiap keluar rumah, aku selalu memakai jilbab panjang yang tersampir hingga ke pinggang, lengkap dengan jubah panjang yang menutupi seluruh tubuhku. Aku pun aktif di pengajian-pengajian yang sering diadakan di sekitar rumahku.
Memang kuakui aku agak kesepian.
Sejak 5 tahun perkawinan, kami belum juga dikaruniai anak. Saat-saat suami tak
di rumah, aku sering khawatir dan cemburu, takut dia mencari perempuan lain
yang bisa memberikan anak. Demikian pula
saat suami sedang sibuk atau lelah dan tak banyak ngomong, aku sudah cepat
curiga dan cemburu pula. Aku sering membesarkan hati sendiri, bahwa tak ada yang
kurang dari diriku. Pakaian islami, tubuh sintal, kulit putih, ukuran payudara
36B, pantat pun masih montok, tak mungkinlah suamiku mencari wanita lain di
luar sana.
Demikianlah pada suatu ketika karena aku ada sedikit gangguan kesehatan, aku pergi berobat ke sebuah poliklinik posyandu yang tidak jauh dari rumahku. Biasanya suamiku sendiri yang mengantar ke RS Medika Kuningan, tetapi karena sedang tugas keluar kota jadi aku harus ke dokter sendiri. Hari itu aku memakai jubah panjang yang berwarna putih serta jilbab berwarna merah muda yang juga panjang.
Saat aku turun dari angkot, nampak
di ruang tunggu posyandu sudah penuh orang. Tetapi aku santai saja karena
memang tak ada urusan yang menunggu sehingga harus buru-buru. Mas Wardi, keluar
kota untuk 1 minggu sejak kemarin pagi. Aku juga tak perlu masak memasak. Kami
berlangganan makanan dari tetangga yang mengusahakan catering.
Sesudah beberapa saat menunggu,
aku berasa kepingin ke toilet untuk kencing. Sesudah melalui lorong poliklinik
yang cukup panjang dan kemudian deretan pintu toilet untuk lelaki aku sampai ke
toilet perempuan. Pada saat inilah peristiwa itu terjadi hingga melahirkan cerita ini.
Tanpa sengaja, saat melewati
toilet lelaki, aku menengok ke sebuah toilet yang pintunya menganga terbuka.
Aku langsung tertegun dan sangat kaget, seakan tersengat listrik. Kusaksikan
seorang lelaki sedang berdiri kencing dan kulihat jelas pancuran kencingnya
yang keluar dari kemaluannya yang nampak tidak tersunat. Yang membuat aku
tertegun adalah kemaluan lelaki itu, sungguh luar biasa gede dan panjang.
Dalam pandangan yang singkat itu
aku sudah berkesimpulan, dalam keadaan belum ngaceng saja sudah nampak sebesar
pisang tanduk. Aku tak mampu membayangkan sebesar apa kalau kemaluan itu dilanda birahi
dan ngaceng. Aku masih tertegun saat lelaki itu menengok keluar dan melihat aku
sedang mengamatinya. Entah sengaja atau tidak, dia menggoyang-goyangkan
kemaluannya itu. Mungkin untuk menuntaskan kencingnya, atau juga untuk
memamerkannya padaku. Entahlah...
Aku cepat melengos. Aku malu
dikira sengaja untuk melihatinya. Dan aku juga malu pada diriku sendiri, sebagai
istri ataupun wanita sebagaimana yang aku gambarkan di atas tadi. Tetapi
entahlah. Barangkali lelaki tadi telah sempat melihat mataku yang setengah
melotot melihat kemaluannya. Aku sendiri jadi resah. Hingga sepulang berobat
itu perasaanku terus terganggu.
Aku akui, oleh sebab peristiwa
itu, selama aku menunggu panggilan dari petugas poliklinik, pikiranku terus
melayang-layang. Aku tak mampu menghilangkan ingatanku pada apa yang kusaksikan
tadi. Mungkin aku tergoda. Dan tidak sebagaimana biasanya, libidoku terganggu.
Bayangan akan seandainya kemaluan sebesar itu menembusi vaginaku terus mengejar
pikiranku. Jantungku terus berdegup kencang dan cepat. Entah apa yang kumaui
kini. Kenapa aku jadi begini?! Seorang Ani Nurul Hidayah yang cantik,
terhormat, dan alim tak boleh berpikir seperti ini!
Tapi aku malah mulai
mencari-cari, siapa sebenarnya lelaki itu. Kutengok-tengok di antara
pengunjung yang berada di ruang tunggu dan juga sepintas yang ada di teras dan
halaman kebun, namun aku tak pernah menjumpainya lagi. Khayalanku bahkan terus bergerak
menjadi demikian jauh. Kubayangkan seandainya kemaluan macam itu berdiri tegak
macam Tugu Monas. Dan aku berada di dekatnya hingga hidungku disergap aroma
kelelakiannya sambil aku membayangkan menjilati kemaluan tegak itu. Ahh.. Tanpa
sengaja tanganku memilin puting susu dari balik jilbab panjangku. Rasa gatal
kurasakan pada ujung-ujung pentilku, begitu hebat.
Dua hari kemudian. aku sedang menyirami kembang di halaman saat aku dengar tukang pengumpul koran lewat depan rumahku, "Koran bekas.. Koraan..." teriakannya yang khas kudengar. Sudah lebih dari 3 bulan koran bekas numpuk dekat lemari buku. Aku pikir kujual saja untuk mengurangi sampah di rumah.
Tanpa banyak pikir lagi, "Bang, tunggu, saya punya koran bekas, tuhh..." sambil aku beranjak memasuki rumah untuk mengambilnya. Namun ternyata koran sebanyak itu cukup berat. Kuputuskan, biar si Abang itu saja yang mengambilnya. Kusuruh dia masuk sambil sekalian bawa timbangannya. Sesudah mengikatnya dengan rapi dan menimbangnya, dia memberikan Rp. 10.000, padaku untuk harga koran itu.
"Terima kasih, Bu.." Dan aahh.. Kurang ajar bener nih Abang. Saat menyerahkan uang di ruang tamu rumahku itu, tangannya setengah meraih dan kurasakan hendak meremas tanganku. Aku tarik secepatnya dan.. Aku kaget. Bukankah ini lelaki yang kulihat di poliklinik kemarin?!! Orang yang telah membuat jantungku berdebar keras-keras.
Semula aku hendak marah, namun
kini ragu. Hatiku bicara lain. Bukankah dia yang telah mampu membuat aku resah
gelisah. Bu Ani yang alim ini kini tertegun penuh birahi di hadapan seorang
kuli pengumpul koran bekas. Tak terelakkan mataku mencari-cari. Mataku menyapu
pandang pada tubuhnya. Berbaju kaos oblong sisa kampanye Pilpres I yang berlogo
salah satu calon presiden itu, aku memperhatikan gundukan menggunung pada
selangkangannya yang bercelana jeans kumel. Namun bila dilihat lebih jelas
lagi, ternyata Abang ini bersih dan.. Sangat jantan!
"Hahh... rasanya saya pernah lihat Abang ini, deh," begitu aku berpura kelupaan. Dia melihati aku dengan pandangannya yang tajam menusuk. Terus terang, aku jadi takut dan bergidik. Mau apa dia?
Dan yang terjadi adalah langkah pasti seorang pejantan, "Yaa.. kita ketemu di poliklinik, bu. Waktu itu ibu menengok saya yang sedang kencing?!"
Aku nggak setuju dengan tuduhannya itu. Namun apa sih artinya. Toh terbukti dia telah menggetarkan jiwaku. Dan dengan penuh percaya diri yang disertai senyumannya yang mesum, dia mendesah berbisik. "Aku sering berselingkuh dengan perempuan di luar istriku, Bu. Aku tahu kebanyakan perempuan suka dengan apa yang aku punya. Aku sangat tahu, Bu," dengan bisik desah serak-seraknya, tanpa ragu dia membanting dan merobek-robek harga diriku.
Dan yang lebih hebat lagi. "Nih,
Ibu mau lihat?" tanpa ragu lagi dia cepat membuka celananya dan
mengeluarkan kemaluannya yang masih belum tegak berdiri.
Namun aku sekarang menjadi sangat ketakutan. Bagaimana seandainya dia bukan hanya menarik hati saja tetapi juga berbuat jahat atau kejam atau sadis padaku. Apa jadinya? Ahh, dia telah melumpuhkan pertahanan diriku yang berjilbab panjang ini.
"Nggak, Bang. Cukup. Terima
kasih. Sudah, tinggalkan saya. Tinggalkan rumah ini," kataku panik, cemas, takut
dan rasanya pengin nangis atau minta tolong tetangga. Tetapi semuanya itu
langsung musnah ketika tanpa terasa tanganku telah berada dalam genggamannya
dan menariknya untuk disentuhkan dan digenggamkan ke batang kemaluannya yang
kini telah bangkit membusung, dengan sepenuh liku ototnya, dengan semengkilat
bening kepalanya, dengan searoma lelaki yang menerpa dan menusuk sanubariku.
"Lihat dulu, Bu. Jangan takut. Saya nggak akan menyakiti ibu, kok," bisiknya setengah bergetar, terdengar begitu penuh pengalaman dan sangat menyihir. Dan aku benar-benar menjadi korban tangkapannya seperti rusa kecil dalam terkaman singa pemangsanya.
"Lihat dulu, Bu. Jangan takut. Saya nggak akan menyakiti ibu, kok," bisiknya setengah bergetar, terdengar begitu penuh pengalaman dan sangat menyihir. Dan aku benar-benar menjadi korban tangkapannya seperti rusa kecil dalam terkaman singa pemangsanya.
"Lihat dulu, Bu..."
sekali lagi diucapkannya. Kali ini dengan tangannya sambil meraih kemudian
menekan bahuku untuk bergerak merunduk atau jongkok. Dan sekali lagi aku
menjadi begitu penurut. Aku berjongkok. Dan kusaksikan apa yang memang sangat
ingin kusaksikan dalam 2 hari terakhir ini.
Aku yang masih mengenakan jilbab panjang berwarna hitam ini kini tengah berhadapan langsung dengan kemaluan seorang pria yang bukan suamiku, dan aku tengah terangsang. Ini bukan saja pesona. Ini merupakan sensasi bagi aku, Ibu Ani yang santun dan alim, istri manager yang juga insinyur itu.
Kini aku bergetar. Dengan
jantungku yang berdegup-degup memukul-mukul dada, mataku nanar menatap kemaluan
lelaki lain. Sungguh aku terpesona. Kemaluan itu nampak sangat keras bak laras
meriam yang lobangnya mengarah ke wajahku. Aku menyaksikan lubang kencingnya
yang menyihir libidoku. Aku menyaksikan kontol yang dahsyat itu. Aku langsung
lumpuh dan luluh. Aku terjerat pesonanya.
Demikian pula saat kusaksikan ujung meriam itu mendekat, mendekat, dan makin mendekat hingga menyentuh pipiku, hidungku dan bibirku. Yang kemudian kudengar adalah sepertinya 'suara jauh dari angkasa' yang penuh vibrasi, "Jilat, Bu Jilbab, Hisap kontol saya. Banyak kok ibu-ibu pengajian yang sudah menikmati ini juga. Hisap kontolku, Bu. Aku ingin merasakan bibir Bu Jilbab yang sangat cantik dan seksi ini. Aku ingin merasakan hisapan mulut ibu yang pake jilbab panjang ini."
Tangan kanannya menekan kepalaku
yang masih berbalut jilbab dan tangan kirinya mengasongkan kontolnya ke
mulutku. Bagaimana aku mampu mengelak sementara aku sendiri merasa lumpuh,
sendi-sendiku tak bisa digerakkan. Aku merasakan ada asin-asin di lidahku. Aku
tersadar. Aku jadi sepenuhnya sadar, namun segalanya sudah terlambat. Hisapan
itu tengah berlangsung. Aku tak mampu menghindar, baik dari kekuatan fisikku
maupun dari tekad yang dikuasai rasa bimbang.
Tidak lama. Mungkin baru
berlangsung sekitar 1 atau 2 menit saat kontol itu terasa semakin mengeras dan
memanas. Mulutku penuh dijejali bongkol kepalanya yang menebar rasa asin itu.
Sambil berdiri mengangkangi aku yang jongkok di depannya, si Abang dengan
sangat kuat mendorong-dorong kepalaku dan menggoyangkan pinggulnya mendorong
dan menarik kontolnya ke mulutku. Lagi, lagi, dan lagi. Hingga nyaris membuatku
tersedak. Rasanya ujung kontol itu telah merangsek maju mundur ke gerbang
tenggorokanku. Kedutan-kedutan besar yang disertai semprotan-semprotan lendir
kental yang hangat penuh muncrat ke haribaan mulutku. Aku tahu persis, si Abang
telah menumpahkan air maninya ke mulutku!!
Dan kemudian yang tak kuduga sebelumnya adalah saat dia memencet hidungku hingga dengan ngap-ngapan aku terpaksa menelan tuntas seluruh cairan kentalnya dan membasahi tenggorokanku. Sepertinya aku minum dan makan kelapa muda yang sangat muda. Lendirnya itu demikian lembut memenuhi mulut untuk kukunyahi dan terpaksa menelannya. Bahkan pada suamiku aku tak pernah merasakan macam ini. Rasanya aku akan jijik dan tak akan pernah melakukannya pada Mas Wardi.
Aku masih tertegun dan setengah
bengong oleh rasa yang memenuhi rongga mulutku saat dia menggelandangku ke
kamar tidurku. Dengan tenaga kelelakiannya, dia angkat dan baringkan tubuhku ke
ranjang pengantinku. Entah kekuatan apa, aku tak mampu mengelakkan apa yang si
Abang ini perbuat padaku. Dia lepasi busanaku. Dia tarik hingga robek jubahku.
Demikian pula pakaian dalamku. Namun yang aneh, dia menyisakan balutan jilbab
panjang berwarna hitam, tetap menempel di kepalaku. Dia renggut BH-ku seketika
hingga aku juga yakin kancing-kancingnya lepas. Dan tak ayal pula direnggutnya celana
dalamku. Dia ciumi celana itu sambil menebar senyuman birahi dari gelora
syahwatnya yang sedang terbakar gairah. Kemudian ia rebah menindih tubuh
telanjangku.
"Bu muslimah, biar saya buat ibu ketagihan yaa. Nikmati kontolku, Bu. Mahal nih. Gak sembarang ibu-ibu bisa merasakannya. Saya pilih-pilih orangnya," begitu suara orang yang dilanda prahara birahi sambil tangannya meremasi pinggul kemudian bokongku, sementara bibirnya yang demikian tak terawat nyosor untuk melumat bibirku.
Aku berusaha menolaknya. Rasa
jijik dan enggan menderaku. Namun sasaran berikutnya benar-benar membuat aku
menyerah. Dia kemot-kemot pentil susuku. Dia gigiti dagingnya. Entah berapa
lama dia hisep dan jilat seluruh tubuhku hingga meninggalkan cupang-cupang
kotor pada seluruh permukaan kulit buah dadaku, leherku, bahuku, bahkan ketiakku.
Kemudian ciumannya turun ke perut, ke selangkangan, ke pahaku. Dan adduuhh..
Ini sungguh sangat keterlaluan. Dia menjilati liang vaginaku! Tapi aku tidak
bisa menolak, karena aku juga menikmatinya. Rasanya sungguh geli, tapi sangat
enak. Suatu kenikmatan hubungan seksual yang belum pernah aku dapatkan dari
suamiku.
Dan ketika puncak birahinya
datang, si Abang ini naik merangsek dan menindih kembali tubuhku. Kurasakan
kontolnya mulai menggosok-gosok paha dan selangkanganku. Aku sudah benar-benar
terbius. Dorongan nafsu birahiku sudah berada di ambangnya. Aku sudah tak mampu
lagi menahannya. Kini desah, rintih, jerit tertahan keluar dari mulutku dan
memenuhi kamar pengantinku yang sempit ini.
"Tolong, Bang.. Ayo, Bang..
Aku sudah nggak tahan.. Toloong.. Enak banget, Bang.. Aku cinta kontol abang..
Biar aku minum lagi pejuh abang nanti ya..." kuraih kemaluan besar itu
dengan cepat dan kutuntun untuik menembusi kemaluanku yang sudah sangat
menantinya.
Masih dalam upaya penetrasi,
dimana ujung kontol dahsyat itu sedang menerpa-terpa bibir kemaluanku ketika
aku meraih orgasme pertamaku. Aku kembali menjerit dan mendesah tertahan.
Kulampiaskan nafsu syahwatku. Kurajam pundak si Abang dengan cakarku.
Kuhunjamkan kukuku ke dagingnya. Rasanya kemaluanku demikian mencengkeram untuk
mempersempit kepala kemaluan itu menembusinya. Namun rasa gatal ini sangat
dahsyat. Si Abang cepat menerkam bibirku sambil mendesakkan kontolnya dengan
kuat ke lubangku. Dan bless..! Aku langsung diterpa orgasme keduaku. Ahh..
Inikah yang disebut orgasme beruntun? Hanya selang 10 detik aku mendapatkan
kembali orgasmeku. Ternyata memang inilah dia.
Dalam hujan keringat yang menderas dari tubuhku dan tubuhnya selama dua jam hingga jam 4 sore, aku mendapatkan orgasme beruntunku hingga sekitar 10 atau 12 kali. Aku tak mungkin melupakan kenikmatan macam ini. Aku tertidur karena puas dan lelah yang kudapatkan.
Aku terbangun saat kupingku
mendengar telpon berdering. Aku bangun dan lari untuk mengangkatnya,
"Sayang, apa kabar? Sehat? Aku sedang berada di pusat kerajinan di
Balikpapan, nih. Banyak barang-barang artistik disini. Pasti kamu senang. Mau dibeliin apa?"
demikanlah kebiasaan suamiku kalau bertugas keluar kota. Dia selalu menyempatkan diri mencari
barang-barang kerajinan asli setempat. Dia tahu aku sangat menyenangi
barang-barang macam itu.
Kasihan, sementara dia bekerja
keras jauh dari rumahnya, dia telah kehilangan permatanya. Ternyata dengan gampang
aku telah meninggalkannya dalam selingkuhku dengan si Abang. Masih pantaskah
aku menjadi istri yang alim dan terhormat?Kulihat si Abang telah pergi. Mungkin
sebelum aku terbangun tadi.
Tumpukan koran itu telah
dibawanya. Kulihat barang-barangku yang lain tak ada yang berubah dari tempatnya. Ah,
terkadang kita cepat curiga dengan orang lain yang kelasnya seakan di bawah
kita.
Aku masih termangu hingga sore
mengendap dan menggelap. Bibir dan dinding kemaluanku masih terasa pedih. Aku
nggak tahu. Aku ini menyesal atau tidak atas selingkuh yang telah aku perbuat. Bahkan aku juga lupa Mas
Wardi mau belikan apa tadi?! Yang aku mencoba mengingatnya hanyalah sekitar 5
atau 6 kali aku telah meraih orgasme dalam berasyik masyuk sepanjang 2 jam
dengan Abang pengumpul koran bekas tadi. Mungkin itu akan menjadi rekor seumur
hidupku.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar