PROLOG
“Ahh…
ahh… ahh… lebih cepat… ouhh!” suara Rika terdengar semakin keras, seolah
berpacu dengan waktu. Dan kugenjot Mr. P-ku semakin cepat dan kencang ke dalam
Miss V-nya dengan posisi aku di atas. Tubuhnya pun menanggapi, bokongnya
bergoyang dan semakin menegang, sepasang buah dadanya yang tidak begitu besar
pun, bergerak naik turun mengikuti iramaku.
Lalu
setelah posisi Woman On Top, suaranya masih memburu, ”Ahh… ahh... auh...”
Berganti Doggy style, Rika sepertinya tambah
menikmatinya. “Ahh… ahh… ahh… hmm… bentar lagi, sayang. Cepat! Ahh... ahh...
ah…” suaranya terus berkumandang, sampai tiba-tiba Hapeku ku berdering sangat
kencang…
“Ahh…
ahh… yes… oh my God! Ahh… ahh… ahh… yes, oh my God!” begitulah bunyi Ringtone
hapeku, suara seksi Silvia Saint yang kurekam kemaren dari film porno
terbarunya keluaran Private, yang seakan bersaing dengan suara Rika yang masih
memburu.
“Ohh…
yessssss! Ahh… sudah, darling!” lirih Rika pelan karena “O” dan kecapekan.
Segera
kucabut Mr. P-ku dari sarangnya dan kuangkat hape yang masih terus berdering.
“Ah, siapa sih telpon pagi-pagi begini? Sialan, mana lagi asyik-asyiknya.” aku
bergumam.
Ternyata sekretaris Bosku. “Halo, Shin. Maap tadi
aku lagi di WC, tidak dengar suara hape bunyi.” kataku menjawab. Sementara itu
Rika asyik memainkan Mr.P-ku dengan mulutnya, bergantian dengan tangannya. Memang
dasar tuh anak.
“Jok, gimana sih, ini sudah jam 8 lewat, kok kamu
belum kesini? Kita kan mau take off dari bandara jam 10 nanti. Ini Ibu dan
anggota rombongan yang lainnya sudah pada ngumpul disini, kamu langsung nyusul
sendiri aja ke Bandara ya, nanti ketemu disana! Cepat ya!” wanita di ujung
telepon menjawab.
“Hah, udah jam 8 lewat toh, kirain masih jam 6. Oke-oke,
aku segera ke bandara, sorry ya.” jawabku sambil menutup hape. Lalu, crootz!
Tak terasa Mr. P-ku pun sudah menyemburkan isinya ke seluruh sprei tempat
tidur. Ah, lemes aku.
“Ah, darling…” suara Rika lirih mengakhiri, sebelum
ia pun tertidur.
Lalu aku pun cepat-cepat pergi ke kamar mandi
dengan tubuh masih lemas lunglai. “Gila, aku maen 3 ronde dari kemarin subuh,
gak terasa maen sampe jam 8 pagi. Hehehe…” pikirku sambil coba-coba
membayangkan apa saja yang sudah aku lakukan semalaman dengan Rika, gadis yang
baru aku kenal kemarin malam di sebuah kafe tempat aku biasa nongkrong.
“Kenal baru sejam, dapet 3 ronde, nomer telpon aja
belum punya, dasar aku lagi beruntung!” aku senyum-senyum sendiri. “Sialan si
Andre, udah tau aku mau ada tugas ke luar kota hari ini, kemaren malah ngajakin
ke kafe sampe larut, jadinya lemes deh, harus minum doping nih.” batinku.
Selesai mandi, pake baju, lalu cabut deh dari
Hotel. Si
Rika kubiarkan saja tidur pulas. “Bye-bye, Rika.“ ucapku lirih sambil kukecup
pipi dan keningnya. Dia diam saja, masih tertidur pulas. Kutulis pesan dan
nomer hapeku di secarik kertas, kuletakkan di meja samping tempat tidurnya.
Tapi lalu kuambil lagi kertas itu, kurobek-robek
dan kubuang ke tempat sampah. “Ah, buat apa ngasih nomer telpon, ntar besok gue
juga udah lupa ama dia, ntar bisa cari cewek lain yang masih banyak.” pikirku. “Ini
kan hanya ML karena seks semata, bukan cinta.” tambahku lagi sambil keluar
kamar meninggalkan Rika sendirian.
Aku mampir sebentar ambil koper dan ganti baju
kerja di rumah kontrakan, lalu buru-buru naik taksi ke Bandara. Dalam
perjalanan ke Bandara yang kurang lebih setengah jam itu, kubuka-buka laptopku
untuk mengecek jadwal-jadwal tugas dan rencana kerja disana nanti.
Oh ya, kita belum kenalan ya? Namaku Joko Sapto
Sumarno Legowo, panjang ya? Jowo banget ya? Tapi kalian cukup panggil aku Joko aja,
hehehe. Umurku menginjak 28, tahun ini. Dari kecil sampe sekarang, aku
dibesarkan di lingkungan Jawa yang kuat, di sebuah kota di tengah-tengah pulau
Jawa. Tapi sekarang, karena tuntutan pekerjaan, aku tinggal di pulau
Kalimantan, di kabupaten Kutai Kertanegara tepatnya.
Ayahku seorang pensiunan TNI, yang sekarang jadi
pengusaha pembuat blangkon dan keris. Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD
selama 10 tahun. Sedangkan Ibuku mantan penari Jawa yang cukup top dulu, menari
dari satu kota ke kota lain sebelum dinikahi oleh ayahku. Mempunyai 2 orang
anak, aku yang paling besar, dan adikku cewek yang beda jauh usianya, masih
duduk di kelas dua SMP sekarang.
Setelah lulus dari fakultas hukum sebuah
universitas negeri ternama di kotaku, aku sempat magang di sebuah kantor
konsultan hukum di Ibukota selama setahun, sebelum 2 tahun lalu koneksi ayahku
mengenalkanku dengan seseorang yang katanya butuh asisten untuk pekerjaannya.
Orang itu ternyata Ibu Rita Widyasari, yang
sekarang telah menjadi Bupati Kutai Kartanegara. Menjabat mulai tahun 2010
hingga 2015. Waktu itu Bu Rita masih dalam masa kampanye untuk pencalonan
dirinya sebagai Bupati, berpasangan dengan wakil bupati Gufron Yusuf. Bu Rita
adalah anak kedua dari mantan Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais.
Aku diminta oleh beliau untuk membantu pekerjaannya
sebagai asisten pribadi, yang bertugas menangani masalah hukum dan merangkap
marketing dan pengumpul dana kampanye. Bu Rita terjun ke dunia politik melalui
Partai Golkar. Sebelum menjadi Bupati Kukar, Bu Rita sempat menjadi Ketua DPRD
Kukar hasil pemilu legislatif 2009. Aktivitasnya di dunia organisasi tercatat
di KNPI.
Ingin mengembalikan kejayaan sang ayah, itulah
salah satu alasan yang membuat Bu Rita maju ke perebutan kursi Bupati Kukar. Meski
sang ayah tersangkut kasus korupsi, Bu Rita tetap bisa memenangkan pilkada, dan
aku pun diangkat sebagai kepala asisten pribadi beliau, yang mengepalai para
asisten-asisten Bupati.
Di usianya yang sudah 37 tahun, Bu Rita sempat jadi
pemberitaan di media massa sebagai bupati tercantik di Indonesia, sebelum
dikalahkan oleh Christiany Eugenia Paruntu, Bupati Minahasa Selatan. Bu Rita juga
disebut-sebut sebagai Bunga Demokrasi di Indonesia.
Posisiku sebagai kepala asisten membuatku cukup
dekat dengannya. Meskipun sebagian besar masalah pekerjaan, tapi kadang-kadang
Ibu Rita juga bercerita tentang keluarganya, atau selalu menggoda aku yang
masih saja suka ’menjomblo’ sampe sekarang.
Meski di ceritanya dia selalu menceritakan kebaikan
dan kebahagian keluarganya, tapi itu tidak bisa menutupi kegalauan hatinya. Banyak
orang di kabupaten ini, terutama di lingkungan pemerintahan, sudah mengetahui
bahwa hubungan Ibu Rita dengan suaminya tidaklah harmonis. Suaminya lebih
sering ke luar negeri mengurus usahanya daripada menemani Bu Rita di sini. Itulah
yang membuat hubungan mereka semakin renggang. Sampai ada kabar beredar bahwa
suami Bu Rita sudah menikah lagi, meskipun tidak ada bukti yang menguatkan hal
itu. Ah gosip, tidak boleh terlalu dipikirin.
***
KUNJUNGAN KERJA
Setelah setengah jam di taksi, sampailah aku di
bandara. Semua anggota rombongan ternyata sudah menunggu disana, aku peserta
terakhir yang tiba. Rencananya Bu Rita dan rombongan akan mengadakan Kunjungan
Kerja (KunKer) ke Denpasar dan sekitarnya selama 3 hari.
Rombongan terdiri dari Ibu Bupati, sekretarisnya
Shinta, aku sebagai kepala asisten pribadi, dan 2 orang anak buahku, serta 5
orang wakil pengusaha lokal. Rencana KunKer ke Bali ini dalam rangka studi
banding untuk pengembangan industri dan bisnis pariwisata di kabupaten Kukar.
Bu Rita punya gagasan untuk bikin Area wisata
Pemancingan terbesar di Asia, membuat kawasan khusus wisata malam, dan
meningkatkan potensi-potensi wisata alam yang banyak tersebar di wilayah Kukar,
termasuk adanya pemandian air panas dan danau yang airnya berwarna-warni, danau
’Pelangi’ kalo orang-orang Kukar menyebutnya.
Pesawat take off terlambat, jam 11.00 ternyata baru
berangkat. Sialan, udah buru-buru dateng, malah telat terbangnya. Yah, beginilah wajah
perusahaan penerbangan Indonesia. Ada kerusakan teknis katanya. Kugunakan waktu
nunggu itu untuk tidur sejenak di bangku tunggu Bandara, badanku masih lemas
nih, dan Mr.P-ku masih berdenyut-denyut. Hehehe.
Di dalam pesawat, aku berdoa sepanjang waktu tiada
henti. “Semoga selamat, ya Tuhan. Tidak ada apa-apa di penerbangan ini.” begitu
doaku selama dua jam penerbangan ke pulau Bali.
Soalnya satu minggu lalu ada kecelakaan hebat di
Papua, dimana semua penumpangnya tewas, pesawatnya sama persis dari Airlines
yang aku naiki ini, dan alasannya sepele, karena pilotnya mengantuk, katanya. Pas mau mendarat, dia
kebablasan dan keluar jalur untuk landing. Gila khan, emang pilotnya dugem
semalaman apa?!
Tuhan ternyata masih memberiku hidup, hehehe. Pesawatku
selamat tiba di Bandara Ngurah Rai. Selamet, selamet, tak hentinya aku mengucap
syukur. Dari Bandara, dengan diantar rombongan penjemput dari pejabat kota
denpasar, kami rombongan langsung diantar menuju ke Hotel di kawasan pantai
Kuta. Sebenarnya sudah disediakan hotel di Denpasar oleh mereka, tapi kami atas
usulanku menolaknya. Alasanku kalo di Kuta, biar lebih dekat obyek wisata yang
dituju gitu lho. Dan lagian, aku dapet discount 50 persen tarif hotel itu
karena pemiliknya masih saudara kakaknya eyangnya adik iparnya Ibu saya ( jauh
banget hubungannya ya? Hehehe.)
Acara pertama begitu tiba di hotel : istirahat…!!!
***
HARI PERTAMA
Acara hari pertama sesampai di Bali dimulai jam
15.00 dan berakhir waktu Subset. Kita mengadakan kunjungan bersama wakil-wakil
pemerintah kota Denpasar dan Kuta, melihat obyek-obyek wisata menarik di Kuta
dan sekitarnya, sambil menikmati indahnya Sunset di tepi pantai Kuta.
Malamnya ada acara pertemuan dan jamuan Dinner dari
Pemda Denpasar. Jamuan diadakan di rumah dinas walikota Denpasar sambil bertemu
dengan pejabat-pejabat pemda dan beberapa pengusaha dan investor lokal yang
berniat investasi bidang pariwisata di kabupaten Kukar. Acara berlangsung dari
jam 8 sampe 10 malam. Lalu rombongan kami diantar kembali ke Hotel di Kuta.
“Wah, badanku capek sekali, gara-gara semalam nih.”
pikirku ketika merebahkan tubuh ke kasur sambil mulai memejamkan mata sejenak.
Aku sekamar berdua dengan Jeffrie, anak buahku. Bu
Rita di kamar presidential suite sendirian, suaminya tidak mau ikut, lagi
sakit, katanya. Shinta, sekretarisnya, sekamar dengan Ani, anak buahku yang
lain. Sedangkan anggota rombongan para pengusaha lokal, sendiri-sendiri di
kamar yang berbeda.
Sambil memejamkan mata di atas kasur, kucoba
mengingat-ngat lagi kejadian semalam sampai tadi pagi bersama Rika. Kubayangkan
lekuk tubuh mulusnya, dengan sepasang dadanya yang tidak terlalu besar tapi
kencang dan sempurna menurutku. Desahan-desahan suaranya yang menggelora dengan
keras, dan bulir-bulir keringat yang keluar bercampur wangi parfum yang
menggoda.
Tak terasa badanku mulai panas, darah sudah mulai
naik ke kepala ketika aku mengingat-ingat kejadian semalam dengan Rika itu,
sampai bunyi HP membuyarkan lamunanku.
“Ahh…
ahh… yes… oh my God! ahh… ahh… ahh… yes… oh my God!” bunyi ringtone HP-ku
berbunyi.
Si
Jeffrie tertawa mendengar suara ringtone HP-ku. “Wah, gila lu, bro. Ringtone HP
lu keren banget, hahaha.” ucap Jeffrie.
Aku
cuek aja sambil tersenyum mengangkat HP-ku. “Halo... oh, Bu Rita. Ada apa, Bu?”
tanyaku.
“Jok,
coba kamu ke kamar saya sebentar. Ada yang mau saya bicarakan tentang kunjungan kerja dan
acara-acara besok pagi.” jawab Bu Rita.
“Oke, Bu. Saya segera kesana. Sebentar, saya ganti
baju dulu, Bu.” ujarku. Lalu setelah itu kulangkahkan kaki keluar kamar, menuju
kamar Presidential Suite yang ada di lantai 3 hotel.
Di dalam, kulihat Bu Rita masih mengenakan pakaian
kerja yang dipakai di acara tadi, rupanya dia belum sempat ganti pakaian. Kamar
presidential suite begitu besar, tempat tidurnya King Size, ada dapur kecil dan
meja makan, kamar mandi besar dengan bath up Jacuzzi yang juga besar, TV 29
inch, dan lemari es.
Di meja makan ruangan itu, kami berdiskusi tentang
acara-acara besok dan evaluasi hasil rangkuman pertemuan tadi. Kurang lebih
hampir 1 jam kami berbincang sambil sesekali menenggak minuman kaleng yang
tersedia. Saat itulah, ketika aku mau mengambil secarik kertas di meja, tak
sengaja tanganku menyenggol sekaleng Cola dan tumpah ke baju Bu Rita.
“M-maaf, maaf, Bu. Saya tidak sengaja, biar saya
ambilkan handuk di kamar mandi.” kataku gugup, takut beliau marah.
“Ah, nggak apa-apa, Jok. Biar saya ambil sendiri. Eh,
saya sekalian mandi dulu aja ya, badan cukup lelah tadi jadi biar segar lagi.”
jawab Bu Rita.
“Oh iya, Bu, silahkan. Kalo begitu saya kembali ke
kamar dulu ya, Bu.” kataku.
“Lho, kan pembicaraan belum selesai. Kamu tunggu di
sini aja, paling 15 menit juga selesai.” jawab Bu Rita.
“Ehm, iya. Baik, Bu. Maaf ya, Bu.” sahutku dengan
agak terbata-bata.
Lima menit berlalu, aku menunggu sambil menonton
TV, sampai kemudian kudengar suara Bu Rita memanggilku, “Jok, tolong ambilkan
sesuatu di koper ibu ya.” katanya.
“Ambil apa, Bu?” tanyaku.
“A-anu, maaf ya, ibu lupa bawa pakaian ganti tadi. Tolong
ya, Jok.”
“Diambilkan yang mana, Bu?” jawabku sambil menelan
ludah, cleguks!
“Anu, baju rok batik warna biru aja, Jok. Dan anu, pakaian dalam
yang warna merah ya… tolong ya, Jok. Sorry ngrepotin.”
“B-baik, Bu.” jawabku tergagap. Cleguks, kembali
aku menelan ludah. Lalu kubuka kopernya dan kucari baju yang diinginkan Bu
Rita. Setelah ketemu, kuhampiri pintu kamar mandi. Deg, deg, deg, jantungku
berdegup sangat kencang. Cleguks, aku menelan ludah lagi.
Pintu kamar mandi sudah terbuka sedikit sekitar 10
cm. “Bu, ini pakaiannya.” kataku, cleguks, sambil kuberdiri di depan pintu.
“Oh ya. Thanks, Jok.” Lalu sebuah tangan menggapai
keluar dari sedikit celah pintu itu.
Ketika aku mau menyerahkannya… eh, baju itu malah
jatuh ke lantai. Aku pun segera jongkok untuk memungutnya. Tapi apes. Karena
deg-degan, aku jadi salah tingkah, tak sengaja aku terpeleset keset di depan
pintu, dan aku pun tersandung, tubuhku jatuh menabrak pintu kamar mandi.
Pintu itu langsung terbuka. Bu Rita yang waktu itu
ada di baliknya sedang menunggu pakaian, jadi ikut terjatuh ke lantai karena
terdorong tubuhku. “Auw, aduh!” teriaknya kaget.
“Wah, maaf, maaf, Bu. Tidak sengaja, Bu.” jawabku
gugup. Dan oh my God, aku melihat pemandangan yang tak pernah kubayangkan
sebelumnya. Mataku dimanjakan oleh tubuh Bu Rita telanjang. Deg, deg, deg,
jantungku serasa mau copot rasanya.
Tapi aku cepat memalingkan muka. ”M-maaf, Bu.
Apakah ibu terluka?” tanyaku.
“Agh, ini... kakiku, kakiku agak sakit, Jok. Tolong aku berdiri.”
kata Bu Rita.
“Tapi, Bu.” menolongnya saat dia telanjang seperti
sekarang? No way!
“Cepat, Jok.” tapi Bu Rita terus memaksa.
Terpaksa kubalikkan badanku dan menghampirinya,
sambil mataku terus terpejam. “Maaf, Bu.” kataku.
“Jok, aku disini.” Bu Rita mengoreksi arah
menghadapku yang salah. ”Kalo kamu menutup mata, bagaimana bisa membantu aku
berdiri?”
Hem, benar juga. Jadi kubuka mataku dan
menghampirinya. Deg, deg, deg, jantungku berdebar semakin kencang. Kuakui Bu
Rita memang cantik, bahkan di usianya yang sudah 39 tahun, dia masih kelihatan
mulus dan seksi. Dengan kulit putih bersih, langsing, dan lumayan tinggi, Bu
Rita terlihat begitu menggairahkan. Oh my God, kucoba menenangkan diri saat
membantunya berdiri. Aku tetap berusaha
bersikap profesional, tidak ada sedikitpun niatan untuk berbuat lebih
kepadanya.
Padahal di depanku terpampang pemandangan yang
sangat indah. Kalau wanita lain, dadanya akan tampak rata saat berbaring
telantang, betapa pun besarnya. Tapi dada Bu Rita lain, belahannya tetap
terbentuk sempurna, bagai lembah sungai di antara dua bukit, tanda kalau benda
itu cukup padat, bulat dan putih mulus. Dan yang makin membuatku tersengal,
puting kecilnya berwarna pink, merah jambu!
.“M-maaf ya, Bu.” tanganku meraih handuk dan
memberikan kepadanya. Tak sengaja
sebagian jariku menyentuh ujung putingnya. Deg-deg, deg-deg, deg-deg! Oh, lembutnya.
Meski cuma sebentar,bisa kurasakan betapa keras dan kenyalnya benda mungil itu.
”Enggak
apa-apa, Jok.” kata Bu Rita, lalu menutupi tubuhnya yang telanjang dengan
handuk. Sempat kulihat bulu-bulu halus tipis yang tumbuh di permukaan
kewanitaannya, tak merata. Bulu-bulu itu tumbuh tak begitu banyak, tapi alurnya
jelas dari bagian tengah vagina ke arah pinggir. Duh, membuatku makin pusing
“Maaf,
Bu.” kataku, entah sudah kata maaf yang keberapa kalinya kuucapkan. Kutuntun Bu
Rita untuk duduk ke kursi di meja makan.
“Bagaimana
kakinya, Bu?” tanyaku sambil menatap nanar ke sepasang pahanya yang putih mulus yang cuma tertutup
sebagian karena begitu kecilnya handuk hotel yang ia pakai.
Bu
Rita mencoba menggerak-gerakkan kakinya. “Hmm, kelihatannya oke-oke aja kok,
Jok. Nggak serius kok, tadi mungkin cuma kaget saja.” jawabnya. “Sudah nggak
apa. Kamu tinggal saja, Jok, pembicaraannya kita teruskan besok pagi saja.”
tambah Bu Rita.
“B-baik,
Bu.” jawabku terbata-bata. “Maaf ya, Bu,
gara-gara saya jadi kacau.”
“Ah,
besok juga udah baikan kok. Nggak apa.” Bu Rita lalu bangkit dari kursi. Oh, ada lagi yang bisa kunikmati, goyangan
pinggulnya sewaktu dia berjalan mengantarku ke pintu. Aku baru menyadari bahwa
Bu Rita juga memiliki sepasang bulatan pantat yang indah. Hah! Aku makin kurang
ajar. Ah, enggak. Aku tak berbuat apapun. Cuma memandangnya, tak ingin
melewatkan pemandangan indah barang sedikit pun. Masih wajar.
Kulangkahkan
kakiku menuju luar kamar. Dengan jantung yang masih berdegup kencang, aku balik
ke kamarku sendiri.
Malam
itu, aku tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan lekuk tubuh Bu Rita yang begitu
mulus dan menggoda membuatku gelisah. Buah dadanya yang padat berisi. Kulit
mulusnya yang baru pertama kali ini kusentuh, meski secara tidak sengaja. Sepasang
pahanya yang putih bersih. Juga bokong bulatnya yang begitu besar. Oh my God,
indahnya!
Lama
kemudian, baru aku bisa tidur.
***
HARI
KEDUA
Esoknya,
aku bangun jam enam lebih. Lagi-lagi terbayang lekuk tubuh dan wajah cantik Bu
Rita. Di usianya yang sudah 39 tahun, dia selalu tampil modis dan cantik dengan
balutan busana rapi. Tubuhnya selalu wangi. Parfum melati tak lupa selalu
tersedia di dalam tasnya.
Bu
Rita yang selalu aktif, ceria dan ramah dihadapan semua orang, tak kusangka,
kemarin malam kulihat dalam kondisi telanjang, bahkan aku telah merasakan
kehalusan kulit tubuhnya. Oh my God, rasanya jantungku berdetak lebih kencang
pagi ini.
Semua
bayangan itu tak mau hilang disaat aku mandi kemudian. Sarapan pun jadi terasa
nggak nafsu pagi ini. Entah kenapa, sepertinya badanku panas sekali. Dan ketika
suara lembut itu menyapaku di lobby jam 8 ini, aku serasa tidak menapak tanah
lagi.
“Selamat
pagi, Jok. Ayo kita bicarakan planning hari ini sambil duduk dan minum kopi.”
katanya lembut, seperti tidak mempermasalahkan sama sekali kejadian semalam.
“Selamat
pagi, Bu. Mari, silakan.” kupilih meja di pojokan yang jauh dari lalu lalang
orang. ”M-maaf soal tadi malam, Bu. Saya benar-benar tidak sengaja.” ucapku
lirih setelah kami duduk. Waduh, lagi-lagi minta maaf. Sudah berapa kali sejak
kemaren aku bilang itu! Tapi memang aku merasa sangat bersalah sekali sudah
memergokinya seperti itu.
“Sudahlah,
Jok. Jangan katakan itu lagi! Kita bahas aja rencana hari ini.” jawab Bu Rita
sambil tersenyum.
Aku
lega dengan jawabannya, kakiku serasa menapak kembali ke tanah.
Hari
kedua kulalui dengan berbagai kunjungan, mulai dari Universitas Udayana untuk
bertemu para pakar pariwisata dan berdialog dengan mahasiswa, lalu dilanjutkan
mengunjungi Sentra Kerajinan dan obyek wisata di Sanur.
Setelah
makan siang, kita teruskan kunjungan ke Ubud sampai menjelang sore dan melihat
Sunset di tanah Lot. Malamnya, kita dijamu pemda sambil sekalian melihat wisata
malam di daerah Jimbaran, makan ikan bakar yang nikmat di sebuah café dan
restoran seafood terkenal di pinggir laut Jimbaran.
Wah,
serasa kakiku melayang lagi dari tanah. Dan semuanya itu baru berakhir pukul 11
malam. Ketika kembali lagi di Hotel, jam sudah menunjukkan pukul 11.40.
Sesampai
di kamar, meskipun sangat lelah, tapi lagi-lagi bayangan tubuh mulus Bu Rita
masuk ke pikiranku. Kulihat si Jeffrie sudah tertidur pulas. Pelan-pelan
kutinggalkan kamar, kuberanikan diri melangkah pergi ke presidential suite yang
ditempati Bu Rita. Tok, Tok, Tok, aku mengetuk pintu kamarnya. Masa hotel
bintang 5 kok nggak pake bel pintu sih? batinku dalam hati.
“Maaf,
Bu. Apakah ibu sudah tidur?” ujarku dari balik pintu. Tak ada jawaban selama
beberapa detik. Ah, pasti udah tidur dia, pikirku sambil kubalikkan langkah
kakiku meninggalkan pintu kamarnya. Sampai kemudian suara halusnya menyapaku
dari belakang.
“Eh,
Jok, ada apa?” seru Bu Rita.
Aku
membalikkan badan. “Eh, maaf, Bu. Saya ganggu malam-malam. Saya cuma mau
ngasihkan ini, obat oles untuk kaki ibu yang sakit kemarin. Tadi siang saya
sempat beli ini di toko.” jawabku.
“Waduh,
makasih, Jok. Kok repot-repot, kaki saya kan nggak apa-apa.” ujar Bu Rita. “Eh,
mau mampir ke dalam minum sebentar nggak? Ada yang mau aku bicarakan ke kamu,
sebentar aja, Jok.” dia mengundang.
”Ehm,
b-baik, Bu.” deg, deg, deg, jantungku mulai terpacu kencang lagi saat aku masuk
ke dalam presidential suitenya. “Ada masalah apa, Bu? Sepertinya penting.”
tanyaku. Kalau tidak penting, buat apa dia repot-repot mengundangku masuk
malam-malam begini.
“Gak
penting kok, bukan masalah pekerjaan.” jawab Bu Rita. ”Anu, begini… maaf ya
sebelumnya, ini masalah keluargaku. Aku merasa kamu sudah cukup lama kenal ibu,
jadi aku mau minta saran-saran dan pendapatmu, Jok. Aku bukan wanita sempurna
dan tanpa masalah yang selama ini dilihat banyak orang.” terang Bu Rita.
“Banyak
persoalan kupendam sendiri tanpa dapat kuceritakan.” lanjutnya. “Semua orang
melihatku sebagai seorang Bupati wanita yang tegar, kuat, dan selalu happy,
tapi kadang semua itu hanya ilusi, Jok. Aku hidup seakan di dua dunia yang
saling bertolak belakang.”
Lalu
Bu Rita mulai berkeluh kesah, atau curhat lah istilah gaulnya anak muda
sekarang. Mulai dari hubungan dengan suaminya, masalah dengan keluarga
besarnya, gosip-gosip seputar dirinya, rekan-rekan partainya sendiri yang
menyodoknya dari belakang dan bermuka dua, dan lain-lain.
Saat
itu, Bu Rita duduk di sofa menghadap TV, sedangkan aku di seberangnya, sambil
kami menghirup secangkir kopi panas. Semua ceritanya mengalir lancar. Aku
mendengarkan sambil memberi pendapat-pendapat atas masalah-masalahnya. Sampai
tak terasa air mata mulai mengalir dari kedua mata Bu Rita.
“Thanks
ya, Jok. Aku merasa lega sekarang. Kamu begitu baik, pasti banyak wanita yang
mengidam-idamkan kamu untuk jadi pendampingnya, Jok.” bisknya.
“Ah,
ibu terlalu memuji.” jawabku. Kuambil tissue lalu kuberanikan diri untuk
mendekati Bu Rita. Pelan, kuusap air mata yang mengalir di belahan pipinya.
“Bu, saya sebenarnya sangat mengagumi Ibu. Ibu di mata saya adalah sosok yang
ideal untuk dijadikan sebagai pendamping hidup. Seseorang yang spesial bagi
saya, di hati saya.” aku mulai berani bicara.
Tiba-tiba
Bu Rita menggenggam erat tanganku. Tatapan matanya begitu lembut, mengarah ke
mataku. Lalu tanpa sepatah kata, bibirnya mulai mendekati bibirku. Bagaikan
Magnet, tanpa tahu siapa yang mendahului, bibir kami telah benyatu. Kami saling
memagut dan melumat.
Kukulum
bibir Bu Rita yang tipis dan berwarna merah. Rasanya manis menggairahkan. Lidah
kami mulai saling beradu. Badanku seakan melengkung 40 derajat untuk merengkuh
tubuhnya. Jantungku seakan sudah keluar dari wadahnya, berdetak-detak sangat
kencang. Nafsuku mulai memburu.
Sedikit
kasar, tanganku mulai bergerilya. Kuelus-elus rambut Bu Rita yang hitam
terurai, tidak panjang memang, tapi wangi shampoonya begitu terasa menusuk
hidungku. Setelah melihat tidak ada penolakan darinya, mulai kuberanikan diri
untuk melangkah lebih jauh. Kumasukkan jariku di sela-sela bajunya. Kusentuh
BH-nya yang tipis dan berenda. Kuselipkan jariku menembus cupnya. Di dalam,
kutemukan sepasang buah dada yang begitu padat dan kenyal. Meski ukurannya tidak terlalu besar, tapi rasanya sungguh
sempurna, campuran antara hangat, lembut dan padat. Perfecto kalau orang Italia
bilang.
Aku
terus mengurut-urut pinggiran bulatan buah itu dengan gerakan memutar sambil
menggeser cupnya lebih ke bawah. Kini lebih banyak bagian buah dada Bu Rita
yang kunikmati. Makin membuatku gemetaran. Entah dia merasakan getaran
jari-jariku
atau
tidak.
”Dibuka
aja, Jok.” katanya tiba-tiba sambil tangannya langsung ke punggung membuka
kaitan BH-nya tanpa menunggu persetujuanku.
Oh,
jangan dong. Aku jadi tersiksa lho, Bu! kataku dalam hati. Tapi aku
senang-senang saja dengan tingkah lakunya. Berarti dia menikmati perlakuanku dan
memberiku akses untuk melangkah lebih jauh.
Cup-nya
mengendor. Daging bulat itu seolah terbebas. Dan... Bu Rita memelorotkan
sendiri cup-nya. Kini bulatan itu nampak dengan utuh. Oh, indahnya.
Benar-benar bulat dan padat, kulit
permukaanya terlihat sangat halus dan putih mulus, dan putingnya yang berwarna
pink, tampak tegak menjulang!
Kuteruskan
urutan dan pijitanku pada daging bulat yang menggiurkan ini. Mulai kumainkan
kedua putingnya yang menonjol indah. Sambil kupilin dan kupelintir-pelintir,
kulepas baju yang dipakai olehnya. Terasa sekali, puting Bu Rita semakin
membesar dan mengeras. Wajar saja, wanita mana yang disentuh seperti ini tidak
terangsang?
Dengan
nafas sedikit memburu, Bu Rita membalas kelakuanku. Dia melepas kemeja yang aku
pakai. Juga celana Levis-ku, hingga hanya tersisa CD-ku yang army Look warna
hijau loreng-loreng.
“Wah,
Jok, CD-mu tentara ya? Hehehe.” ujarnya sambil tertawa.
“Hehe,
iya, Bu. Ini beli pas ada discount 90 persen di mall dulu, mungkin karena nggak
laku, Bu. Orang kan sekarang takut sama tentara, hehehe.” jawabku mencoba
bercanda.
“Ah,
bisa aja kamu.” dan Bu Rita juga menariknya turun. Akhirnya pakaian terakhirku
lepas pula, sementara Bu Rita masih mengenakan celana dalam. Bulu-bulu halus di sekitar kemaluannya tampak terlihat
jelas dari balik CD-nya yang tipis dan transparan itu.
Bibir
kami beradu kembali. Lidahnya terasa semakin berani merangsangku sebelum
akhirnya bibirku turun ke bawah. Kukulum bergantian kedua puting susunya yang
mulai tambah mengeras. “Ahh… ahh…” Bu Rita mendesah kencang. “Jok, aku ada
rahasia lho,” katanya lagi dengan suara mendesah.
“Apa
itu, Bu?” tanyaku dengan mulut tetap menempel di gundukan payudaranya. Seperti
bayi yang kehausan, terus kusedot dan kukenyot putingnya.
“Aku
sudah tidak ML dan disentuh suamiku 1 tahun lamanya.” jawabnya malu-malu. “Ini
ML-ku yang pertama setelah setahun lebih, jadi… ahh! T-tolong, puaskan aku!”
lanjutnya sambil mendesah lagi lebih keras.
Aku
diam aja. Tak kujawab kata-katanya. Aku masih terfokus pada putingnya.
”Bagaimana,
Jok. Kamu bisa kan?” Bu Rita bertanya lagi.
”Tentu
saja, Bu.” sahutku, lalu kuangkat tubuh sintalnya ke tempat tidur, Kurebahkan
dia di atas ranjang hotel yang empuk. Tanganku mulai mengelus-elus CD-nya,
menyentuh lembut bulu-bulu halus yang menyembul dari celah-celah lipatannya.
“Ahh…
ahh...” Bu Rita mendesah lagi saat kubuka benteng terakhirnya. Kubuang jauh
kain segitiga mungil itu ke lantai. Lidahku mulai bermain lagi di kedua puting
susunya, lalu naik ke lehernya sampai dia mendesah lagi. Kukulum bibirnya
sebentar, lalu turun lagi.melewati dada, perut, dan sampai ke sela-sela
kemaluannya, dan berhenti disana.
Kubuka
kaki Bu Rita lebar-lebar, lalu kebenamkan kepalaku diantara kedua panilla.
Kumainkan lidahku di lubang vaginanya yang sudah memerah. Klitorisnya yang
menonjol mungil kurangsang lembut. “Aahhh…” wanita itu mendesis pelan.
Jari
tengah dan telunjukku mulai beraksi. Kumasukkan kedua jari itu ke dalam Miss
V-nya dan kukocok pelan. Saat kurasakan benda itu sudah mulai basah, kupercepat
tusukanku, lalu kembali pelan. Cepat lagi. Pelan lagi. Begitu terus hingga
nafas Bu Rita menjadi semakin memburu.
“Aaaahhh…”
wanita cantik kelahiran Tenggarong, 11 November 1973 itu mendesah keras
mengagetkanku, diiringi basah dan banjirnya Miss. V miliknya. Ternyata Bu Rita
sudah Orgasme dengan permainan jariku.
”Ah,
Jok, nikmatnya!” rintihnya pelan ketika aku meremas dan menjilati putingnya
yang terasa kian keras saja. ”Kamu suka banget ya sama susuku? Dari tadi main
itu terus.” pertanyaan Bu Rita mengagetkanku. Memang, sambil menjilat vaginanya
tadi, tanganku tak lepas memegang dan meremas-remas payudaranya.
”Ah,
habisnya susu ibu indah banget sih.” kata-kataku meluncur begitu saja tak
terkontrol.
”Kamu
suka?” ah, mata sipit itu. Mata yang mengundang!
”Suka
banget, Bu.” jawabku sambil menghisap lebih keras.
Bu
Rita tertawa kegelian dan memukul bahuku. ”Sudah, Jok. Sudah. Sekarang giliran
ibu.”Bu Rita mengubah posisi. Sekarang dia berbaring telungkup menindih tubuhku
yang telentang pasrah di tempat tidur. Payudaranya yang hangat dan kenyal
terasa sekali mengganjal di perutku.
Kami
kembali berciuman. Bu Rita mengulum bibirku dengan rakus sambil tangannya mulai
merambat mencari-cari batangku. ”Wow, bukan main. Besar sekali, Jok.” serunya
saat benda itu sudah ia temukan. Mata bulatnya berbinar-binar saat melihatnya,
seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
Kembali
Bu Rita mencium bibirku. Permainan lidahnya terasa semakin menggairahkan. Lalu
kemudian bibirnya turun ke bawah, menghisap puting dadaku dengan lembut, dan
terus turun untuk merangsang perutku, turun lagi ke bawah ke antara kedua
kakiku, dan sampailah di depan Mr.P-ku. Cepat, mulut tipisnya beraksi, Bu Rita
menjilat lembut benda itu seakan menikmati es krim Campina. Dan tak cuma
batangnya, dia juga turun ke my ball. Dihisap-hisapnya tempat penampungan
sperma itu dengan keras.
“Ooh…
ahh…” aku mendesis pelan, sangat keenakan.
Bu
Rita terus mengulum penisku yang sudah 85 persen tegang. Dalahapnya habis
daging coklat panjang itu sampai mulutnya yang mungil terlihat penuh sesak. Dia
menjilatinya cepat, lalu pelan, cepat lagi, pelan lagi, dan begitu terus selama
5 menit sampai batangku 99 persen mengeras. Dia seperti ingin membalas
perlakuanku pada vaginanya tadi. Tapi tentu saja dia tidak bisa membuatku
orgasme hanya dengan kuluman saja, aku ingin lebih!
“Wah,
kuat juga kamu. Aku sampai capek.” keluhnya senang. ”Dimasukkan sekarang ya?”
tanyanya mesra dan nakal. Aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju. “Hehe…
malu ya? Masa sudah bikin aku moncrot masih malu juga!” kata Bu Rita menggoda.
”Bagaimana
pun, ibu kan atasanku.” sahutku sambil membuka dompet dan mengeluarkan kondom
dari dalamnya.
“Wah,
selalu sedia kondom ya kamu? Kok udah siap-siap gitu sih, jangan-jangan kamu
sengaja menggoda ibu ya tadi?” kata Bu Rita.
“Ah,
nggak, Bu. Tentu saja saya tidak berani.”
Bu
Rita tertawa, ”Bilangnya nggak berani, tapi sudah menindih ibu kayak gini.”
sindirnya.
Mukaku
langsung bersemu merah. ”Ah, iya, Bu. Maaf.”
”Nggak
apa-apa, Jok. Ibu juga senang kok. Ibu tidak merasa kamu manfaatkan. Kita
sama-sama menginginkannya, benar kan?”
Aku
mengangguk. ”Iya, Bu. Semalam saya nggak bisa tidur gara-gara lihat tubuh
telanjang ibu. Saya kepikiran terus.”
”Ya
sudah kalau begitu. Mumpung sekarang orangnya ada di sepan kamu, ayo cepat
lakukan, sebelum aku berubah pikiran.”
”B-baik,
Bu.” dengan dibantu Bu Rita, segera kupasang kondom ke batang penisku.
”Dapat
darimana, Jok?” tanya Bu Rita, rupanya dia masih penasaran dengan asal usul
benda itu.
”Ehm,
kebetulan tadi di jimbaran ada aktivis yang bagi-bagi kondom gratis di pantai.”
jawabku. Kini penisku sudah terselubung seluruhnya, siap untuk digunakan.
“Hehehe,
kamu ini, maunya yang gratis-gratis aja.” kata Bu Rita. “Wah, rasa duren. I
like Duren. Hehehe.” dia tertawa. “Mau aku yang di atas dulu?” tanyanya
kemudian.
Aku
hanya mengangguk pelan tanda setuju. “Heh, jangan malu-malu gitu dong, bikin
aku tambah horny aja.” kata Bu Rita sambil mulai mengatur posisi di atas
tubuhku. Aku diam saja, pasrah.
Dia
membuka kakinya, memamerkan belahan vaginanya yang sempit dan legit. Bulunya
yang tercukur rapi tampak basah. Tepat di tengah-tengah, kulihat sebagian
clit-nya yang berwarna merah jambu! Bukan main. Dan ternyata, pahanya juga lebih
indah kalau tampak seluruhnya begini. Putih, bersih dan bulat.
Bu
Rita membuka kakinya makin lebar. Clitnya makin jelas terlihat. Benar, merah
jambu. Aku langsung menempatkan batangku di antara bibir vaginanya, kuarahkan
tepat ke lubangnya yang merekah. Ketika ujungnya sudah menempel, Bu Rita pun
menekan pinggulnya.
”Uhh...
Sedap!” rintihnya, padahal baru kepala penisku saja yang masuk. Dia menekan
lagi. ”Ouff... kok seret banget sih!” keluhnya, tapi terus menekan.
”Eghh...”
penisku terasa ngilu, seperti mentok. Kulirik ke bawah, baru setengah yang
masuk. Ini karena penisku yang terlalu besar, atau vagina Bu Rita memang
sempit? Aku coba lebih bersabar, menusuk pelan-pelan, tapi pasti, sampai
penisku tenggelam seluruhnya. Benar, vaginanya memang sempit. Gesekannya amat
terasa di batang penisku. Ohh, nikmatnya. Mungkin karena sudah setahun tidak
dipakai.
Kami
kembali berciuman. Dan kembali tanganku hinggap di gundukan payudara Bu Rita
untuk meremas dan membelainya lembut. Perlahan kurasakan dia mulai menggerakkan
tubuhnya naik turun. “Ahh… ahh… hmm… ahh… ohh… uhh…!” suara desahan Bu Rita
memburu kencang, mengikuti gerakan dan irama tubuhnya yang juga kian cepat.
Kedua
buah dadanya yang besar bergoyang-goyang indah, membuatku semakin hot saja. Bu
Rita sangat ahli mengatur tempo permainan, ia gerakkan tubuhnya yang sintal
naik turun, cepat, lalu lambat, lalu cepat lagi, lambat lagi, begitu terus
secara bergantian, disertai desahan dan erangannya yang terdengar semakin kuat.
“Ahh…
ahh… ahh… capek, Jok. Gantian dong!” pinta Bu Rita. Segera kutelentangkan
tubuhnya di atas tempat tidur, kini ganti aku yang berada di atas. Tanpa
melepas kemaluan kami, mulailah kugenjot tubuhnya kembali, maju-mundur. Kuatur
temponya, kadang cepat, lalu berganti lambat, kemudian cepat lagi.
“Ahh…
ahh… ahh… arghhh…” Bu Rita mendesah semakin rame. Dari posisi ini, coba
kumainkan variasi dengan merubah posisi kakinya, kutusuk dia dengan posisi aku
agak menyamping. Kulakukan terus sampai kurasakan Miss.V-nya jadi basah sekali.
Crot, crot, crot, oh ternyata dia sudah orgasme untuk kedua kalinya.
Lalu
kuganti posisi Doggy Style. Kutusuk dan kugenjot dia dari belakang sambil
tanganku berpegangan pada buah dadanya yang menggantung indah. Bu Rita kembali
bergetar dan orgasme.
Kembali
woman on top. Tapi posisiku tidak tidur, aku agak duduk bersandar di tembok. Bu
Rita yang sudah lemas, kuminta untuk menggoyang pinggulnya naik turun sambil
kuremas-remas kedua payudaranya. Putingnya yang mencuat mungil, kukulum-kulum
dengan rakus.
Aku
yang merasa sudah hampir sampai, balik lagi di atas. Diselingi berapa kali
ciuman mesra, kugenjot terus miss.V-nya. “Ahh… ahh… ahh… oh my god!” suara
desahan Bu Rita mengiringi setiap gerakanku. Dia menjerit dan merintih-rintih
secepat dan sekeras tempo tusukanku di lubang kemaluannya.
”Aghhh...
Bu! Nikmat sekali!” akupun ikut mendesah pelan mengimbanginya. Keringat sudah
deras membasahi tubuh kami berdua. ”Ahh… ahh… s-saya… bentar lagi… ahh!” ujarku
putus-putus. Penisku sudah terasa sangat ngilu dan nikmat.
Bu
Rita yang mengetahui keadaanku, semakin mempercepat gerakan miss.V-nya. Erangan
dan desahannya juga terdengar semakin keras. “Aah… ahh… aaahhhhh…” sambil
memagut bibirku, dia berteriak lantang tertahan, lalu memelukku sangat kencang.
Badannya yang molek menegang dan menggelinjang keras. Dia orgasme untuk yang
ketiga kalinya.
Bersamaan
dengan itu, aku yang juga tidak kuat lagi, ikut meledak dan orgasme bersamanya.
Kulepaskan semua peluruku yang kutahan sejak tadi, kusemburkan spermaku
dalam-dalam ke liang vagianya. Crot, crot, crot!
”Ahh…
ahh…” dengan tubuh lemas tapi puas, kami berpelukan dan berciuman. Sengaja
tidak kucabut penisku sampai benda itu copot dengan sendirinya.
”Kamu
mau balik ke kamarmu atau tidur disini?” tanya Bu Rita sambil memegang-megang
penisku yang sudah lemah tak bertenaga.
”Saya
balik aja, Bu. Gawat kalau si Jeffrie sampai curiga dan nyariin kesini.” aku
menjawab.
”Ok.
Trims ya sudah mau nemenin aku.” Bu Rita mengecup pipiku lalu mengajakku mandi.
Disana, kami main sekali lagi.
Jam
3 pagi, aku baru balik ke kamarku. Sebelum pergi, kukecup keningnya dan
kubisikkan kata, ”I Love u.”
Bu
Rita membalas lirih, ”I love u too.”
***
HARI
KETIGA
Paginya,
meski semalam kerja keras dan kurang tidur, aku tetap bangun pukul 6.30. Saat
melangkah ke kamar mandi, serasa kakiku melayang dari tanah. Aku masih belum
bisa mempercayai keberuntunganku semalam. Sekilas terbayang apa yang telah kulakukan
dengan Bu Rita di kamarnya. Sambil menggosok tubuhku, terbayang kembali
kejadian itu, seakan lekuk tubuh Bu Rita masih membekas di otakku, dan desahan
suaranya tak mau hilang dari telingaku.
Ketika
sarapan bersama di Restaurant hotel, aku lebih banyak diam dan merenung, seakan
masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi semalam. Bahkan ketika Bu
Rita menyapaku, aku terdiam saja, bengong.
“Hei,
Jok. Jangan ngelamun gitu ah.” serunya sambil menepuk bahuku. Kuperhatikan
wajahnya, kenapa ya kok aku merasa dia jadi tambah ceria pagi ini, apakah
karena semalam? Ah, aku jadi GR nih.
“Nih
anak, disapa dari tadi cuma diam aja.” kata Bu Rita lagi.
Akupun
terkesiap dan tersadar. “Eh, anu, selamat pagi, Bu.” jawabku gugup. Lalu kami
pun sarapan bersama satu meja berhadap-hadapan tanpa bicara apa-apa lagi,
soalnya rombongan yang lain sudah pada datang, takut nanti salah omong dan
mereka jadi curiga.
Hari
ketiga ini adalah hari terakhir kami di Bali. Rencananya hari ini diisi acara
kunjungan ke kawasan Nusa Dua, lalu ke Pura Uluwatu, dan mengunjungi beberapa
UKM kerajinan patung-patung dari batu dan kayu di sekitar Denpasar.
Malamnya
kita diundang perhimpunan pengusaha muda Bali, untuk santap malam di sebuah
Resort Butik Hotel bintang 7 di kawasan Nusa Dua. Suasana hotel benar-benar
romantis. Waktu makan, mataku tak lepas memandang dan selalu mencari-cari
keberadaan Bu Rita. Meski sudah berusaha, hari ini aku seakan begitu susah
berkata-kata di depan dirinya.
Semilir
angin malam di pinggir pantai menusuk tulangku, dan pikiranku mulai menerawang.
“Yang kemarin malam itu, benar-benar cinta, ataukah hanya sex semata?” aku
bertanya pada diriku sendiri.
Apakah
aku benar-benar mencintainya? Ataukah ini hanya perasaan karena situasi saja?
Aku tahu jarak antara aku dan Bu Rita memang begitu jauh. Dia seorang Bupati,
sudah bersuami, dan pastilah harus bebas dari konflik dan affair untuk
kepentingan politiknya. Dan yang paling penting, apakah dia benar-benar
mencintaiku, seperti yang dia katakan padaku semalam? Atau semalam dia hanya
karena terbawa suasana sesaat saja? Pikiran itu terbawa sampai aku menjelang
tidur.
Dalam
kamar, kulihat Jeffrie sudah mengorok seperti biasanya. Anak itu memang gampang
sekali tidur, begitu kepalanya menyentuh bantal, langsung terlelap. Aku yang
masih belum bisa memejamkan mata, memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di
sekitar hotel. Dimulai dari kolam renang, lalu ke taman depan, sampai akhirnya
tanpa sadar kulangkahkan kakiku menuju Presidential Suite. Saat itu sudah pukul
12 malam.
Aku
berdiri di depan kamar Bu Rita, tapi ragu untuk mengetuk pintunya. Lama aku
terdiam dan menimbang-nimbang. Setelah kuputuskan kalau tindakan ini tidaklah
benar, aku pun berbalik dan membatalkan niatku. Lalu aku berjalan ke resto
hotel. Duduk di sebuah meja sendirian, aku memesan secangkir black ekspresso
sambil menghisap rokok Slim keluaran terbaru yang kubawa.
Kupandangi
batang rokok yang mulai terbakar ujungnya, kenapa rokok slim sekecil ini
rasanya tidak kalah dengan rokok lain yang besar-besar ukurannya? Pasti karena
isi dan ramuan di dalamnya, bukan ukurannya. Saat itu pula aku tersadar, apakah
akupun bagaikan sebatang rokok slim ini, kecil tapi rasanya lebih nikmat?
Mungkin Bu Rita memandangku bukan dari status ataupun wajah luarku, tapi dari
isi yang ada di dalam benakku, karena kebaikanku.
Aku
pun tersenyum sendiri sambil memandangi kilau lampu taman di sekitar resto. Aku
mulai merasa… apakah ini yang namanya jatuh cinta? Selama ini, setiap
berhubungan dengan wanita, yang ada di pikiranku cuma sex dan ML saja. Setelah
melakukan itu dengan Rika, Stefani, Dina, ataupun siapapun yang aku telah lupa
namanya, aku tidak pernah memikirkan perasaan mereka dan bagaimana kelanjutan
hubungan kami selanjutnya. Yang ada cuma having fun.
Tapi
setelah melakukan dengan Bu Rita semalam, aku bagaikan melayang tidak menyentuh
tanah. Jantungku terus berdebar-debar, sementara pikiranku terus diracuni oleh
bayangan tubuhnya. Aku tidak bisa melakukan apapun tanpa memikirkan wanita itu!
Sembari
meneguk kopi terakhirku, aku tersenyum. Aku sudah tahu apa yang selama ini
kucari. Aku harus menemuinya, malam ini juga, dan mengatakan semua isi hatiku,
pikirku dalam hati sambil melangkah meninggalkan resto.
Beberapa
langkah berjalan, HP-ku berbunyi, ada SMS masuk. Dari Bu Rita, ucapku dalam
hati. Cepat kubaca SMS itu sambil aku kembali mencari tempat duduk di situ.
“Joko,
aku tidak bisa tidur malam ini. Sejujurnya, aku selalu terbayang kejadian kita
kemarin malam, aku merasa aku telah menemukan sesuatu yang berbeda dalam dirimu
yang selama ini aku cari. Meskipun kita sudah kenal lama, tapi baru tadi malam
aku benar-benar yakin bahwa aku sangat... mencintaimu!” kubaca kata terakhir
itu dengan nafas tercekat.
Kulanjutkan
membaca. “Tapi banyak kendala yang kamu sendiri pasti sudah tahu, yang membuat
hubungan kita ini tidak akan berjalan mulus. Untuk itu, aku harap kamu mau
mengerti. Lupakan aku, dan carilah wanita idamanmu. Kejadian kemarin adalah
yang pertama dan terakhir di antara kita. Aku harap kita berteman saja sebagai
rekan kerja. Aku masih membutuhkan bantuanmu mengurus pemerintahan di kabupaten
Kukar.” aku terduduk lemas di kursi.
“Aku
akan selalu mencintaimu, hatiku selalu untukmu walaupun tubuhku tidak
bersamamu. I love u forever!”
Kubiarkan
saja SMS itu, tidak kubalas. Biarlah itu menjadi SMS terakhir darinya, pikirku.
Malam itu, waktu terasa panjang sekali, aku duduk di resto itu sampai pagi.
***
EPILOG
3
hari setelah hari itu, setelah kepulangan semua rombongan Kunker ke Bali, aku
melangkah keluar dari kantor Bu Rita. Aku terdiam sesaat sebelum kuteruskan langkah
menuju tempat parkir. Kutengok ke arah gedung kantor bupati, kupandang lama. Tak terasa air mataku
menetes. Lalu kubalikkan langkah meninggalkan kantor itu. Untuk terakhir
kalinya aku akan melewati jalan ini.
Siang tadi, aku sudah mengajukan surat pengunduran
diri kepada Bu Rita. Kuputuskan untuk tidak lagi bekerja disana. Bagiku terlalu
berat untuk selalu melihatnya, tapi tidak bisa memilikinya. Biarlah aku saja
yang pergi, ini baik untuk kita berdua. Kuputuskan 2 hari lagi aku akan pergi
ke Jayapura. Aku akan tinggal sementara di tempat pamanku sambil mencari
pekerjaan disana. Mungkin aku bisa buka konsultan hukum, dan dapat membantu
warga Papua soal masalah hukum.
Ketika aku hendak menjalankan mobil, HP-ku
berbunyi. Ringtone Silvia Saint kembali berkumandang. Kudiamkan saja, tidak
kuangkat, sampai suaranya hilang. Kunyalakan mobil, kutinggalkan kantor bupati
Kukar untuk terakhir kalinya.
Lalu ada SMS menyusul masuk 5 menit kemudian, dari
Bu Rita. Kubaca SMS itu dengan berat hati. Sangat singkat isinya. “Maafkan aku, I will always love u!”
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar