Kamis, 07 Maret 2013

I Will Always Love U

PROLOG
“Ahh… ahh… ahh… lebih cepat… ouhh!” suara Rika terdengar semakin keras, seolah berpacu dengan waktu. Dan kugenjot Mr. P-ku semakin cepat dan kencang ke dalam Miss V-nya dengan posisi aku di atas. Tubuhnya pun menanggapi, bokongnya bergoyang dan semakin menegang, sepasang buah dadanya yang tidak begitu besar pun, bergerak naik turun mengikuti iramaku.
Lalu setelah posisi Woman On Top, suaranya masih memburu, ”Ahh… ahh... auh...”
Berganti Doggy style, Rika sepertinya tambah menikmatinya. “Ahh… ahh… ahh… hmm… bentar lagi, sayang. Cepat! Ahh... ahh... ah…” suaranya terus berkumandang, sampai tiba-tiba Hapeku ku berdering sangat kencang…

“Ahh… ahh… yes… oh my God! Ahh… ahh… ahh… yes, oh my God!” begitulah bunyi Ringtone hapeku, suara seksi Silvia Saint yang kurekam kemaren dari film porno terbarunya keluaran Private, yang seakan bersaing dengan suara Rika yang masih memburu.
“Ohh… yessssss! Ahh… sudah, darling!” lirih Rika pelan karena “O” dan kecapekan.
Segera kucabut Mr. P-ku dari sarangnya dan kuangkat hape yang masih terus berdering. “Ah, siapa sih telpon pagi-pagi begini? Sialan, mana lagi asyik-asyiknya.” aku bergumam.
Ternyata sekretaris Bosku. “Halo, Shin. Maap tadi aku lagi di WC, tidak dengar suara hape bunyi.” kataku menjawab. Sementara itu Rika asyik memainkan Mr.P-ku dengan mulutnya, bergantian dengan tangannya. Memang dasar tuh anak.
“Jok, gimana sih, ini sudah jam 8 lewat, kok kamu belum kesini? Kita kan mau take off dari bandara jam 10 nanti. Ini Ibu dan anggota rombongan yang lainnya sudah pada ngumpul disini, kamu langsung nyusul sendiri aja ke Bandara ya, nanti ketemu disana! Cepat ya!” wanita di ujung telepon menjawab.
“Hah, udah jam 8 lewat toh, kirain masih jam 6. Oke-oke, aku segera ke bandara, sorry ya.” jawabku sambil menutup hape. Lalu, crootz! Tak terasa Mr. P-ku pun sudah menyemburkan isinya ke seluruh sprei tempat tidur. Ah, lemes aku.
“Ah, darling…” suara Rika lirih mengakhiri, sebelum ia pun tertidur.
Lalu aku pun cepat-cepat pergi ke kamar mandi dengan tubuh masih lemas lunglai. “Gila, aku maen 3 ronde dari kemarin subuh, gak terasa maen sampe jam 8 pagi. Hehehe…” pikirku sambil coba-coba membayangkan apa saja yang sudah aku lakukan semalaman dengan Rika, gadis yang baru aku kenal kemarin malam di sebuah kafe tempat aku biasa nongkrong.
“Kenal baru sejam, dapet 3 ronde, nomer telpon aja belum punya, dasar aku lagi beruntung!” aku senyum-senyum sendiri. “Sialan si Andre, udah tau aku mau ada tugas ke luar kota hari ini, kemaren malah ngajakin ke kafe sampe larut, jadinya lemes deh, harus minum doping nih.” batinku.
Selesai mandi, pake baju, lalu cabut deh dari Hotel. Si Rika kubiarkan saja tidur pulas. “Bye-bye, Rika.“ ucapku lirih sambil kukecup pipi dan keningnya. Dia diam saja, masih tertidur pulas. Kutulis pesan dan nomer hapeku di secarik kertas, kuletakkan di meja samping tempat tidurnya.
Tapi lalu kuambil lagi kertas itu, kurobek-robek dan kubuang ke tempat sampah. “Ah, buat apa ngasih nomer telpon, ntar besok gue juga udah lupa ama dia, ntar bisa cari cewek lain yang masih banyak.” pikirku. “Ini kan hanya ML karena seks semata, bukan cinta.” tambahku lagi sambil keluar kamar meninggalkan Rika sendirian.
Aku mampir sebentar ambil koper dan ganti baju kerja di rumah kontrakan, lalu buru-buru naik taksi ke Bandara. Dalam perjalanan ke Bandara yang kurang lebih setengah jam itu, kubuka-buka laptopku untuk mengecek jadwal-jadwal tugas dan rencana kerja disana nanti.
Oh ya, kita belum kenalan ya? Namaku Joko Sapto Sumarno Legowo, panjang ya? Jowo banget ya? Tapi kalian cukup panggil aku Joko aja, hehehe. Umurku menginjak 28, tahun ini. Dari kecil sampe sekarang, aku dibesarkan di lingkungan Jawa yang kuat, di sebuah kota di tengah-tengah pulau Jawa. Tapi sekarang, karena tuntutan pekerjaan, aku tinggal di pulau Kalimantan, di kabupaten Kutai Kertanegara tepatnya.
Ayahku seorang pensiunan TNI, yang sekarang jadi pengusaha pembuat blangkon dan keris. Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD selama 10 tahun. Sedangkan Ibuku mantan penari Jawa yang cukup top dulu, menari dari satu kota ke kota lain sebelum dinikahi oleh ayahku. Mempunyai 2 orang anak, aku yang paling besar, dan adikku cewek yang beda jauh usianya, masih duduk di kelas dua SMP sekarang.
Setelah lulus dari fakultas hukum sebuah universitas negeri ternama di kotaku, aku sempat magang di sebuah kantor konsultan hukum di Ibukota selama setahun, sebelum 2 tahun lalu koneksi ayahku mengenalkanku dengan seseorang yang katanya butuh asisten untuk pekerjaannya.
Orang itu ternyata Ibu Rita Widyasari, yang sekarang telah menjadi Bupati Kutai Kartanegara. Menjabat mulai tahun 2010 hingga 2015. Waktu itu Bu Rita masih dalam masa kampanye untuk pencalonan dirinya sebagai Bupati, berpasangan dengan wakil bupati Gufron Yusuf. Bu Rita adalah anak kedua dari mantan Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais.
Aku diminta oleh beliau untuk membantu pekerjaannya sebagai asisten pribadi, yang bertugas menangani masalah hukum dan merangkap marketing dan pengumpul dana kampanye. Bu Rita terjun ke dunia politik melalui Partai Golkar. Sebelum menjadi Bupati Kukar, Bu Rita sempat menjadi Ketua DPRD Kukar hasil pemilu legislatif 2009. Aktivitasnya di dunia organisasi tercatat di KNPI.
Ingin mengembalikan kejayaan sang ayah, itulah salah satu alasan yang membuat Bu Rita maju ke perebutan kursi Bupati Kukar. Meski sang ayah tersangkut kasus korupsi, Bu Rita tetap bisa memenangkan pilkada, dan aku pun diangkat sebagai kepala asisten pribadi beliau, yang mengepalai para asisten-asisten Bupati.
Di usianya yang sudah 37 tahun, Bu Rita sempat jadi pemberitaan di media massa sebagai bupati tercantik di Indonesia, sebelum dikalahkan oleh Christiany Eugenia Paruntu, Bupati Minahasa Selatan. Bu Rita juga disebut-sebut sebagai Bunga Demokrasi di Indonesia.
Posisiku sebagai kepala asisten membuatku cukup dekat dengannya. Meskipun sebagian besar masalah pekerjaan, tapi kadang-kadang Ibu Rita juga bercerita tentang keluarganya, atau selalu menggoda aku yang masih saja suka ’menjomblo’ sampe sekarang.
Meski di ceritanya dia selalu menceritakan kebaikan dan kebahagian keluarganya, tapi itu tidak bisa menutupi kegalauan hatinya. Banyak orang di kabupaten ini, terutama di lingkungan pemerintahan, sudah mengetahui bahwa hubungan Ibu Rita dengan suaminya tidaklah harmonis. Suaminya lebih sering ke luar negeri mengurus usahanya daripada menemani Bu Rita di sini. Itulah yang membuat hubungan mereka semakin renggang. Sampai ada kabar beredar bahwa suami Bu Rita sudah menikah lagi, meskipun tidak ada bukti yang menguatkan hal itu. Ah gosip, tidak boleh terlalu dipikirin.
***
KUNJUNGAN KERJA
Setelah setengah jam di taksi, sampailah aku di bandara. Semua anggota rombongan ternyata sudah menunggu disana, aku peserta terakhir yang tiba. Rencananya Bu Rita dan rombongan akan mengadakan Kunjungan Kerja (KunKer) ke Denpasar dan sekitarnya selama 3 hari.
Rombongan terdiri dari Ibu Bupati, sekretarisnya Shinta, aku sebagai kepala asisten pribadi, dan 2 orang anak buahku, serta 5 orang wakil pengusaha lokal. Rencana KunKer ke Bali ini dalam rangka studi banding untuk pengembangan industri dan bisnis pariwisata di kabupaten Kukar.
Bu Rita punya gagasan untuk bikin Area wisata Pemancingan terbesar di Asia, membuat kawasan khusus wisata malam, dan meningkatkan potensi-potensi wisata alam yang banyak tersebar di wilayah Kukar, termasuk adanya pemandian air panas dan danau yang airnya berwarna-warni, danau ’Pelangi’ kalo orang-orang Kukar menyebutnya.
Pesawat take off terlambat, jam 11.00 ternyata baru berangkat. Sialan, udah buru-buru dateng, malah telat terbangnya. Yah, beginilah wajah perusahaan penerbangan Indonesia. Ada kerusakan teknis katanya. Kugunakan waktu nunggu itu untuk tidur sejenak di bangku tunggu Bandara, badanku masih lemas nih, dan Mr.P-ku masih berdenyut-denyut. Hehehe.
Di dalam pesawat, aku berdoa sepanjang waktu tiada henti. “Semoga selamat, ya Tuhan. Tidak ada apa-apa di penerbangan ini.” begitu doaku selama dua jam penerbangan ke pulau Bali.
Soalnya satu minggu lalu ada kecelakaan hebat di Papua, dimana semua penumpangnya tewas, pesawatnya sama persis dari Airlines yang aku naiki ini, dan alasannya sepele, karena pilotnya mengantuk, katanya. Pas mau mendarat, dia kebablasan dan keluar jalur untuk landing. Gila khan, emang pilotnya dugem semalaman apa?!
Tuhan ternyata masih memberiku hidup, hehehe. Pesawatku selamat tiba di Bandara Ngurah Rai. Selamet, selamet, tak hentinya aku mengucap syukur. Dari Bandara, dengan diantar rombongan penjemput dari pejabat kota denpasar, kami rombongan langsung diantar menuju ke Hotel di kawasan pantai Kuta. Sebenarnya sudah disediakan hotel di Denpasar oleh mereka, tapi kami atas usulanku menolaknya. Alasanku kalo di Kuta, biar lebih dekat obyek wisata yang dituju gitu lho. Dan lagian, aku dapet discount 50 persen tarif hotel itu karena pemiliknya masih saudara kakaknya eyangnya adik iparnya Ibu saya ( jauh banget hubungannya ya? Hehehe.)
Acara pertama begitu tiba di hotel : istirahat…!!!
***
HARI PERTAMA
Acara hari pertama sesampai di Bali dimulai jam 15.00 dan berakhir waktu Subset. Kita mengadakan kunjungan bersama wakil-wakil pemerintah kota Denpasar dan Kuta, melihat obyek-obyek wisata menarik di Kuta dan sekitarnya, sambil menikmati indahnya Sunset di tepi pantai Kuta.
Malamnya ada acara pertemuan dan jamuan Dinner dari Pemda Denpasar. Jamuan diadakan di rumah dinas walikota Denpasar sambil bertemu dengan pejabat-pejabat pemda dan beberapa pengusaha dan investor lokal yang berniat investasi bidang pariwisata di kabupaten Kukar. Acara berlangsung dari jam 8 sampe 10 malam. Lalu rombongan kami diantar kembali ke Hotel di Kuta.
“Wah, badanku capek sekali, gara-gara semalam nih.” pikirku ketika merebahkan tubuh ke kasur sambil mulai memejamkan mata sejenak.
Aku sekamar berdua dengan Jeffrie, anak buahku. Bu Rita di kamar presidential suite sendirian, suaminya tidak mau ikut, lagi sakit, katanya. Shinta, sekretarisnya, sekamar dengan Ani, anak buahku yang lain. Sedangkan anggota rombongan para pengusaha lokal, sendiri-sendiri di kamar yang berbeda.
Sambil memejamkan mata di atas kasur, kucoba mengingat-ngat lagi kejadian semalam sampai tadi pagi bersama Rika. Kubayangkan lekuk tubuh mulusnya, dengan sepasang dadanya yang tidak terlalu besar tapi kencang dan sempurna menurutku. Desahan-desahan suaranya yang menggelora dengan keras, dan bulir-bulir keringat yang keluar bercampur wangi parfum yang menggoda.
Tak terasa badanku mulai panas, darah sudah mulai naik ke kepala ketika aku mengingat-ingat kejadian semalam dengan Rika itu, sampai bunyi HP membuyarkan lamunanku.
“Ahh… ahh… yes… oh my God! ahh… ahh… ahh… yes… oh my God!” bunyi ringtone HP-ku berbunyi.
Si Jeffrie tertawa mendengar suara ringtone HP-ku. “Wah, gila lu, bro. Ringtone HP lu keren banget, hahaha.” ucap Jeffrie.
Aku cuek aja sambil tersenyum mengangkat HP-ku. “Halo... oh, Bu Rita. Ada apa, Bu?” tanyaku.
“Jok, coba kamu ke kamar saya sebentar. Ada yang mau saya bicarakan tentang kunjungan kerja dan acara-acara besok pagi.” jawab Bu Rita.
“Oke, Bu. Saya segera kesana. Sebentar, saya ganti baju dulu, Bu.” ujarku. Lalu setelah itu kulangkahkan kaki keluar kamar, menuju kamar Presidential Suite yang ada di lantai 3 hotel.
Di dalam, kulihat Bu Rita masih mengenakan pakaian kerja yang dipakai di acara tadi, rupanya dia belum sempat ganti pakaian. Kamar presidential suite begitu besar, tempat tidurnya King Size, ada dapur kecil dan meja makan, kamar mandi besar dengan bath up Jacuzzi yang juga besar, TV 29 inch, dan lemari es.
Di meja makan ruangan itu, kami berdiskusi tentang acara-acara besok dan evaluasi hasil rangkuman pertemuan tadi. Kurang lebih hampir 1 jam kami berbincang sambil sesekali menenggak minuman kaleng yang tersedia. Saat itulah, ketika aku mau mengambil secarik kertas di meja, tak sengaja tanganku menyenggol sekaleng Cola dan tumpah ke baju Bu Rita.
“M-maaf, maaf, Bu. Saya tidak sengaja, biar saya ambilkan handuk di kamar mandi.” kataku gugup, takut beliau marah.
“Ah, nggak apa-apa, Jok. Biar saya ambil sendiri. Eh, saya sekalian mandi dulu aja ya, badan cukup lelah tadi jadi biar segar lagi.” jawab Bu Rita.
“Oh iya, Bu, silahkan. Kalo begitu saya kembali ke kamar dulu ya, Bu.” kataku.
“Lho, kan pembicaraan belum selesai. Kamu tunggu di sini aja, paling 15 menit juga selesai.” jawab Bu Rita.
“Ehm, iya. Baik, Bu. Maaf ya, Bu.” sahutku dengan agak terbata-bata.
Lima menit berlalu, aku menunggu sambil menonton TV, sampai kemudian kudengar suara Bu Rita memanggilku, “Jok, tolong ambilkan sesuatu di koper ibu ya.” katanya.
“Ambil apa, Bu?” tanyaku.
“A-anu, maaf ya, ibu lupa bawa pakaian ganti tadi. Tolong ya, Jok.”
“Diambilkan yang mana, Bu?” jawabku sambil menelan ludah, cleguks!
“Anu, baju rok batik warna biru aja, Jok. Dan anu, pakaian dalam yang warna merah ya… tolong ya, Jok. Sorry ngrepotin.”
“B-baik, Bu.” jawabku tergagap. Cleguks, kembali aku menelan ludah. Lalu kubuka kopernya dan kucari baju yang diinginkan Bu Rita. Setelah ketemu, kuhampiri pintu kamar mandi. Deg, deg, deg, jantungku berdegup sangat kencang. Cleguks, aku menelan ludah lagi.
Pintu kamar mandi sudah terbuka sedikit sekitar 10 cm. “Bu, ini pakaiannya.” kataku, cleguks, sambil kuberdiri di depan pintu.
“Oh ya. Thanks, Jok.” Lalu sebuah tangan menggapai keluar dari sedikit celah pintu itu.
Ketika aku mau menyerahkannya… eh, baju itu malah jatuh ke lantai. Aku pun segera jongkok untuk memungutnya. Tapi apes. Karena deg-degan, aku jadi salah tingkah, tak sengaja aku terpeleset keset di depan pintu, dan aku pun tersandung, tubuhku jatuh menabrak pintu kamar mandi.
Pintu itu langsung terbuka. Bu Rita yang waktu itu ada di baliknya sedang menunggu pakaian, jadi ikut terjatuh ke lantai karena terdorong tubuhku. “Auw, aduh!” teriaknya kaget.
“Wah, maaf, maaf, Bu. Tidak sengaja, Bu.” jawabku gugup. Dan oh my God, aku melihat pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mataku dimanjakan oleh tubuh Bu Rita telanjang. Deg, deg, deg, jantungku serasa mau copot rasanya.
Tapi aku cepat memalingkan muka. ”M-maaf, Bu. Apakah ibu terluka?” tanyaku.
“Agh, ini... kakiku, kakiku agak sakit, Jok. Tolong aku berdiri.” kata Bu Rita.
“Tapi, Bu.” menolongnya saat dia telanjang seperti sekarang? No way!
“Cepat, Jok.” tapi Bu Rita terus memaksa.
Terpaksa kubalikkan badanku dan menghampirinya, sambil mataku terus terpejam. “Maaf, Bu.” kataku.
“Jok, aku disini.” Bu Rita mengoreksi arah menghadapku yang salah. ”Kalo kamu menutup mata, bagaimana bisa membantu aku berdiri?”
Hem, benar juga. Jadi kubuka mataku dan menghampirinya. Deg, deg, deg, jantungku berdebar semakin kencang. Kuakui Bu Rita memang cantik, bahkan di usianya yang sudah 39 tahun, dia masih kelihatan mulus dan seksi. Dengan kulit putih bersih, langsing, dan lumayan tinggi, Bu Rita terlihat begitu menggairahkan. Oh my God, kucoba menenangkan diri saat membantunya berdiri. Aku tetap  berusaha bersikap profesional, tidak ada sedikitpun niatan untuk berbuat lebih kepadanya.
Padahal di depanku terpampang pemandangan yang sangat indah. Kalau wanita lain, dadanya akan tampak rata saat berbaring telantang, betapa pun besarnya. Tapi dada Bu Rita lain, belahannya tetap terbentuk sempurna, bagai lembah sungai di antara dua bukit, tanda kalau benda itu cukup padat, bulat dan putih mulus. Dan yang makin membuatku tersengal, puting kecilnya berwarna pink, merah jambu!
.“M-maaf ya, Bu.” tanganku meraih handuk dan memberikan kepadanya. Tak sengaja sebagian jariku menyentuh ujung putingnya. Deg-deg, deg-deg, deg-deg! Oh, lembutnya. Meski cuma sebentar,bisa kurasakan betapa keras dan kenyalnya benda mungil itu.
”Enggak apa-apa, Jok.” kata Bu Rita, lalu menutupi tubuhnya yang telanjang dengan handuk. Sempat kulihat bulu-bulu halus tipis yang tumbuh di permukaan kewanitaannya, tak merata. Bulu-bulu itu tumbuh tak begitu banyak, tapi alurnya jelas dari bagian tengah vagina ke arah pinggir. Duh, membuatku makin pusing
“Maaf, Bu.” kataku, entah sudah kata maaf yang keberapa kalinya kuucapkan. Kutuntun Bu Rita untuk duduk ke kursi di meja makan.
“Bagaimana kakinya, Bu?” tanyaku sambil menatap nanar ke sepasang  pahanya yang putih mulus yang cuma tertutup sebagian karena begitu kecilnya handuk hotel yang ia pakai.
Bu Rita mencoba menggerak-gerakkan kakinya. “Hmm, kelihatannya oke-oke aja kok, Jok. Nggak serius kok, tadi mungkin cuma kaget saja.” jawabnya. “Sudah nggak apa. Kamu tinggal saja, Jok, pembicaraannya kita teruskan besok pagi saja.” tambah Bu Rita.
“B-baik, Bu.” jawabku terbata-bata.  “Maaf ya, Bu, gara-gara saya jadi kacau.”
“Ah, besok juga udah baikan kok. Nggak apa.” Bu Rita lalu bangkit dari kursi.  Oh, ada lagi yang bisa kunikmati, goyangan pinggulnya sewaktu dia berjalan mengantarku ke pintu. Aku baru menyadari bahwa Bu Rita juga memiliki sepasang bulatan pantat yang indah. Hah! Aku makin kurang ajar. Ah, enggak. Aku tak berbuat apapun. Cuma memandangnya, tak ingin melewatkan pemandangan indah barang sedikit pun. Masih wajar.
Kulangkahkan kakiku menuju luar kamar. Dengan jantung yang masih berdegup kencang, aku balik ke kamarku sendiri.
Malam itu, aku tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan lekuk tubuh Bu Rita yang begitu mulus dan menggoda membuatku gelisah. Buah dadanya yang padat berisi. Kulit mulusnya yang baru pertama kali ini kusentuh, meski secara tidak sengaja. Sepasang pahanya yang putih bersih. Juga bokong bulatnya yang begitu besar. Oh my God, indahnya!
Lama kemudian, baru aku bisa tidur.
***
HARI KEDUA
Esoknya, aku bangun jam enam lebih. Lagi-lagi terbayang lekuk tubuh dan wajah cantik Bu Rita. Di usianya yang sudah 39 tahun, dia selalu tampil modis dan cantik dengan balutan busana rapi. Tubuhnya selalu wangi. Parfum melati tak lupa selalu tersedia di dalam tasnya.
Bu Rita yang selalu aktif, ceria dan ramah dihadapan semua orang, tak kusangka, kemarin malam kulihat dalam kondisi telanjang, bahkan aku telah merasakan kehalusan kulit tubuhnya. Oh my God, rasanya jantungku berdetak lebih kencang pagi ini.
Semua bayangan itu tak mau hilang disaat aku mandi kemudian. Sarapan pun jadi terasa nggak nafsu pagi ini. Entah kenapa, sepertinya badanku panas sekali. Dan ketika suara lembut itu menyapaku di lobby jam 8 ini, aku serasa tidak menapak tanah lagi.
“Selamat pagi, Jok. Ayo kita bicarakan planning hari ini sambil duduk dan minum kopi.” katanya lembut, seperti tidak mempermasalahkan sama sekali kejadian semalam.
“Selamat pagi, Bu. Mari, silakan.” kupilih meja di pojokan yang jauh dari lalu lalang orang. ”M-maaf soal tadi malam, Bu. Saya benar-benar tidak sengaja.” ucapku lirih setelah kami duduk. Waduh, lagi-lagi minta maaf. Sudah berapa kali sejak kemaren aku bilang itu! Tapi memang aku merasa sangat bersalah sekali sudah memergokinya seperti itu.
“Sudahlah, Jok. Jangan katakan itu lagi! Kita bahas aja rencana hari ini.” jawab Bu Rita sambil tersenyum.
Aku lega dengan jawabannya, kakiku serasa menapak kembali ke tanah.
Hari kedua kulalui dengan berbagai kunjungan, mulai dari Universitas Udayana untuk bertemu para pakar pariwisata dan berdialog dengan mahasiswa, lalu dilanjutkan mengunjungi Sentra Kerajinan dan obyek wisata di Sanur.
Setelah makan siang, kita teruskan kunjungan ke Ubud sampai menjelang sore dan melihat Sunset di tanah Lot. Malamnya, kita dijamu pemda sambil sekalian melihat wisata malam di daerah Jimbaran, makan ikan bakar yang nikmat di sebuah café dan restoran seafood terkenal di pinggir laut Jimbaran.
Wah, serasa kakiku melayang lagi dari tanah. Dan semuanya itu baru berakhir pukul 11 malam. Ketika kembali lagi di Hotel, jam sudah menunjukkan pukul 11.40.
Sesampai di kamar, meskipun sangat lelah, tapi lagi-lagi bayangan tubuh mulus Bu Rita masuk ke pikiranku. Kulihat si Jeffrie sudah tertidur pulas. Pelan-pelan kutinggalkan kamar, kuberanikan diri melangkah pergi ke presidential suite yang ditempati Bu Rita. Tok, Tok, Tok, aku mengetuk pintu kamarnya. Masa hotel bintang 5 kok nggak pake bel pintu sih? batinku dalam hati.
“Maaf, Bu. Apakah ibu sudah tidur?” ujarku dari balik pintu. Tak ada jawaban selama beberapa detik. Ah, pasti udah tidur dia, pikirku sambil kubalikkan langkah kakiku meninggalkan pintu kamarnya. Sampai kemudian suara halusnya menyapaku dari belakang.
“Eh, Jok, ada apa?” seru Bu Rita.
Aku membalikkan badan. “Eh, maaf, Bu. Saya ganggu malam-malam. Saya cuma mau ngasihkan ini, obat oles untuk kaki ibu yang sakit kemarin. Tadi siang saya sempat beli ini di toko.” jawabku.
“Waduh, makasih, Jok. Kok repot-repot, kaki saya kan nggak apa-apa.” ujar Bu Rita. “Eh, mau mampir ke dalam minum sebentar nggak? Ada yang mau aku bicarakan ke kamu, sebentar aja, Jok.” dia mengundang.
”Ehm, b-baik, Bu.” deg, deg, deg, jantungku mulai terpacu kencang lagi saat aku masuk ke dalam presidential suitenya. “Ada masalah apa, Bu? Sepertinya penting.” tanyaku. Kalau tidak penting, buat apa dia repot-repot mengundangku masuk malam-malam begini.
“Gak penting kok, bukan masalah pekerjaan.” jawab Bu Rita. ”Anu, begini… maaf ya sebelumnya, ini masalah keluargaku. Aku merasa kamu sudah cukup lama kenal ibu, jadi aku mau minta saran-saran dan pendapatmu, Jok. Aku bukan wanita sempurna dan tanpa masalah yang selama ini dilihat banyak orang.” terang Bu Rita.
“Banyak persoalan kupendam sendiri tanpa dapat kuceritakan.” lanjutnya. “Semua orang melihatku sebagai seorang Bupati wanita yang tegar, kuat, dan selalu happy, tapi kadang semua itu hanya ilusi, Jok. Aku hidup seakan di dua dunia yang saling bertolak belakang.”
Lalu Bu Rita mulai berkeluh kesah, atau curhat lah istilah gaulnya anak muda sekarang. Mulai dari hubungan dengan suaminya, masalah dengan keluarga besarnya, gosip-gosip seputar dirinya, rekan-rekan partainya sendiri yang menyodoknya dari belakang dan bermuka dua, dan lain-lain.
Saat itu, Bu Rita duduk di sofa menghadap TV, sedangkan aku di seberangnya, sambil kami menghirup secangkir kopi panas. Semua ceritanya mengalir lancar. Aku mendengarkan sambil memberi pendapat-pendapat atas masalah-masalahnya. Sampai tak terasa air mata mulai mengalir dari kedua mata Bu Rita.
“Thanks ya, Jok. Aku merasa lega sekarang. Kamu begitu baik, pasti banyak wanita yang mengidam-idamkan kamu untuk jadi pendampingnya, Jok.” bisknya.
“Ah, ibu terlalu memuji.” jawabku. Kuambil tissue lalu kuberanikan diri untuk mendekati Bu Rita. Pelan, kuusap air mata yang mengalir di belahan pipinya. “Bu, saya sebenarnya sangat mengagumi Ibu. Ibu di mata saya adalah sosok yang ideal untuk dijadikan sebagai pendamping hidup. Seseorang yang spesial bagi saya, di hati saya.” aku mulai berani bicara.
Tiba-tiba Bu Rita menggenggam erat tanganku. Tatapan matanya begitu lembut, mengarah ke mataku. Lalu tanpa sepatah kata, bibirnya mulai mendekati bibirku. Bagaikan Magnet, tanpa tahu siapa yang mendahului, bibir kami telah benyatu. Kami saling memagut dan melumat.
Kukulum bibir Bu Rita yang tipis dan berwarna merah. Rasanya manis menggairahkan. Lidah kami mulai saling beradu. Badanku seakan melengkung 40 derajat untuk merengkuh tubuhnya. Jantungku seakan sudah keluar dari wadahnya, berdetak-detak sangat kencang. Nafsuku mulai memburu.
Sedikit kasar, tanganku mulai bergerilya. Kuelus-elus rambut Bu Rita yang hitam terurai, tidak panjang memang, tapi wangi shampoonya begitu terasa menusuk hidungku. Setelah melihat tidak ada penolakan darinya, mulai kuberanikan diri untuk melangkah lebih jauh. Kumasukkan jariku di sela-sela bajunya. Kusentuh BH-nya yang tipis dan berenda. Kuselipkan jariku menembus cupnya. Di dalam, kutemukan sepasang buah dada yang begitu padat dan kenyal. Meski ukurannya  tidak terlalu besar, tapi rasanya sungguh sempurna, campuran antara hangat, lembut dan padat. Perfecto kalau orang Italia bilang.
Aku terus mengurut-urut pinggiran bulatan buah itu dengan gerakan memutar sambil menggeser cupnya lebih ke bawah. Kini lebih banyak bagian buah dada Bu Rita yang kunikmati. Makin membuatku gemetaran. Entah dia merasakan getaran jari-jariku
atau tidak.
”Dibuka aja, Jok.” katanya tiba-tiba sambil tangannya langsung ke punggung membuka kaitan BH-nya tanpa menunggu persetujuanku.
Oh, jangan dong. Aku jadi tersiksa lho, Bu! kataku dalam hati. Tapi aku senang-senang saja dengan tingkah lakunya. Berarti dia menikmati perlakuanku dan memberiku akses untuk melangkah lebih jauh.
Cup-nya mengendor. Daging bulat itu seolah terbebas. Dan... Bu Rita memelorotkan sendiri cup-nya. Kini bulatan itu nampak dengan utuh. Oh, indahnya. Benar-benar  bulat dan padat, kulit permukaanya terlihat sangat halus dan putih mulus, dan putingnya yang berwarna pink, tampak tegak menjulang!
Kuteruskan urutan dan pijitanku pada daging bulat yang menggiurkan ini. Mulai kumainkan kedua putingnya yang menonjol indah. Sambil kupilin dan kupelintir-pelintir, kulepas baju yang dipakai olehnya. Terasa sekali, puting Bu Rita semakin membesar dan mengeras. Wajar saja, wanita mana yang disentuh seperti ini tidak terangsang?
Dengan nafas sedikit memburu, Bu Rita membalas kelakuanku. Dia melepas kemeja yang aku pakai. Juga celana Levis-ku, hingga hanya tersisa CD-ku yang army Look warna hijau loreng-loreng.
“Wah, Jok, CD-mu tentara ya? Hehehe.” ujarnya sambil tertawa.
“Hehe, iya, Bu. Ini beli pas ada discount 90 persen di mall dulu, mungkin karena nggak laku, Bu. Orang kan sekarang takut sama tentara, hehehe.” jawabku mencoba bercanda.
“Ah, bisa aja kamu.” dan Bu Rita juga menariknya turun. Akhirnya pakaian terakhirku lepas pula, sementara Bu Rita masih mengenakan celana dalam. Bulu-bulu  halus di sekitar kemaluannya tampak terlihat jelas dari balik CD-nya yang tipis dan transparan itu.
Bibir kami beradu kembali. Lidahnya terasa semakin berani merangsangku sebelum akhirnya bibirku turun ke bawah. Kukulum bergantian kedua puting susunya yang mulai tambah mengeras. “Ahh… ahh…” Bu Rita mendesah kencang. “Jok, aku ada rahasia lho,” katanya lagi dengan suara mendesah.
“Apa itu, Bu?” tanyaku dengan mulut tetap menempel di gundukan payudaranya. Seperti bayi yang kehausan, terus kusedot dan kukenyot putingnya.
“Aku sudah tidak ML dan disentuh suamiku 1 tahun lamanya.” jawabnya malu-malu. “Ini ML-ku yang pertama setelah setahun lebih, jadi… ahh! T-tolong, puaskan aku!” lanjutnya sambil mendesah lagi lebih keras.
Aku diam aja. Tak kujawab kata-katanya. Aku masih terfokus pada putingnya.
”Bagaimana, Jok. Kamu bisa kan?” Bu Rita bertanya lagi.
”Tentu saja, Bu.” sahutku, lalu kuangkat tubuh sintalnya ke tempat tidur, Kurebahkan dia di atas ranjang hotel yang empuk. Tanganku mulai mengelus-elus CD-nya, menyentuh lembut bulu-bulu halus yang menyembul dari celah-celah lipatannya.
“Ahh… ahh...” Bu Rita mendesah lagi saat kubuka benteng terakhirnya. Kubuang jauh kain segitiga mungil itu ke lantai. Lidahku mulai bermain lagi di kedua puting susunya, lalu naik ke lehernya sampai dia mendesah lagi. Kukulum bibirnya sebentar, lalu turun lagi.melewati dada, perut, dan sampai ke sela-sela kemaluannya, dan berhenti disana.
Kubuka kaki Bu Rita lebar-lebar, lalu kebenamkan kepalaku diantara kedua panilla. Kumainkan lidahku di lubang vaginanya yang sudah memerah. Klitorisnya yang menonjol mungil kurangsang lembut. “Aahhh…” wanita itu mendesis pelan.
Jari tengah dan telunjukku mulai beraksi. Kumasukkan kedua jari itu ke dalam Miss V-nya dan kukocok pelan. Saat kurasakan benda itu sudah mulai basah, kupercepat tusukanku, lalu kembali pelan. Cepat lagi. Pelan lagi. Begitu terus hingga nafas Bu Rita menjadi semakin memburu.
“Aaaahhh…” wanita cantik kelahiran Tenggarong, 11 November 1973 itu mendesah keras mengagetkanku, diiringi basah dan banjirnya Miss. V miliknya. Ternyata Bu Rita sudah Orgasme dengan permainan jariku.
”Ah, Jok, nikmatnya!” rintihnya pelan ketika aku meremas dan menjilati putingnya yang terasa kian keras saja. ”Kamu suka banget ya sama susuku? Dari tadi main itu terus.” pertanyaan Bu Rita mengagetkanku. Memang, sambil menjilat vaginanya tadi, tanganku tak lepas memegang dan meremas-remas payudaranya.
”Ah, habisnya susu ibu indah banget sih.” kata-kataku meluncur begitu saja tak
terkontrol.
”Kamu suka?” ah, mata sipit itu. Mata yang mengundang!
”Suka banget, Bu.” jawabku sambil menghisap lebih keras.
Bu Rita tertawa kegelian dan memukul bahuku. ”Sudah, Jok. Sudah. Sekarang giliran ibu.”Bu Rita mengubah posisi. Sekarang dia berbaring telungkup menindih tubuhku yang telentang pasrah di tempat tidur. Payudaranya yang hangat dan kenyal terasa sekali mengganjal di perutku.
Kami kembali berciuman. Bu Rita mengulum bibirku dengan rakus sambil tangannya mulai merambat mencari-cari batangku. ”Wow, bukan main. Besar sekali, Jok.” serunya saat benda itu sudah ia temukan. Mata bulatnya berbinar-binar saat melihatnya, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
Kembali Bu Rita mencium bibirku. Permainan lidahnya terasa semakin menggairahkan. Lalu kemudian bibirnya turun ke bawah, menghisap puting dadaku dengan lembut, dan terus turun untuk merangsang perutku, turun lagi ke bawah ke antara kedua kakiku, dan sampailah di depan Mr.P-ku. Cepat, mulut tipisnya beraksi, Bu Rita menjilat lembut benda itu seakan menikmati es krim Campina. Dan tak cuma batangnya, dia juga turun ke my ball. Dihisap-hisapnya tempat penampungan sperma itu dengan keras.
“Ooh… ahh…” aku mendesis pelan, sangat keenakan.
Bu Rita terus mengulum penisku yang sudah 85 persen tegang. Dalahapnya habis daging coklat panjang itu sampai mulutnya yang mungil terlihat penuh sesak. Dia menjilatinya cepat, lalu pelan, cepat lagi, pelan lagi, dan begitu terus selama 5 menit sampai batangku 99 persen mengeras. Dia seperti ingin membalas perlakuanku pada vaginanya tadi. Tapi tentu saja dia tidak bisa membuatku orgasme hanya dengan kuluman saja, aku ingin lebih!
“Wah, kuat juga kamu. Aku sampai capek.” keluhnya senang. ”Dimasukkan sekarang ya?” tanyanya mesra dan nakal. Aku mengangguk pelan sebagai tanda setuju. “Hehe… malu ya? Masa sudah bikin aku moncrot masih malu juga!” kata Bu Rita menggoda.
”Bagaimana pun, ibu kan atasanku.” sahutku sambil membuka dompet dan mengeluarkan kondom dari dalamnya.
“Wah, selalu sedia kondom ya kamu? Kok udah siap-siap gitu sih, jangan-jangan kamu sengaja menggoda ibu ya tadi?” kata Bu Rita.
“Ah, nggak, Bu. Tentu saja saya tidak berani.”
Bu Rita tertawa, ”Bilangnya nggak berani, tapi sudah menindih ibu kayak gini.” sindirnya.
Mukaku langsung bersemu merah. ”Ah, iya, Bu. Maaf.”
”Nggak apa-apa, Jok. Ibu juga senang kok. Ibu tidak merasa kamu manfaatkan. Kita sama-sama menginginkannya, benar kan?”
Aku mengangguk. ”Iya, Bu. Semalam saya nggak bisa tidur gara-gara lihat tubuh telanjang ibu. Saya kepikiran terus.”
”Ya sudah kalau begitu. Mumpung sekarang orangnya ada di sepan kamu, ayo cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran.”
”B-baik, Bu.” dengan dibantu Bu Rita, segera kupasang kondom ke batang penisku.
”Dapat darimana, Jok?” tanya Bu Rita, rupanya dia masih penasaran dengan asal usul benda itu.
”Ehm, kebetulan tadi di jimbaran ada aktivis yang bagi-bagi kondom gratis di pantai.” jawabku. Kini penisku sudah terselubung seluruhnya, siap untuk digunakan.
“Hehehe, kamu ini, maunya yang gratis-gratis aja.” kata Bu Rita. “Wah, rasa duren. I like Duren. Hehehe.” dia tertawa. “Mau aku yang di atas dulu?” tanyanya kemudian.
Aku hanya mengangguk pelan tanda setuju. “Heh, jangan malu-malu gitu dong, bikin aku tambah horny aja.” kata Bu Rita sambil mulai mengatur posisi di atas tubuhku. Aku diam saja, pasrah.
Dia membuka kakinya, memamerkan belahan vaginanya yang sempit dan legit. Bulunya yang tercukur rapi tampak basah. Tepat di tengah-tengah, kulihat sebagian clit-nya yang berwarna merah jambu! Bukan main. Dan ternyata, pahanya juga lebih indah kalau tampak seluruhnya begini. Putih, bersih dan bulat.
Bu Rita membuka kakinya makin lebar. Clitnya makin jelas terlihat. Benar, merah jambu. Aku langsung menempatkan batangku di antara bibir vaginanya, kuarahkan tepat ke lubangnya yang merekah. Ketika ujungnya sudah menempel, Bu Rita pun menekan pinggulnya.
”Uhh... Sedap!” rintihnya, padahal baru kepala penisku saja yang masuk. Dia menekan lagi. ”Ouff... kok seret banget sih!” keluhnya, tapi terus menekan.
”Eghh...” penisku terasa ngilu, seperti mentok. Kulirik ke bawah, baru setengah yang masuk. Ini karena penisku yang terlalu besar, atau vagina Bu Rita memang sempit? Aku coba lebih bersabar, menusuk pelan-pelan, tapi pasti, sampai penisku tenggelam seluruhnya. Benar, vaginanya memang sempit. Gesekannya amat terasa di batang penisku. Ohh, nikmatnya. Mungkin karena sudah setahun tidak dipakai.
Kami kembali berciuman. Dan kembali tanganku hinggap di gundukan payudara Bu Rita untuk meremas dan membelainya lembut. Perlahan kurasakan dia mulai menggerakkan tubuhnya naik turun. “Ahh… ahh… hmm… ahh… ohh… uhh…!” suara desahan Bu Rita memburu kencang, mengikuti gerakan dan irama tubuhnya yang juga kian cepat.
Kedua buah dadanya yang besar bergoyang-goyang indah, membuatku semakin hot saja. Bu Rita sangat ahli mengatur tempo permainan, ia gerakkan tubuhnya yang sintal naik turun, cepat, lalu lambat, lalu cepat lagi, lambat lagi, begitu terus secara bergantian, disertai desahan dan erangannya yang terdengar semakin kuat.
“Ahh… ahh… ahh… capek, Jok. Gantian dong!” pinta Bu Rita. Segera kutelentangkan tubuhnya di atas tempat tidur, kini ganti aku yang berada di atas. Tanpa melepas kemaluan kami, mulailah kugenjot tubuhnya kembali, maju-mundur. Kuatur temponya, kadang cepat, lalu berganti lambat, kemudian cepat lagi.
“Ahh… ahh… ahh… arghhh…” Bu Rita mendesah semakin rame. Dari posisi ini, coba kumainkan variasi dengan merubah posisi kakinya, kutusuk dia dengan posisi aku agak menyamping. Kulakukan terus sampai kurasakan Miss.V-nya jadi basah sekali. Crot, crot, crot, oh ternyata dia sudah orgasme untuk kedua kalinya.
Lalu kuganti posisi Doggy Style. Kutusuk dan kugenjot dia dari belakang sambil tanganku berpegangan pada buah dadanya yang menggantung indah. Bu Rita kembali bergetar dan orgasme.
Kembali woman on top. Tapi posisiku tidak tidur, aku agak duduk bersandar di tembok. Bu Rita yang sudah lemas, kuminta untuk menggoyang pinggulnya naik turun sambil kuremas-remas kedua payudaranya. Putingnya yang mencuat mungil, kukulum-kulum dengan rakus.
Aku yang merasa sudah hampir sampai, balik lagi di atas. Diselingi berapa kali ciuman mesra, kugenjot terus miss.V-nya. “Ahh… ahh… ahh… oh my god!” suara desahan Bu Rita mengiringi setiap gerakanku. Dia menjerit dan merintih-rintih secepat dan sekeras tempo tusukanku di lubang kemaluannya.
”Aghhh... Bu! Nikmat sekali!” akupun ikut mendesah pelan mengimbanginya. Keringat sudah deras membasahi tubuh kami berdua. ”Ahh… ahh… s-saya… bentar lagi… ahh!” ujarku putus-putus. Penisku sudah terasa sangat ngilu dan nikmat.
Bu Rita yang mengetahui keadaanku, semakin mempercepat gerakan miss.V-nya. Erangan dan desahannya juga terdengar semakin keras. “Aah… ahh… aaahhhhh…” sambil memagut bibirku, dia berteriak lantang tertahan, lalu memelukku sangat kencang. Badannya yang molek menegang dan menggelinjang keras. Dia orgasme untuk yang ketiga kalinya.
Bersamaan dengan itu, aku yang juga tidak kuat lagi, ikut meledak dan orgasme bersamanya. Kulepaskan semua peluruku yang kutahan sejak tadi, kusemburkan spermaku dalam-dalam ke liang vagianya. Crot, crot, crot!
”Ahh… ahh…” dengan tubuh lemas tapi puas, kami berpelukan dan berciuman. Sengaja tidak kucabut penisku sampai benda itu copot dengan sendirinya.
”Kamu mau balik ke kamarmu atau tidur disini?” tanya Bu Rita sambil memegang-megang penisku yang sudah lemah tak bertenaga.
”Saya balik aja, Bu. Gawat kalau si Jeffrie sampai curiga dan nyariin kesini.” aku menjawab.
”Ok. Trims ya sudah mau nemenin aku.” Bu Rita mengecup pipiku lalu mengajakku mandi. Disana, kami main sekali lagi.
Jam 3 pagi, aku baru balik ke kamarku. Sebelum pergi, kukecup keningnya dan kubisikkan kata, ”I Love u.”
Bu Rita membalas lirih, ”I love u too.”
***
HARI KETIGA
Paginya, meski semalam kerja keras dan kurang tidur, aku tetap bangun pukul 6.30. Saat melangkah ke kamar mandi, serasa kakiku melayang dari tanah. Aku masih belum bisa mempercayai keberuntunganku semalam. Sekilas terbayang apa yang telah kulakukan dengan Bu Rita di kamarnya. Sambil menggosok tubuhku, terbayang kembali kejadian itu, seakan lekuk tubuh Bu Rita masih membekas di otakku, dan desahan suaranya tak mau hilang dari telingaku.
Ketika sarapan bersama di Restaurant hotel, aku lebih banyak diam dan merenung, seakan masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi semalam. Bahkan ketika Bu Rita menyapaku, aku terdiam saja, bengong.
“Hei, Jok. Jangan ngelamun gitu ah.” serunya sambil menepuk bahuku. Kuperhatikan wajahnya, kenapa ya kok aku merasa dia jadi tambah ceria pagi ini, apakah karena semalam? Ah, aku jadi GR nih.
“Nih anak, disapa dari tadi cuma diam aja.” kata Bu Rita lagi.
Akupun terkesiap dan tersadar. “Eh, anu, selamat pagi, Bu.” jawabku gugup. Lalu kami pun sarapan bersama satu meja berhadap-hadapan tanpa bicara apa-apa lagi, soalnya rombongan yang lain sudah pada datang, takut nanti salah omong dan mereka jadi curiga.
Hari ketiga ini adalah hari terakhir kami di Bali. Rencananya hari ini diisi acara kunjungan ke kawasan Nusa Dua, lalu ke Pura Uluwatu, dan mengunjungi beberapa UKM kerajinan patung-patung dari batu dan kayu di sekitar Denpasar.
Malamnya kita diundang perhimpunan pengusaha muda Bali, untuk santap malam di sebuah Resort Butik Hotel bintang 7 di kawasan Nusa Dua. Suasana hotel benar-benar romantis. Waktu makan, mataku tak lepas memandang dan selalu mencari-cari keberadaan Bu Rita. Meski sudah berusaha, hari ini aku seakan begitu susah berkata-kata di depan dirinya.
Semilir angin malam di pinggir pantai menusuk tulangku, dan pikiranku mulai menerawang. “Yang kemarin malam itu, benar-benar cinta, ataukah hanya sex semata?” aku bertanya pada diriku sendiri.
Apakah aku benar-benar mencintainya? Ataukah ini hanya perasaan karena situasi saja? Aku tahu jarak antara aku dan Bu Rita memang begitu jauh. Dia seorang Bupati, sudah bersuami, dan pastilah harus bebas dari konflik dan affair untuk kepentingan politiknya. Dan yang paling penting, apakah dia benar-benar mencintaiku, seperti yang dia katakan padaku semalam? Atau semalam dia hanya karena terbawa suasana sesaat saja? Pikiran itu terbawa sampai aku menjelang tidur.
Dalam kamar, kulihat Jeffrie sudah mengorok seperti biasanya. Anak itu memang gampang sekali tidur, begitu kepalanya menyentuh bantal, langsung terlelap. Aku yang masih belum bisa memejamkan mata, memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di sekitar hotel. Dimulai dari kolam renang, lalu ke taman depan, sampai akhirnya tanpa sadar kulangkahkan kakiku menuju Presidential Suite. Saat itu sudah pukul 12 malam.
Aku berdiri di depan kamar Bu Rita, tapi ragu untuk mengetuk pintunya. Lama aku terdiam dan menimbang-nimbang. Setelah kuputuskan kalau tindakan ini tidaklah benar, aku pun berbalik dan membatalkan niatku. Lalu aku berjalan ke resto hotel. Duduk di sebuah meja sendirian, aku memesan secangkir black ekspresso sambil menghisap rokok Slim keluaran terbaru yang kubawa.
Kupandangi batang rokok yang mulai terbakar ujungnya, kenapa rokok slim sekecil ini rasanya tidak kalah dengan rokok lain yang besar-besar ukurannya? Pasti karena isi dan ramuan di dalamnya, bukan ukurannya. Saat itu pula aku tersadar, apakah akupun bagaikan sebatang rokok slim ini, kecil tapi rasanya lebih nikmat? Mungkin Bu Rita memandangku bukan dari status ataupun wajah luarku, tapi dari isi yang ada di dalam benakku, karena kebaikanku.
Aku pun tersenyum sendiri sambil memandangi kilau lampu taman di sekitar resto. Aku mulai merasa… apakah ini yang namanya jatuh cinta? Selama ini, setiap berhubungan dengan wanita, yang ada di pikiranku cuma sex dan ML saja. Setelah melakukan itu dengan Rika, Stefani, Dina, ataupun siapapun yang aku telah lupa namanya, aku tidak pernah memikirkan perasaan mereka dan bagaimana kelanjutan hubungan kami selanjutnya. Yang ada cuma having fun.
Tapi setelah melakukan dengan Bu Rita semalam, aku bagaikan melayang tidak menyentuh tanah. Jantungku terus berdebar-debar, sementara pikiranku terus diracuni oleh bayangan tubuhnya. Aku tidak bisa melakukan apapun tanpa memikirkan wanita itu!
Sembari meneguk kopi terakhirku, aku tersenyum. Aku sudah tahu apa yang selama ini kucari. Aku harus menemuinya, malam ini juga, dan mengatakan semua isi hatiku, pikirku dalam hati sambil melangkah meninggalkan resto.
Beberapa langkah berjalan, HP-ku berbunyi, ada SMS masuk. Dari Bu Rita, ucapku dalam hati. Cepat kubaca SMS itu sambil aku kembali mencari tempat duduk di situ.
“Joko, aku tidak bisa tidur malam ini. Sejujurnya, aku selalu terbayang kejadian kita kemarin malam, aku merasa aku telah menemukan sesuatu yang berbeda dalam dirimu yang selama ini aku cari. Meskipun kita sudah kenal lama, tapi baru tadi malam aku benar-benar yakin bahwa aku sangat... mencintaimu!” kubaca kata terakhir itu dengan nafas tercekat.
Kulanjutkan membaca. “Tapi banyak kendala yang kamu sendiri pasti sudah tahu, yang membuat hubungan kita ini tidak akan berjalan mulus. Untuk itu, aku harap kamu mau mengerti. Lupakan aku, dan carilah wanita idamanmu. Kejadian kemarin adalah yang pertama dan terakhir di antara kita. Aku harap kita berteman saja sebagai rekan kerja. Aku masih membutuhkan bantuanmu mengurus pemerintahan di kabupaten Kukar.” aku terduduk lemas di kursi.
“Aku akan selalu mencintaimu, hatiku selalu untukmu walaupun tubuhku tidak bersamamu. I love u forever!”
Kubiarkan saja SMS itu, tidak kubalas. Biarlah itu menjadi SMS terakhir darinya, pikirku. Malam itu, waktu terasa panjang sekali, aku duduk di resto itu sampai pagi.
***
EPILOG
3 hari setelah hari itu, setelah kepulangan semua rombongan Kunker ke Bali, aku melangkah keluar dari kantor Bu Rita. Aku terdiam sesaat sebelum kuteruskan langkah menuju tempat parkir. Kutengok ke arah gedung kantor bupati, kupandang lama. Tak terasa air mataku menetes. Lalu kubalikkan langkah meninggalkan kantor itu. Untuk terakhir kalinya aku akan melewati jalan ini.
Siang tadi, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri kepada Bu Rita. Kuputuskan untuk tidak lagi bekerja disana. Bagiku terlalu berat untuk selalu melihatnya, tapi tidak bisa memilikinya. Biarlah aku saja yang pergi, ini baik untuk kita berdua. Kuputuskan 2 hari lagi aku akan pergi ke Jayapura. Aku akan tinggal sementara di tempat pamanku sambil mencari pekerjaan disana. Mungkin aku bisa buka konsultan hukum, dan dapat membantu warga Papua soal masalah hukum.
Ketika aku hendak menjalankan mobil, HP-ku berbunyi. Ringtone Silvia Saint kembali berkumandang. Kudiamkan saja, tidak kuangkat, sampai suaranya hilang. Kunyalakan mobil, kutinggalkan kantor bupati Kukar untuk terakhir kalinya.
Lalu ada SMS menyusul masuk 5 menit kemudian, dari Bu Rita. Kubaca SMS itu dengan berat hati. Sangat singkat isinya. “Maafkan aku, I will always love u!”
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar