”Kapan suamimu pulang, Tan?”
bisikku letih kepadanya, sejenak setelah hampir sekitar kurang lebih satu jam
aku menggeluti dan menyetubuhinya sebanyak dua kali. Kami berbaring kelelahan
di atas kasur kamarnya. Kuelus-elus mesra bukit payudaranya yang membusung
indah dan sedikit basah berkeringat sehabis kusenggamai. Begitu bulat dan
montok bukit payudara wanita cantik itu. Kucubit gemas berulang kali putingnya yang
empuk dan kenyal.
”Nghh… Nanti sore, Mas. Emang kenapa?”
ujarnya setengah merintih menikmati elusanku.
”Apa katanya nanti, Tan… kalau
tahu kau tiba-tiba hamil?” tanyaku sedikit khawatir.
”Ahh, selalu itu saja yang kau
tanyakan, Mas. Tentu saja dia akan senang.” Tanti mengelus penisku yang
menempel di paha mulusnya.
”Tapi ini bukan darah
dagingnya.” kubalas dengan menggelitik vaginanya dan memasukkan satu jariku ke
belahannya yang masih sangat basah, hasil persetubuhan kami tadi.
”Ahss... dia tidak akan tahu…”
Tanti kembali merintih. Genggamannya pada penisku semakin erat.
”Bisa-bisa aku dibunuhnya, Tan!”
tanyaku masih tak puas.
Tanti membuka kedua matanya yang setengah terpejam lalu memandangku gemas. ”Mas, dia tidak akan curiga. Dipikirnya pasti ia yang menghamili aku. Dia tidak akan menyangka kalau ini adalah anakmu.”
”Kau gila, Tan.” kukecup
bibirnya yang tipis dan sensual.
Tanti membalasnya dengan
mengejar bibirku. ”Mas yang lebih gila. Berani-beraninya merayuku sampai hamil
begini…” bisiknya lirih masih kelelahan.
“Kau yang memancingku lebih
dulu,” kataku berkilah. ”Lagian, kenapa kamu mau juga dirayu?” ujarku tak mau
kalah.
”Bodoh, ah…” sahutnya malas. “Aku kan cuma pengen
punya anak.”
”Tapi bagiku, itu seperti
menawari.” kuremas-remas lagi bukit payudaranya. Entahlah, aku begitu gemas
melihat benda bulat itu.
”Ah, pikiran mas aja yang
terlalu jorok.” Tanti terlihat letih. Bibirnya yang sedikit tebal tampak basah mengundang.
Kupandangi tubuh bugilnya yang
putih dan montok. ”Aku cuma ingin menolongmu, Tan.” bisikku.
”Ya sudah kalau begitu, tidak
usah dibahas lagi.” Tanti meremas dan mengocok alat vitalku yang mulai menegang
lagi. Kedua buah dadanya tampak bergoyang-goyang indah saat ia melakukannya.
Kedua putingnya yang keras berwarna coklat kemerahan menggelitik dadaku.
”Eghhh...” aku melenguh
keenakan. ”Tan...” kukecup pipinya.
Tanti mendongak dan menyambar
bibirku. Dengan cepat kami segera terlibat dalam pagutan mesra yang panas dan
penuh gairah. Tanganku yang melingkar di perutnya, perlahan merambat menuju pinggulnya
yang bundar dan padat. Pahanya yang seksi dan putih mulus tampak begitu
merangsang. Saat kuelus, terasa sangat empuk dan licin sekali. Ohh, begitu
menggairahkan. Apalagi ditambah tonjolan bukit kemaluannya yang tertutup jembut
tipis, makin lengkaplah sudah kesempurnaannya. Tanti adalah perempuan cantik
yang sangat merangsang birahi.
”Suamimu benar-benar bodoh, Tan.
Tidak tahu bagaimana memanfaatkan tubuhmu.” bisikku gemas.
”Dia tahu kok, cuma kurang
beruntung aja,” Tanti berkilah, membela suaminya. Selama itu, dia terus
mengocok penisku hingga dalam sekejap saja, benda itu sudah kembali menggeliat.
”Dan itu jadi keberuntungan
untukku, sehingga bisa mencicipi tubuhmu.” penisku kembali perkasa. Kepalanya
perlahan membesar bak buah sawo manis.
”Aku juga beruntung, jadi bisa
cepat hamil. Nggak usah nunggu lebih lama lagi.” Tanti menelusuri urat-urat di sekujur
batang penisku yang mulai bertonjolan keluar, menandakan ereksi-ku yang telah
sempurna.
”Kamu tidak menyesal punya anak
dariku?” aku bertanya.
”Kalau menyesal, sudah sejak awal
mas kutolak.” Tanti melirikku sekilas dan tersenyum.
”Apa pertimbanganmu hingga
memilihku?” kupegangi tangannya, kuminta untuk mengocok penisku lagi.
”Rafael tampan. Kalau aku punya
anak, kan minimal bisa tampan kayak dia,” sahut Tanti. Rafael adalah nama anakku
yang baru berusia 1 tahun.
”Kalau ternyata nanti cewek
gimana?” aku menggodanya.
”Ya pasti cantik lha, kayak
ibunya.” Tanti tertawa.
Aku ikut tertawa, tidak
membantah. Kuakui, Tanti memang cantik.
Sangat-sangat cantik malah. Anak hasil hubungan kami pasti akan sangat sempurna
nantinya.
“Tapi, mas… aku tidak pernah menyangka kita akan seperti ini.” bisiknya
lemah.
Aku tersenyum dan kembali mengecup bibirnya. “Aku juga, Tan.” Awalnya
memang kami akan berhenti begitu Tanti hamil, tapi ternyata… kami keterusan!
Aku tidak sanggup meninggalkan tubuhnya yang begitu molek dan montok. Begitu juga dengan
Tanti, sepertinya dia juga ketagihan dengan permainan seksku.
“Mau sampai kapan, mas?” dia
bertanya.
”Entahlah, Tan. Sampai
kandunganmu cukup besar...” itu antara 8 atau 9 bulan, masih lama.
”Setelah itu, Mas, setelah aku
melahirkan?” akankah kita mengulanginya
lagi? Tanti tidak melontarkan pertanyaan itu. Tapi aku sudah mengerti.
”Kita lihat nanti saja, Tan. Toh
itu masih lama.” aku tidak berani berjanji apa-apa kepadanya. Bisa saja kan
terjadi sesuatu selama beberapa bulan ke
depan yang bisa mengganggu hubungan ini.
Tanti mengangguk dan memelukku.
Kuanggap itu sebagai tanda selesainya diskusi. Jadi, menyeringai senang, dengan
penuh gairah aku kembali menaiki dan menindih tubuhnya. Kupentangkan lebar-lebar
kedua paha mulus wanita cantik itu dan kumasuki vaginanya. Tanti hanya bisa memekik
kecil dan merintih panjang saat untuk kesekian puluh kalinya batang penisku kembali
menembus dan mengoyak liang kemaluannya yang hangat sampai mentok.
” Auw! Ooh.. Mas.. kamu
benar-benar pejantan tangguh…” bisiknya letih.
Aku tahu dia sudah tak sanggup
lagi melayani nafsu seksku… Tapi sayang, aku tak peduli. Tubuh montoknya sukar
untuk di sia-siakan. Salah sendiri, punya badan kok bagus kayak gitu. Aku jadi
terangsang terus kalau berduaan dengannya. Tanti hanya bisa mengeluh dan
merintih berulang kali ketika aku mulai mengayuh pinggulku turun naik
menyetubuhinya lagi beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya air maniku kembali menyembur
keluar dengan hebatnya memenuhi liang vaginanya, menyebar benih-benih spermaku
ke dalam rahimnya, meski aku tahu itu tidak berguna, karena dia sekarang sudah
hamil anakku!
***
Semuanya berawal di pagi yang
dingin 3 bulan yang lalu... aku sedang asyik main game di laptop, ketika HP-ku
yang ada di atas kulkas bergetar. Kulihat di layar, nomernya tidak dikenal.
Diterima apa nggak ya? Aku memang malas menerima telepon bukan dari nomor yang
ada di ’kontak’ku. Tapi entahlah, pagi itu aku seperti mendapat dorongan untuk
menerimanya.
”Halo?” kuangkat telepon itu.
”Halo, mas. Gimana kabarnya?”
tanya suara merdu di seberang. Aku seperti familier dengan suara itu. Tapi
siapa ya? Aku lupa.
”Ya, kabarku baik-baik saja.” Aku masih menebak-nebak
dan terus mengingat-ingat siapa dia. Sementara di seberang, si empunya suara terus
mengoceh.
“Mas sekarang dimana? Istri mas
ada nggak?” tanya perempuan itu. Oh ya, hampir lupa, suara itu suara perempuan.
“Ehm, aku di kota S. Lagi di
kontrakan ini, sendirian. Istriku ada di kota B, sejak melahirkan kemarin belum
balik kemari.” entah kenapa aku menjawab terus terang kepadanya. Aku tahu
perempuan itu bertanya tentang istriku karena takut istriku akan marah kalau
sampai tahu aku menerima telepon dari wanita lain. Tapi kalau sedang sendirian
di kontrakan begini, berarti aman, pembicaraan bisa dilanjutkan.
Karena tidak bisa menebak siapa
dia, aku akhirnya bertanya. ”Eh, bentar ya, ini siapa sich?”
Perempuan itu merajuk, ”Masa
lupa sih, Mas. Aku Tanti.”
Ah, ya... Tanti. Baru ingat aku sekarang.
”Oh, kamu toh, Tan. Nomormu ganti lagi?” aku bertanya. Memang kebiasaan dia
sejak dulu, suka gonta-ganti nomor.
Tanti tertawa. Dan selanjutnya,
kami pun segera terlibat dalam obrolan ringan dua sahabat yang sudah hampir dua
tahun tidak ketemu. Tanti adalah mantan rekan kerjaku yang kini sudah keluar.
Setelah menikah, dia ikut suaminya ke kota M. Sejak itu kita putus hubungan,
hanya kadang-kadang saja ngobrol di FB kalau pas lagi online bareng. Padahal
dulu kita akrab sekali.
Sedikit gambaran tentangnya,
Tanti adalah perempuan yang ’tinggi besar’. Tinggi karena dia memang 170cm, aku
saja harus mendongak kalau berbicara dengannya. Dan besar karena dada dan
bokongnya memang sangat besar. Wajahnya juga cantik, dengan gaya bicara yang
begitu manja dan menggemaskan. Kesannya jadi geregetan kalau ngobrol dengannya.
Sehari-hari dia memakai jilbab. Aku tidak pernah tahu rambutnya bagaimana
sampai saat aku tidur dengannya. Dan untuk masalah tidur ini, aku juga tidak
pernah membayangkannya sama sekali. Boro-boro tidur, pacaran dengannya saja aku
tak pernah, apalagi tidur. Tapi itulah takdir, semuanya bisa terjadi begitu
cepat. Kita tidak pernah bisa menebaknya sama sekali.
Jujur, sejak pertama kenal dulu,
aku sudah tertarik kepadanya. Tertarik dalam arti ’nafsu’, bukan tertarik untuk
dijadikan pacar. Aku tahu diri, dengan keadaanku yang seperti ini – badanku
pendek dan aku cuma pegawai biasa –
Tanti tidak akan pernah tertarik kepadaku. Jadi aku mendekatinya hanya sekedar
sebagai teman ngobrol dan curhat saja. Dan Tanti tampaknya juga menikmatinya.
Dia jadi sering menceritakan masalahnya kepadaku, termasuk apabila ada masalah
dengan pacar-pacarnya yang semuanya kaya dan tajir-tajir. Bahkan tidak jarang
dia meneleponku tengah malam hanya untuk menangis apabila disakiti oleh salah
satu pacarnya. Yah, itulah aku, cuma bisa menjadi pendengar setianya, dan
sesekali memberikan saran kalau masalahnya cukup berat.
Tapi aku cukup menikmatinya,
karena dengan begitu aku bisa akrab dengannya. Bahkan lebih akrab dari
pacar-pacarnya, karena dengan mereka, Tanti sering bertengkar. Sedangkan
denganku, dia selalu tertawa dan bergembira. Hubungan ini berjalan begitu lama,
hampir satu tahun. Dan selama itu, Tanti tidak pernah tahu kalau aku
menggunakan tubuhnya sebagai objek fantasiku. Hampir setiap hari aku onani
sambil membayangkan tubuhnya. Cuma itu yang bisa kulakukan agar bisa ikut
memiliki dirinya. Maafkan aku, Tan...
Sampai akhirnya aku menikah 2
tahun yang lalu. Tanti ikut merancang semuanya, bahkan dia memilihkan jas yang
akan kupakai saat akad nikah nanti. Dia lebih perhatian daripada calon istriku!
Dia juga terlihat gembira karena melihat aku sudah menemukan calon pendamping.
”Kamu kapan nyusul?” tanyaku
saat kita makan bareng untuk yang terakhir kali.
”Nggak tahu, Mas. Mungkin tahun
depan. Nunggu bisnis si Ferdi stabil dulu.” Ferdi adalah nama pacarnya yang
sekarang, anak orang kaya.
Dan bulan-bulan berikutnya,
setelah aku menikah, Tanti makin menjauh. Mungkin dia sadar kalau sudah tidak bisa
memiliku seperti dulu lagi. Dan juga, dia sudah mulai disibukkan persiapan
pernikahannya yang tinggal menghitung hari. Sedangkan aku, juga sibuk
mempersiapkan kelahiran bayiku. Kami makin putus hubungan. Apalagi setelah dia
menikah dan pindah ke kota M ikut suaminya, aku jadi tidak bisa menghubunginya
lagi. Nomornya sering ganti, dan juga aku takut kalau sampai ketahuan suaminya.
Bisa runyam nanti.
Kami hanya bertegur sapa di
dunia maya, itu pun cuma beberapa bulan sekali, kalau pas lagi online bareng.
Kalau nggak, ya aku lebih sibuk merawat istriku daripada memikirkan si Tanti. Kandungan
istriku kini semakin besar.
Sesekali Tanti meneleponku,
kalau aku lagi berada di kantor. Dia tidak mau menyakiti perasaan istriku. Dari situ aku
tahu kalau ternyata dia masih belum hamil juga, padahal sudah enam bulan
menikah. Aku sempat menertawakannya kala itu, karena kalah denganku.
”Aku aja yang pendek gini
cespleng, sebulan langsung jadi. Suamimu kurang pinter tuh.” selorohku. Tapi ternyata dia
memang sengaja KB dulu karena masih belum siap punya anak.
Di lain waktu, beberapa bulan
berikutnya, saat anakku sudah lahir, dia telepon lagi. Kali ini mengabarkan kalau sudah
hamil. Aku segera memberinya selamat. Tanti bertanya soal kehamilan awal dan
saat-saat melahirkan. Kujawab sesuai yang kulihat pada istriku.
”Tiga bulan awal muntah-muntah
dan badan lemas. Itu suamimu suruh berhenti dulu, jangan nyerbu terus. Bisa
jatuh kandunganmu nanti,” kataku. Tanti mengiyakan sambil tertawa.
”Tiga bulan berikutnya,
kandungan sudah kuat. Boleh main, tapi tetap harus pelan dan hati-hati.” jelasku.
”Rasanya enak banget saat itu. Aku dulu jadi nafsu terus sama istriku.” aku
menambahkan.
”Enak bagaimana?” Tanti
bertanya.
”Ya, pokoknya enak. Badan kamu
nanti jadi tambah montok dan gemuk, susumu jadi tambah besar. Begitu juga paha
dan bokong kamu. Laki-laki mana coba yang tahan lihat istri seperti itu?” aku tertawa.
Tanti juga tertawa. ”Ah, jorok
nih ngomongnya.”
”Eh, ini kenyataan. Nanti
tanyakan sama suamimu.”
”Iya deh, nanti. Terus, tiga
bulan selanjutnya bagaimana?” tanya Tanti.
”Asal tidak ada masalah dalam
kandunganmu, tetep boleh main. Bahkan ada beberapa dokter yang menganjurkan
agar memperbanyak ML untuk melebarkan jalan lahir dan juga memberi pelumasan
agar waktu lahir nggak begitu sakit. Tapi tetap harus pelan dan ekstra
hati-hati.” jelasku.
”Emang melahirkan itu sakit ya?”
dia bertanya.
”Kalau lihat istriku yang sampai
pucet dan menangis sih, sepertinya sakit.” aku tertawa.
Tanti ikut tertawa. ”Ah, payah
nih, nggak bisa diajak serius.” selanjutnya dia bertanya banyak hal tentang
proses kelahiran dan cara merawat bayi. Aku berusaha menjawabnya semampuku.
Diakhir pembicaraan kukatakan
kepadanya, ”Tapi tenang saja, lebih sakit sunat kok daripada melahirkan.”
”Lho, kok bisa?” Tanti bertanya
tidak percaya.
”Buktinya, saking sakitnya...
aku kapok nggak mau sunat lagi, cukup satu kali saja. Hahaha...” aku tertawa
terbahak-bahak. ”Sedangkan melahirkan, bilangnya sakit... tapi mau aja tahun
depan hamil lagi.” tambahku.
”Hahaha...” Tanti ikut ngakak.
”Coba aja sunat lagi, bisa habis burung Mas!”
Setelah saling mengucapkan
salam, kami pun mengakhiri pembicaraan pagi hari itu. Tanti memang sering
meneleponku di pagi hari, saat suaminya pergi kerja.
Beberapa bulan berikutnya, dia
menelepon lagi. Kukira akan mengabarkan berita bahagia, ternyata malah kabar
buruk. Dia keguguran!
”Berapa bulan?” aku bertanya.
”Dua bulan.” Tanti menjawab
tanpa semangat. Nada ceria dalam suaranya menghilang. Aku jadi tidak tega untuk
menggodanya.
”Kamu kecapekan mungkin.”
kataku.
”Iya, kata dokter sih begitu.”
sahutnya. ”Aku habis mengantar mertua ke bandara.”
Hmm, pantas saja. Dalam situasi
seperti itu, aku cuma bisa memberinya semangat dan dorongan agar tetap sabar
dan tidak putus asa untuk terus berusaha. Toh, umur mereka masih sangat muda.
Tapi melihat proses kehamilannya yang dulu, yang harus menunggu 8 bulan, Tanti
kelihatannya pesimistis.
”Jangan gitu dong, rejeki kan
dari yang kuasa. Kita cuma bisa berusaha dan berdoa!” kataku.
Tanti mengiyakan, lalu
mengucapkan terima kasih dan menutup telepon.
Empat
bulan berikutnya, setelah makan siang, HP-ku berdering. Itu dari Tanti. ”Halo,
Tan, apa kabar?” aku segera menyapanya.
”Halo,
mas, nggak sibuk kan?”
jawabnya ramah, rupanya dia sudah bisa melupakan kesedihannya.
”Nggak,
ini habis makan. Ada
apa?” aku bertanya.
”Nggak
ada apa-apa. Cuma pengen say hello aja.” Tanti menjawab.
”Kangen
ya sama aku?” aku menggodanya.
”Yee,
siapa juga yang kangen!” dia tertawa.
”Gimana, sudah hamil lagi?”
tanyaku penasaran.
Tanti mendesah. ”Belum nih, mas.
Nggak jadi-jadi.”
”Sudah bener belum caranya?”
tanyaku.
”Sudah.” Tanti menjawab, tidak
ada nada malu sama sekali dalam suaranya. ”segala macam gaya sudah kita
lakukan.”
Aku menelan ludah mendengarnya.
Segala gaya? Membayangkannya saja sudah membuatku bergairah. Penisku perlahan
menggeliat. ”Jangan banyak gaya, malah nggak jadi-jadi nanti. Yang biasa aja.”
tambahku.
”Biasa bagaimana?” tanya Tanti.
Aduh, dia bertanya lagi. Masa
nggak tahu sih? Apa harus kujelaskan? ”Ya biasa, kamu di bawah, suamimu di atas.”
”Itu mah sudah sering, Mas.
Malah pake diganjal bantal segala biar punyaku naik, biar sperma mas Ferdi
nggak ada yang tumpah.” haduh nih anak, ngomongnya kotor banget setelah
menikah.
Karena dia yang mengajak, jadi
aku pun meladeninya. ”Mungkin punya suamimu kurang panjang kali, jadi nggak nyampe.”
”Nyampe kok. Rasanya mentok
kalau dia nusuk keras-keras.” haduh, makin jorok omongannya. Apa sih maunya?
“Kira-kira berapa besar penis
suami kamu?” aku bertanya lagi.
“Berapa ya? Aku nggak tahu, mas!” jawabnya bingung. “Kayanya masih ada lebihnya deh pas aku genggam, kepalanya masih nongol!” sambungnya.
Aku mencoba membayangkan,
membandingkan dengan punyaku. “Aku perkirakan penis suami kamu sekitar 10
sampai 14 cm, masih normal.” Kubayangkan kalau Tanti menggenggam penisku, ugh
aku makin ngaceng!
”Ya emang normal, siapa juga
yang bilang nggak!” Tanti memprotes.
Aku tertawa mendengarnya. “Bagaimana
dengan kekerasannya?” tanyaku lagi.
“Keras sekali, mas, kayak batu!” sahut Tanti mantab.
Aku diam sejenak, mencoba
berfikir tentang penghambatnya memiliki anak, sebab dari pembicaraan barusan sepertinya
tidak ada masalah dalam kehidupan seksnya, tapi kenapa Tanti masih belum hamil
juga?
“Kok diam, mas?” tanya Tanti, dikiranya aku tertidur.
“Aku lagi mikir penyebabnya, Tan.” sahutku. ”Ehm, sudah periksa belum, nggak ada masalah kan dengan kalian berdua?” aku bertanya. Kuelus penisku yang ada di balik celana, sudah terasa keras sekali.
”Hmm, iya sih. Sperma mas Ferdi katanya
terlalu encer.” sahut Tanti.
“Suruh banyak-banyak makan tauge
biar nggak encer. Tauge bagus tuh buar ngentelin sperma.” kataku. Sperma encer,
mungkin itu penyebabnya.
”Oh, gitu ya?” Tanti tampaknya
baru tahu.
“Atau kurang lama, mungkin?” aku memberi alternatif.
”Lama gimana?” Tanti bertanya
tidak mengerti.
”Kira-kira berapa lama penis
suami kamu bertahan dalam kewanitaan kamu?” tanyaku.
“Ehm, mungkin sekitar 5 menit.”
jawabnya tak pasti.
5 menit? Masih lumayan. ”Sering
nggak dia moncrot duluan sebelum kamu keluar?” tanyaku lagi.
”Sering sih nggak, hanya
kadang-kadang saja.” jawab Tanti.
”Kadang-kadangnya itu berapa?”
aku ingin kepastian.
”Ehm,” Tanti bergumam seperti
mengingat-ingat. ”Dua diantara tiga deh.” jawabnya kemudian.
”Itu mah termasuk sering, Tan. Aku aja nggak pernah keluar duluan.” aku menyombong, biar saja dia pengen.
”Ah, benarkah? Aku nggak
percaya!” Tanti meledek.
”Eh, dibilangin juga!” dasar nih
anak, nantangin banget.
”Kan nggak ada buktinya.” Tanti
berkilah.
”Mau bukti? Ayo kesini,
kubuktikan! Akan kubikin kamu KO seharian!” selorohku, penisku makin terasa keras dan
ngilu. Membayangkan menyetubuhinya saja sudah membuatku begini bergairah.
Tanti tertawa. ”Hahaha, kenapa
bukan mas aja yang kesini? Nih rumahku lagi kosong, Mas Ferdi lagi kerja.”
tantangnya.
Gila! Meski sangat ingin, aku
tak mungkin bisa melakukan itu. Jarak kotaku ke kotanya lumayan jauh, hampir 4
jam kalau naik angkutan umum. Sedikit lebih cepat kalau naik kereta. ”Awas ya!
Kalau ada waktu, aku samperin kamu!” aku mengancam.
”Ok, aku tunggu, mas.” Tanti
tertawa semakin keras.
Meski cuma bercanda, tapi tak
urung tetap membuatku panas dingin juga. Karena tak tahan, aku pun segera
menutup pembicaraan. . “Ya udah, Tan, kita sambung lain waktu ya. Aku harus
kembali kerja.” Ada hal lain yang lebih penting yang harus aku lakukan
sekarang. Tidak bisa ditunda, mumpung lagi panas-panasnya.
“Oke deh!” sahutnya riang.
”Kudoakan cepat hamil.” kataku
untuk terakhir kali.
Setelah saling mengucap salam,
kami pun berpisah. Aku cepat lari ke kamar mandi dan onani disana. Gila kamu,
Tan! Padahal cuma ngobrol, tapi kamu sanggup bikin aku ngaceng seperti ini!
Sambil mengocok penisku, kuputar kembali percakapanku dengan Tanti tadi. Sebenarnya
ada peluang untuk memanfaatkan situasi ini. Dia sudah menawariku, meski sambil
guyon, tapi siapa tahu itu beneran?! Hanya masalahnya, jarak rumahnya yang sangat
jauh. Butuh seharian kalau harus bolak-balik menemuinya, sedangkan pekerjaanku
nggak bisa ditinggal. Kalo istriku sih beres, dia kan tinggal di kota lain sejak melahirkan
kemarin, jadi pasti aman. Apa harus nunggu libur akhir pekan? Giliran suami
Tanti yang ada di rumah. Hmm, serba repot.
Lama aku berfikir dan
menimbang-nimbang, akhirnya aku putuskan untuk menunggu saja apa yang terjadi
selanjutnya. Kalau memang sudah rejeki, aku pasti bisa menidurinya. Tunggu aja,
Tan, aku akan datang!
***
Satu bulan berlalu tanpa ada
kejadian apapun. Tanti tidak menghubungiku lagi, padahal aku sudah sangat
berharap. Sebagai pelampiasan, aku cuma bisa onani sambil membayangkan tubuh
indahnya. Istriku yang kutemui 1 minggu sekali setiap akhir pekan, sudah tidak
bisa lagi memuaskanku, padahal dia cukup cantik dan seksi. Selama menyusui
anakku, payudaranya jadi tambah besar dan mengkal. Tapi entahlah, hanya
bayangan Tanti yang ada di kepalaku. Bahkan tak jarang saat main dengan istriku, Tanti
lah yang kuangankan sedang kupeluk dan kucium.
Di kala sedang asyik melamun
sambil menyelesaikan laporan bulanan, tiba-tiba ada SMS yang masuk. Dari Tanti! Akhirnya, pucuk
dicinta ulam pun tiba. Kubaca SMS-nya dengan cepat, ”Menurut mas, apakah bodyku cukup bagus?” dia bertanya.
Gila! Nggak pernah ngomong, tahu-tahu
SMS seperti ini. Aku jadi kaget. Apa sih maunya? ”Ya nggak tahu, Tan. Dulu sih bagus, nggak tahu sekarang. Emang
kenapa?” aku tanya balik.
”Mas Ferdi
akhir-akhir ini malas kalau kuajak berhubungan, apa dia bosan ya dengan
tubuhku?” Tanti
menjawab beberapa detik kemudian. ”Kalau
begini terus, kapan kami bisa punya anak?!” tambahnya lagi sebelum aku
sempat membalas yang pertama.
”Sabar!
Kalau suamimu malas, aku siap kok bikinkan kamu bayi!” jawabku menggoda.
”Mas, aku
serius nih!” balas Tanti.
“Aku juga
serius!” aku tak mau kalah. Jaring sudah kutebar, pantang untuk ditarik kembali.
Salah sendiri sudah menggodaku.
”Aku
pikir-pikir lagi deh.” begitulah jawaban yang kuterima, membuat hatiku senang
dan berbunga-bunga.
”Ok deh,” balasku penuh semangat.
Keesokan paginya, aku baru saja membuka berkas dan
HP baru aku aktifkan, sudah ada SMS dari Tanti, bunyinya singkat, ”Golongan darah mas apa?”
“A”
aku juga menjawab singkat.
“Perfect!
Nanti aku kabari lagi.” balas Tanti.
Apaan
sih? Aku tidak mengerti. Sejenak aku terdiam penuh kebingungan. Ah sudahlah, lebih
baik aku segera bekerja, hari sudah siang sedangkan pekerjaanku lumayan menumpuk. Tapi kutunggu
sampai sore hari, ternyata tidak ada SMS dari Tanti. Aku yang tak sabar sudah
ingin meneleponnya, tapi begitu teringat kalau jam segini suaminya pasti sudah pulang
dari kantor, akhirnya kuurungkan niatku.
***
Seminggu berlalu begitu cepat.
Aku sudah putus asa akan kelanjutan hubunganku dengan Tanti. Aku memang terlalu
berharap. Seharusnya aku tahu diri, Tanti yang cantik jelita tidak mungkin mau
denganku yang pendek dan gemuk ini, meski wajahku ganteng. Mungkin kemarin dia
bener-bener bercanda, aku saja yang menganggap semua itu serius. Dasar! Begini
ini jadinya kalau terlalu bernafsu.
Disaat sudah siap mengikhlaskan
diri, hapeku tiba-tiba berbunyi. Dari Tanti! Ada apa lagi sekarang? ”Ya, halo?”
aku menerimanya. Harapan yang kembali tumbuh di hatiku, berusaha kutekan kuat-kuat ke bawah.
Aku tidak ingin kecewa untuk kedua kali.
”Mas, sekarang suamiku diklat ke
bandung, pulang baru minggu depan.” kata Tanti pendek.
”Iya,
terus apa hubungannya denganku?” aku tidak mengerti.
”Mas
nggak ingin main kemari?” sahut Tanti.
Hah!
Dia mengundangku! ”K-kamu serius, Tan?” aku bertanya tergagap.
“Ya
iyalah. Katanya kemarin mas juga serius! Gimana sih!” dia kelihatan kecewa.
”O-oke,
Tan, oke. Aku cuma nggak nyangka aja kalau kamu beneran mau main denganku.” sahutku
menenangkan.
”Baik,
mas. Nanti aku jemput di terminal ya, bye!” Tanti menutup telepon, mungkin dia
terlalu malu untuk berbincang lama
denganku. Dasar wanita!
Aku
menghela nafas sambil tersenyum lebar. Akhirnya apa yang kuimpikan selama ini
bakal segera terwujud. Rasanya sudah tidak sabar menunggu minggu depan.
Bagaimana ya rupa Tanti sekarang, apa dia tambah cantik dan seksi? Ugh, selama
sisa hari, aku jadi tidak bisa konsentrasi ke pekerjaan. Bayangan tubuh mulus
dan montok milik Tanti lebih menyita perhatianku. Tak tahan, akupun menuju
kamar mandi dan onani disana.
***
Sesuai
janji yang sudah disepakati, jumat sore aku meluncur ke kota M. Aku sengaja naik bis agar mudah ketemu
sama Tanti, dia akan menjemputku di terminal. Kalau naik sepeda, bisa-bisa
sebelum nyampai kota
M, aku sudah kesasar duluan. Aku tidak begitu paham jalanan menuju kota itu. Lagian hari
juga sudah malam. Kepada istriku, aku beralasan ada lembur minggu ini, jadi aku
tidak bisa pulang. Istriku bisa mengerti.
Setelah
menempuh perjalanan hampir 4 jam, aku pun sampai. Begitu turun dari bis,
kusapukan pandanganku ke ruang tunggu terminal, tidak kulihat Tanti berada disana.
Aku sudah akan melangkahkan kaki saat dari arah parkiran mobil kudengar suara
merdunya memanggilku, ”Hei, mas, sini!” dia melambaikan tangan agar aku bisa
melihatnya. Sebenarnya itu tidak perlu karena wajah cantik dan postur tubuhnya
yang tinggi besar tampak mencolok diantara deretan orang-orang yang lalu lalang
di tempat itu.
Tersenyum
lebar, aku pun segera menghampirinya. ”Sudah lama nunggu?” kujabat tangannya
dan kutatap wajah cantiknya yang tampak tidak berubah sedikit pun. Bahkan dia
terlihat makin menggairahkan sekarang karena bulatan payudara dan pinggulnya
menjadi sedikit lebih besar, postur khas ibu-ibu. Ugh, aku jadi tak tahan.
”Yuk
masuk. Kita langsung ke rumah apa makan dulu?” dia mengajakku masuk ke
mobilnya, sebuah Karimun pink tahun 2006.
”Makan
aja deh, aku lapar.” jawabku, meski penisku sudah ngaceng penuh melihat tubuh
sintalnya.
Tanti
mengajakku ke sebuah warung sate. ”Biar tambah greng!” katanya.
Aku
hanya tertawa menanggapinya. Selama makan, kami mengobrol basa-basi, saling bercerita
tentang keluarga dan pekerjaan, sesekali juga bercanda dan tertawa, tidak
sedikit pun menyinggung masalah perselingkuhan kami nanti. Di perjalanan menuju
rumah Tanti, kami juga tidak membahasnya. Kami sama-sama diam. Mungkin Tanti
sungkan untuk memulai, dia kan
perempuan. Entah apa yang ada di benaknyai sekarang, mungkin dia pusing lihat
kemacetan yang ada di depannya, maklum dia yang jadi sopir. Sementara aku
bersantai-ria di sampingnya sambil membayangkan apa saja yang akan kulakukan
saat sudah berdua di kamar dengan Tanti nanti, aku tidak ingin membuat dia
kecewa. Suara merdu Agnes Monica dari tape mobil mengisi kesunyian itu.
”Kenapa sih,
kok mas ngelirik aku terus?” tanya Tanti tiba-tiba.
”Yeee, Ge-Er
aja! Siapa juga yang ngelirik, aku cuma liatin jalan kok.” sahutku.
”Jalan tuh
di depan, bukan di dada aku. Kalau yang ini namanya susu!” balas Tanti sengit.
”Hahaha,”
aku tertawa. Tanti ikut tertawa. ”Kelihatan banget ya kalau aku gelirik kamu?”
aku bertanya.
”Weleh, muka
lihat jalan, tapi biji mata mas melotot ke arah sini.” Tanti menunjuk bulatan
payudaranya. ”Emang susuku bagus ya?” tanyanya.
Aku
tersenyum mendengar pertanyannya. ”Bukan bagus lagi, tapi perfect!” kuberikan
dua jempolku padanya.
”Tunggu
sampai mas lihat dalamnya!” sahutnya nakal.
”Ehm, boleh
kulihat sekarang?” aku menawar.
”Hush, nggak
boleh. Banyak orang!” Tanti menepis tanganku.
”Tapi kan
kacanya gelap, Tan.” aku mencoba berkilah.
”Tapi aku
lagi nyetir, mas. Kalau nubruk gimana?” balasnya.
”Susumu
bikin aku nggak tahan, Tan. Kok bisa gede banget sih sekarang?” kupandangi
benda kembar yang masih tertutup kaos dan jilbab itu tanpa berkedip.
”Kan ada
yang ngerawat. Tiap malam dipenceti terus sama mas Ferdi, ya jadi gede gini.
Emang punya istri mas nggak gede ya?” tanya Tanti.
”Gede juga
sih, hehe.” aku tertawa.
”Lha itu
sama.” Tanti memencet klakson saat ada pejalan kaki menyeberang sembarangan.
”Kamu yakin mau melakukan ini,
Tan. Kalau
suamimu curiga gimana?” aku bertanya.
“Tenang,
kemarin sebelum berangkat, dia sudah kukasih jatah. Jadi kalau nanti aku hamil,
waktunya pas. Lagian wajah mas mirip banget dengan mas Ferdi, ditambah golongan darah mas
juga sama, jadi anak yang lahir nanti akan sulit sekali diketahui siapa ayah
sebenarnya.” kata Tanti meyakinkanku. Rupanya dia sudah mempersiapkan semua ini
dengan matang.
Tapi
aku masih belum tenang. ”Kalau tingginya gimana? Aku kan
pendek.” nggak mungkin kan
Ferdi dan Tanti yang tinggi mempunyai anak pendek?
”Nggak
bakal pendek-pendek amat kok, kan
nanti juga dapat sumbangan dari aku.” sahut Tanti. Ah iya ya, aku jadi sedikit
lebih tenang sekarang.
Tak
lama, kami pun sampai di rumahnya. Rumah Tanti terletak di komplek perumahan
baru yang masih jarang penghuninya. Sepertinya ini perumahan elit karena tipe
rumahnya besar-besar. Bangunan di kiri dan kanan rumah Tanti masih kosong,
tidak tampak ada lampu menyala disana. Hmm, sip lah. Kami jadi bisa bebas
melakukan apapun nanti.
Setelah
menaruh mobil di garasi, Tanti mengajakku masuk ke rumahnya. ”Jangan
sungkan-sungkan, mas. Anggap aja rumah sendiri.” katanya sambil menutup pintu
depan dan menguncinya.
”Termasuk
juga menganggap kamu sebagai istri sendiri?” langsung kupeluk dia dan kuhujani
mukanya yang cantik dengan ciuman.
”Hmmm,
mas!” Tanti mendesah saat tanganku mulai bergerilya di tonjolan payudaranya
yang besar. Kupijit dan kuremas-remas daging bulat itu hingga Tanti
menggelinjang kegelian. ”S-sudah, mas. Kamu mandi dulu sana.” katanya sambil
menyingkirkan tanganku dan menyeretku menuju ruang belakang.
”Maindiin,”
aku menggelayut manja di pundaknya dan sekali lagi menciumi pipi dan bibirnya.
”Yeee,
maunya!” Tanti mendorongku masuk kamar mandi. Terpaksa kulepaskan tubuh
sintalnya. Dengan cepat aku melepas pakaian dan membersihkan diri dari keringat
di sepanjang perjalanan, sementara Tanti pamit pergi ke kamar untuk
mempersiapkan ajang pertarungan kita nanti.
Selesai
mandi, kutemui Tanti di kamarnya. Rupanya dia sudah melepas jilbab serta
bajunya tadi, sekarang dia cuma mengenakan daster tipis tanpa lengan yang
mencetak jelas bentuk tubuhnya. Dengan rambut panjang lurus yang terurai hingga
ke punggung, dia terlihat sangat menggairahkan sekali.
”Tan?”
aku memanggilnya dengan suara bergetar, benar-benar terpesona. ”Kamu sungguh
cantik!” kataku jujur.
Tanti tersenyum dan mengajakku
duduk di sebelahnya. ”Sebenarnya aku berat melakukan ini, mas. Tapi mau
bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa hamil lagi.” bisiknya
sambil memamerkan lekuk kakinya yang jenjang dan indah, yang terlihat putih
mulus tanpa noda.
Ugh, kalau kakinya saja sudah
seperti itu, bagaimana yang lain ya? Tanpa menunggu lama, penisku pun
menggeliat dan mulai terbangun. ”Rileks, Tan. Anggap saja aku suami kamu
sendiri. Kita kan melakukan ini mau sama mau, aku nggak memperkosa kamu kok
seandainya kamu nggak mau!” bisikku di telinganya. Sambil terus berbicara, aku
mencoba memeluk pundaknya dari samping, kupegang tangan kirinya dengan
tanganku. Kucoba merasakan kehalusan kulitnya dengan sentuhan-sentuhan halus ujung
jariku.
Dari pundak,
sentuhanku turun ke telapak tangannya, silih berganti. Aku memang tidak ingin
langsung menyerbunya, aku ingin membangkitkan gairah Tanti secara
perlahan-lahan. Meski sudah tidak tahan, aku harus bersabar. Aku ingin Tanti
juga menikmati permainan ini. Perselingkuhan pertamanya ini akan kubuat
senikmat dan seindah mungkin hingga sukar untuk ia lupakan.
Sentuhan-sentuhan
lembut yang aku lakukan, tidak dipungkiri membuat Tanti terpengaruh juga meski
dia tidak merespon sama sekali pada awalnya. Tanti cuma terdiam pasrah tanpa
melakukan apapun, hanya nafasnya saja yang terdengar semakin keras dan berat.
Kulihat bulu-bulu di tengkuknya sudah meremang berdiri. Dia mulai terangsang.
Kutambah
sentuhanku dengan sesekali mencium pundaknya. Tanganku yang dari tadi menyentuh
tangannya, kini berpindah ke perutnya, dan terus beranjak naik hingga aku menyentuh
payudaranya. Walau masih dibalut bra dan kain dasternya, benda itu terus sangat empuk
dan kenyal saat kuremas-remas. Dengusan Tanti terdengar semakin keras, dia mulai gemetar
dan menggelinjang. ”Auhh... mas!” desahnya.
Lama aku melakukan
aksi tersebut sampai akhirnya aku tak tahan. Pelan kuturunkan tanganku kembali untuk
kemudian menyusup ke balik dasternya. Sentuhan pada perut Tanti yang ramping membuatku
bergidik. Setelah berputar-putar cukup lama, tanganku kemudian naik sampai aku
menemukan sasaran utamaku, tonjolan payudaranya yang masih terbungkus bra!
Pelan, masih
sambil menciumi telinga, pipi dan lehernya, kuremas-remas benda itu. Rasanya begitu
padat dan kenyal, nikmat sekali. Kuelus-elus terus dengan lembut sambil aku
berusaha mencari-cari putingnya yang masih tersembunyi, malu untuk menampakkan
diri.
Tanti yang
sudah mulai terangsang, memejamkan matanya, dan terdiam. Dia tidak merespon
ulahku, tapi juga tidak melarangnya. Hanya diam begitu saja, seperti patung.
Hingga tiba-tiba dia menepis tanganku dan menariknya keluar dari balik daster. ”Sudah
ya.” bisiknya sambil menoleh dan mengecup bibirku.
Aku membalasnya
dengan melumat bibirnya rakus sambil terus memberi sentuhan. Kali ini yang menjadi
sasaranku adalah kakinya. Karena posisi Tanti agak sedikit miring ke arahku, sedikit
demi sedikit aku bisa menyentuh pahanya yang putih mulus. Saat kuusap, benda
itu terasa begitu licin dan hangat. Darahku berdesir. Aku ketagihan. Tanganku terus
meraba disana, menyingkap dasternya makin ke atas hingga bisa kulihat
pinggulnya yang lebar, yang masih terbalut CD tipis warna merah.
”Ahhh...
mas!” lenguh Tanti saat tanganku mulai mencari-cari pangkal pahanya. Rangsangan
yang aku berikan sepertinya makin menambah gairahnya, karena Tanti menyambut
lumatanku dengan bergairah. Bahkan tanganya mulai bergerak untuk meraba-raba gundukan
di balik celana pendekku yang sejak dari tadi menegang hebat.
”Nggak usah
malu-malu lagi, Tan. Kita nikmati malam ini sepuasnya.” kubimbing tangannya
untuk masuk ke dalam celanaku, sementara aku terus melanjutkan aksiku di celah
pangkal pahanya. Kugesek vagina gadis itu berulang-ulang sampai CD-nya jadi basah. Aku
sengaja ingin menggodanya, kubelai pinggiran vaginanya berulang kali tanpa
kumasukkan tanganku ke lubangnya. Dan itu rupanya berhasil, nafas Tanti menjadi
semakin berat dan memburu. Sementara tangannya yang berada di dalam celanaku,
kini sudah memijat-mijat penisku begitu keras, membuatku jadi sangat bernafsu
sekali.
Aku pun
menyudahi lumatan dan kecupanku pada bibirnya. ”Mas...” Tanti memajukan
wajahnya, berusaha mengejar bibirku. Tapi aku sudah terlanjur turun menuju
celah kakinya. Kukecup pelan pahanya yang putih mulus, gantian kiri dan kanan. ”Aahhh...!”
Tanti langsung mendesah sambil memegang kepalaku, menekannya agar cepat menuju
ke lubang vaginanya. Tapi seperti tadi, aku masih ingin bermain-main lebih
lama.
Dengan
lidahku, kujilati kulit pahanya yang licin bagai porselen. ”Ughhh...!” Tanti
makin mendesah tak karuan. Kecupan dan hisapanku pada permukaannya membuat paha
itu jadi bertotol-totol merah, sungguh sangat indah sekali. Setelah semuanya
basah oleh air liurku, aku pun memajukan mulutku, menuju ke arah pangkal pahanya.
”Ahhh... ya,
disitu, Mas. Jilat disitu!” rengek Tanti saat sedikit demi sedikit aku memberi sentuhan,
kecupan dan jilatan pada tonjolan bukit vaginanya. Terasa sudah sangat basah
disitu. Baunya juga sangat harum, lebih enak daripada punya istriku di rumah.
Karena
rangsanganku, sambil mendesah, Tanti merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan
posisi kaki menjuntai ke bawah tempat tidur. Aku semakin bebas bergerilya di
alat vitalnya. Kujilat terus daging sobek yang masih tertutup celana dalam itu
sambil tanganku meraih ke atas. Kugenggam tonjolan bukit payudaranya yang bulat
membusung dan kuremas-remas dengan penuh nafsu, membuat Tanti makin merintih
dan menggelinjang keenakan.
Akibat
ciuman dan gigitanku, sekarang posisi celana dalamnya jadi miring ke samping,
membuatku jadi bisa mengintip sedikit belahan vaginanya yang berwarna coklat
kemerahan dengan bulu-bulu keriting halus yang tumbuh terawat rapi di bagian
atasnya. Untuk beberapa saat, aku kagum dan takjub dengan pemandangan itu.
”Ayo, mas,
lakukan! Jangan cuma dilihat saja!” rengek Tanti sambil menarik kepalaku.
”I-iya,
Tan.” dengan lidah terjulur, kusentuh benda itu perlahan-lahan.
Tanti
sedikit bergidik saat lidahku menyapu sebagian bibir vaginanya. ”Oughhh...
mas!” dia menekan kepalaku semakin keras.
Kujilat lagi
vaginanya hingga dia semakin menggelinjang. Sambil terus mengecup dan
menyentuhnya, sedikit demi sedikit kutarik turun celana dalamnya. Begitu
terlepas, segera kubuka kaki Tanti lebar-lebar hingga bisa kulihat dengan jelas
lubang senggamanya yang sudah basah memerah. Aku menciumnya berulang kali
sebelum akhirnya menghisap dan melahapnya dengan rakus.
”Ahhh...
mas... aku... ya, begitu...” Tanti merintih tak jelas. Erangan terus terdengar
dari mulut manisnya seiring jilatan dan hisapanku yang semakin liar dan kasar. Tubuh montoknya menggeliat
kesana kemari, membuat kain daster yang dikenakannya tersingkap kemana-mana.
Benda itu kini sudah tidak berguna lagi, semuanya teronggok mengumpul di
pinggangnya yang ramping.
Sambil terus
menjilat, aku melirik ke atas. Disana, di atas dada Tanti, bulatan payudaranya
terlihat menyembul indah. Meski masih tertutup BH warna krem, tapi aku bisa
melihat putingnya yang sesekali mengintip malu-malu saat wanita itu menggeliat.
Sama dengan pahanya, payudara Tanti juga terlihat licin dan putih mulus. Aerola
dan putingnya berwarna coklat kemerahan, sama dengan warna bibir vaginanya.
Ughh! Membuatku jadi makin tak tahan.
”Aghhh...
terus, mas! Terus! Jilat terus! Ahhh... ya, yang itu! Aghhh...!” erangan dan rintihan
Tanti membuatku lupa diri. Aku terus melumat dan menjilat vaginanya, sambil tanganku
memberi sentuhan halus pada kedua belah pahanya yang indah.
”Ahhh...
mas!” desis Tanti saat elusanku merambat ke atas. Dari balik dasternya, aku
memberi sentuhan-sentuhan halus ke kulit perutnya, menggelitik pusarnya, sampai
akhirnya aku meremas lembut kedua bukit payudaranya. Tanpa mengeluarkan dari
cupnya, kucari putingnya yang kini sudah terasa kaku dan keras. Kupilin dan
kupencet-pencet benda mungil itu hingga membuat Tanti makin merintih tak
karuan.
”Oughhh...
mas! Enak! Nikmat sekali! Ahhh… kok mas pinter sih?!” racaunya sambil mengangkat
pantatnya tinggi-tinggi. Kedua kakinya menjepit kepalaku saat dari dalam liang
vaginanya memancar cairan bening yang banyak sekali. Dia orgasme.
”Mas, aku pipis.
Aduh, maaf ya!” Tanti segera menutup pahanya begitu aku menarik kepala untuk
mencari nafas. Kuperhatikan dia masih mengejang-ngejang dan bergetar beberapa
kali sebelum akhirnya terdiam dengan nafas masih terdengar berat dan sesak.
.
Sambil
mengangguk mengerti, aku merangkak naik menindih tubuhnya. Tanti menggeliat
pelan saat kusibak cup BH-nya untuk melihat payudaranya. ”Mas, aghh..!”
desahnya ketika aku mulai mencium dan menjilatinya dengan lahap. Dia yang masih
keletihan setelah orgasme yang pertama, hanya terlihat pasrah saja.
Karena aku
sudah sangat bernafsu sekali, langsung kulepas celanaku. Batangku yang sudah
sangat keras dari tadi, langsung meloncat keluar. Tanti sedikit terhenyak saat
melihatnya. ”B-besar sekali, mas.” bisiknya tak berkedip. Kubimbing tangannya
untuk menggenggamnya. Tapi Tanti menolak saat kusuruh dia untuk mengulumnya.
”Jijik, mas.
Aku tidak
pernah melakukannya.” gumamnya.
”Dicium-cium
aja, Tan. Yang penting punyaku jadi basah.” kataku tidak kurang akal. Segera
kusodorkan penisku ke depan bibirnya.
Tanti mulai
menciuminya, tapi cuma batang dan telurnya. Ujungnya yang berlendir, sengaja ia
hindari. Benar-benar jijik rupanya dia. Ok, aku bisa mengerti. Kubiarkan saja
dia menjilat-jilat dan menciumi batangku hingga akhirnya aku merasa bosan. Tanti sangat kaku sekali
saat melakukannya hingga aku jadi tidak bisa menikmati sama sekali. Sama sekali
tidak ada enak-enaknya.
Daripada
menunggu lama-lama, aku yang sudah tidak tahan untuk merasakan tubuh sintalnya,
segera membaringkan Tanti di ranjang. Kutindih tubuhnya sambil kutempatkan
pinggulku tepat di depan selangkangannya. Tanti sudah membuka pahanya
lebar-lebar hingga penisku yang sudah menegak kencang terasa menempel di lubang
vaginanya.
”Siap, Tan?”
tanyaku sambil menggesek-gesekkan ujung penis ke bibir vaginanya. Tanti
mengangguk. Kurasakan lubang vaginanya sudah basah dan merekah lebar, siap
untuk dimasuki.
Sambil
berpegangan ke pundaknya, kudorong penisku. Masih belum berhasil. Penisku
melenceng ke kiri. ”Kurang ke bawah, mas.” bisik Tanti pelan. Dia membuka pahanya
makin lebar agar aku makin leluasa melakukan gerakan.
Kudorong
lagi. Kali
ini terasa penisku masuk ke lubangnya. ”Bener yang ini, Tan?” aku bertanya
takut salah lagi.
Tanti
mengangguk. ”Iya, yang itu. Cepat dorong, mas!” ah, rupanya sudah tak tahan ia.
Sambil
meremas dan menciumi payudaranya, kudorong lagi penisku. Tapi karena terlalu
keras, yang ada malah melenceng lagi. Kali ini ke kanan. ”Aghhh...” kami
mendesah kecewa bersamaan. ”Mas...!” Tanti melenguh manja. Dia segera meraih penisku
dan mengarahkannya lurus ke depan lubangnya. ”Ayo, mas, kupegangi.” bisiknya.
Tersenyum,
kucium bibirnya sekali lagi. Tanti menyambut ciumanku sambil pinggulnya maju ke
depan mengejar penisku yang sudah masuk sebagian. ”Sabar, sayang!” Dengan satu hentakan
keras, kutusukkan lagi penisku kuat-kuat.
”Ughhhh...”
Tanti melenguh. Aku juga melenguh. Kami sama-sama merasakan nikmat. Penisku
sudah masuk seluruhnya, menghunjam keras hingga mentok ke dalam memek Tanti
yang sempit, dan bersarang dengan begitu sempurna disana. Rasanya seret, tapi nikmat
sekali. Keinginanku untuk menyutubuhinya
sudah terpenuhi sekarang.
”Aduh,
ahh...” desah Tanti sambil memejamkan matanya. Kurasakan sebentar
kedutan-kedutan di dinding vaginanya sebelum akhirnya kutarik sedikit demi
sedikit batang penisku, kemudian aku masukkan lagi pelan-pelan, lebih dalam.
Mulai kugenjot pelan tubuh mulusnya sambil tanganku tak henti meremas-remas
payudaranya yang bulat dan kencang, sementara mulutku dengan rakus menciumi
bibir dan lehernya.
”Ahh... Mas!
Auw... ahh... ahh...” desahan Tanti membuatku makin bernafsu. Sambil memeluk tubuh
mulusnya yang masih berbalut daster, kupercepat tusukanku. Gesekan kelamin kami
yang terasa begitu nikmat membuat Tanti makin merintih dan menggelinjang.
Tubuhnya yang montok terhentak-hentak begitu rupa, segera kupegangi agar dia
tidak sampai jatuh dari ranjang.
Begitu
panasnya persetubuhan kami hingga dalam hitungan menit, aku sudah tidak tahan
untuk menyemburkan lahar panasku. Sambil menekan penisku dalam-dalam ke lubang vaginanya,
kudekap tubuh Tanti erat-erat. ”Ahh... aku keluar, Tan!” dengan nafas tertahan
dan mulut menempel ketat di ujung puting payudaranya, kusemburkan cairan
cintaku di dalam rahim wanita cantik itu.
Perasaan
nikmat segera menjalar di seluruh tubuhku. Untuk beberapa saat kunikmati
sisa-sisa orgasmeku dengan terus mendekap tubuh mulus Tanti. Aku masih belum rela
melepas rasa nikmat itu. Baru setelah nafasku sudah agak tenang dan cairan
maniku sudah tidak menetes lagi, kucabut penisku dan bergulir terlentang di sampingnya.
Sambil meremas-remas payudaranya, aku berbisik, ”Enak banget punya kamu, Tan.
Untung kamu bukan istriku. Kalau istriku, nanti aku jadi malas ke kantor
gara-gara nafsu terus sama kamu.”
”Hehehe...
punya mas juga enak. Cuma sayangnya, cepet amat!” sahut Tanti.
”Ya
habisnya, tubuhmu nafsuin banget sih.” kucubit putingnya yang sebelah kiri.
”Auw!” Tanti
memekik nikmat. Dia membalasnya dengan meremas kuat penisku yang mulai melembek
dan mengkerut.
”Kalau mau
yang lama, nanti aja kita coba lagi, yah?” kuraba selangkangannya yang terasa
sangat basah, kumasukkan jari telunjukkku ke sana untuk menggesek klitorisnya.
”Ehm... Mas!”
dia menggelinjang pelan. ”Emang mas nggak capek?” tanyanya kemudian sambil
mengocok pelan penisku, berusaha untuk membangkitkannya lagi. ”S-sepertinya burung
mas lebih besar deh dari punya suamiku.” bisiknya.
”Masa sih?
Ah, kamu bisa aja.” kucium bibirnya. Tanti membalasnya dengan melumat bibirku
mesra.
”Iya,
soalnya tadi terasa mampet dan sesak banget.” katanya sambil tertawa renyah.
Aku yang
gemas kembali melumat bibirnya yang seksi itu. Lama aku melumatnya karena Tanti
juga mengimbanginya dengan baik, dia menyusupkan lidahnya agar bisa bertarung
dengan lidahku. Kuremas-remas lagi payudaranya sebelum akhirnya aku bangkit
untuk pergi membersihkan diri ke kamar mandi. Di dalam, kubersihkan sisa-sisa spermaku
yang masih melekat di batangku, benda itu sudah agak sedikit menegang karena
kocokan Tanti barusan.
Tidak lama, Tanti
menyusul masuk. Sambil mengangkat kaki kanannya ke atas closet dan menghadap ke
cermin besar, dia membersihkan cairan maniku yang meleleh keluar dari vaginanya
dengan menggunakan tisu WC. Dari belakang, kuperhatikan tubuh mulusnya yang
indah itu. Dengan kaki jenjang dan sepasang paha yang putih bersih, dia tampak
menggairahkan sekali. Ditambah dengan dua bongkahan pantat yang bulat dan
padat, libidoku dengan cepat terkerek naik.
Rupanya Tanti
juga memperhatikanku melalui pantulan cermin di depannya. Dia tersenyum saat melihat
penisku yang perlahan mulai menggeliat dan menegang kembali. Aduh, senyumannya
itu lho, bikin aku tak tahan. Segera kurangkul dia sambil kuremas-remas lagi
bulatan payudaranya. ”Eh, ngapain sih senyum-senyum gitu?” tanyaku gemas.
Kuciumi pipi dan lehernya.
Tanti
mendesah, tapi tetap sibuk membersihkan cairan maniku yang merembes di paha
sisi dalamnya. ”Mas pengen lagi ya?” sahutnya sambil menggesek-gesekkan bokong
bulatnya ke batang penisku. Terasa penisku seperti diremas-remas dan dipijat-pijat
pelan. Ugh, nikmat sekali.
“Emang kamu
nggak pengen?” kuremas payudaranya semakin keras, kedua putingnya yang masih
terasa kaku dan keras, kujepit dan kupilin-pilin.
Tanti
menggelinjang. “Ehhss… geli, mas!” dia memprotes karena aku menganggu acara
bersih-bersihnya.
”Kok
dibersihin sih, Tan? Biar aja masuk, katanya mau hamil?” tanyaku heran.
Tanganku tetap berada di atas gundukan bukit payudaranya.
”Cuma yang
di luar aja, kok. Tadi sudah banyak yang masuk. Lagian nggak enak kalau kotor gini.” jawabnya
pelan.
Sambil terus
meremas-remas, kucium lagi lehernya. ”Nggak usah bersih-bersih, nanti jadi
seret lagi pas dimasukin.” bisikku di telinganya. Kulepas daster yang ada di
pinggangnya, juga BH krem yang menggantung tak berguna di atas payudaranya.
Sekarang kami sudah sama-sama telanjang. Kupandangi tubuh montoknya sejenak
sebelum akhirnya aku menunduk untuk melumat kedua putingnya.
”Ehh...
ahhh... mas!” Tanti memegangi kepalaku saat aku mencucup dan menghisapnya penuh
nafsu.
”Lagi ya,
Tan?” aku meminta, mulutku penuh oleh bongkahan payudaranya sekarang.
Dia
mengangguk dan tidak menolak saat ciumanku terus turun menuju perut dan pinggulnya.
Sambil jongkok, kuciumi kedua pahanya yang putih mulus, juga kuelus-elus
bulatan pantatnya yang terasa empuk dan kenyal. ”Ahhh... mas!” Tanti mendesis
saat ciumanku berhenti di depan selangkangannya. Kujilati sebentar lubang
vaginanya sebelum akhirnya aku berdiri dan bersiap untuk menyetubuhinya.
”Disini?”
tanya Tanti heran melihatku mempersiapkan penis.
Mengangguk
pelan, kubuka kakinya lebar-lebar. Kutumpangkan salah satu kaki Tanti ke kloset
agar vaginanya bisa terbuka lebar. Sambil terus menciumi bibir dan lehernya,
kugesek-gesekkan ujung penisku ke lubang kemaluannya. ”Ehmmm... mas!” Tanti
merintih dan memelukku saat aku mulai memasukinya. Matanya terpejam menikmati
tusukan penisku yang perlahan memenuhi lubang vaginanya.
Dalam posisi
berdiri dan setengah berpelukan, aku kembali menyetubuhinya. Kugenjot tubuh
mulus Tanti sambil tanganku bermain-main lembut di kedua putingnya. ”Mas...
ahh... ahh...” meski tidak seenak kalau
tiduran di ranjang, tapi tetap saja posisi ini membuat Tanti mendesis dan
menggeram penuh kenikmatan.
Aku juga
merasakan hal yang sama. Rasa geli dan hangat menyelubungi batang penisku saat
aku menyodokkannya lebih dalam ke belahan memek Tanti yang sempit. Benda itu
kini sudah kembali basah, membuat gesekan antar alat kelamin kami menjadi
benar-benar nikmat dan menggairahkan. Sambil terpejam dan sesekali menggigit
bibirnya, Tanti mendesah lembut. ”Ehm, mas... aku... ahh... ahhh...” dia
menceracau tak jelas.
Aku sudah
akan mencium lehernya saat dengan tiba-tiba, Tanti menurunkan kakinya dari atas
closet dan membelakangiku. Aku sedikit melenguh saat batang penisku terlepas
dari jepitan vaginanya. ”Ngapain, Tan?” tanyaku protes.
”Ganti gaya.
Capek!” jawab Tanti pendek sambil menunggingkan pantatnya ke belakang dan
berpegangan pada cermin besar di dinding. Rupanya dia memintaku untuk
menusuknya dari belakang.
Ok, no
problem. Aku juga menyukai gaya ini. Sangat menyukainya malah. Sambil menikmati
bongkahan pantatnya yang indah, kumasukkan lagi penisku. ”Eghhss...” kami
mendesah berbarengan saat alat kelamin kami kembali menyatu.
Kuperhatikan
Tanti dari kaca saat aku mulai menggoyang tubuhnya, betapa dia terlihat sangat
menggairahkan sekali. Goncangan payudaranya, desahan kenikmatannya, juga
ekspresi mukanya yang manis dan sensual, membuatku jadi tambah tergoda. Goblok
sekali suaminya yang telah menyia-nyiakan istri secantik dan senikmat ini. Biar
aku saja memanfaatkannya, daripada nganggur tidak terjamah.
Terus
kutusukkan penisku, sementara Tanti mengimbanginya dengan memutar pantatnya yang
bulat dan menekannya kuat-kuat ke pangkal pahaku, membuat batang penisku yang
kaku dan tegang, masuk dan menusuk dalam sekali, bahkan hingga mentok ke bibir
rahimnya. ”Aghhh...!” melenguh keenakan, sambil meremas-remas payudaranya,
kugerakkan penisku semakin cepat.
Tanti yang
mendapat serangan bertubi-tubi atas dan bawah, tidak bisa bertahan lagi. Beberapa
detik kemudian kurasakan denyutan halus di dalam liang vagina, memijit penisku pelan
dan nikmat. ”Ssshh... uhh... emm... aku mau sampai, mas!” bisiknya berat.
“Tahan
sebentar, Tan. Aku juga sudah hampir.” kuremas terus payudaranya. “Uhh, nikmat
banget, Tan, tubuhmu!” di bawah, kutusukkan penisku semakin cepat dan dalam. Kurasakan
denyutan di vaginanya menjadi kian terasa, bahkan kini disertai jeritan dan
rintihan darinya. ”Mas... aku... Oughh… ahh.. ahh…!”
Tubuh mulus
Tanti mengejang keras seiring semburan dari dalam liang kemaluannya. Aku yang juga
sudah hampir klimaks, dengan rapat memeluknya dari belakang dan terus memberinya
sodokan-sodokan terakhir yang keras dan nikmat. Kubenamkan penisku dalam-dalam
saat spermaku muncrat memenuhi liang rahimnya. Tubuh kami bergetar hebat bersama.
Cairan maniku terasa hangat bercampur dengan cairan cintanya. Mudah-mudahan
saja dengan begini Tanti bisa hamil. Kalau tidak juga nggak apa-apa, aku jadi
bisa terus menidurinya, sampai hamil, hehehe... Sepertinya aku tidak akan
pernah bosan menikmati tubuh mulusnya.
Sambil
melepas penisku, kukecup lembut tengkuk Tanti yang sedikit berbulu. Dia
berbalik dan membalas dengan mencium bibirku mesra. Kami saling memagut dan
melumat beberapa saat. Entah kenapa, aku merasa senang sekali diperlakukan Tanti
seperti itu. Serasa aku adalah suaminya yang sah. Sentuhan, kecupannya yang
lembut, aroma tubuhnya, serta hembusan nafas dan dekapannya membuatku melayang.
***
Aku
terbangun oleh suara TV di ruang tengah. Kulirik sebelah, Tanti sudah tidak ada. Hari ini sabtu
pagi, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Setelah bertempur semalaman,
rupanya membuatku terlalu lelah. Tidak biasanya aku bangun sesiang ini.
Segera
kucari celana dan bajuku. Aku menemukannya di gantungan belakang pintu.
Kukenakan dengan cepat dan segera keluar. Kutemukan Tanti sedang memasak di
dapur.
”Sudah
bangun, mas?” sapa Tanti sambil tersenyum. Dia sudah rapi dengan baju panjang
motif bunga dan jilbab merah berenda membingkai wajahnya yang cantik.
Kupeluk dia
dari belakang dan kukecup pipinya pelan. Kulingkarkan tanganku ke depan untuk
meremas-remas payudaranya. ”Egh...” Tanti sedikit menggelinjang saat aku
melakukannya. Terasa empuk sekali benda itu meski masih terhalang BH.
Tanti
menyingkirkan tanganku, dan sambil mengecup bibirku, dia membimbingku ke kamar
mandi. ”Mandi dulu, mas. Masa bangun tidur sudah minta lagi.” kerlingnya nakal.
”Emang nggak
boleh? Aku sudah pengen loh!” kutarik tangannya dan kutempelkan ke
selangkanganku yang sudah mengeras tajam.
Tanti
tersenyum. ”Mas ini nggak ada capek-capeknya ya?” bisiknya mesra. Dengan
bantuannya, kulepas kaos dan celanaku. Tanti mengusap-usap penisku lembut,
”Habis main semalaman, tetap kaku dan tegang!” bisiknya, tampak kagum dan
menyukainya.
”Emut dong,
Tan.” pintaku manja.
Tersenyum
mengiyakan, Tanti segera menunduk dan mengulumnya. Tapi baru saja aku menggeram
keenakan, dia sudah melepasnya lagi. ”Sudah ah, nanti keterusan.” Tanti bangkit
dan mendorong tubuhku agar segera masuk kamar mandi.
”Tan, ayo
dong!” aku masih berusaha, kutarik lagi tangannya agar menggenggam penisku
lagi.
”Masih
banyak waktu, mas.” Tanti mencium bibirku. ”Aku harus masak sekarang, tuh
ikanku nanti gosong.” dia menunjuk ikan mujaer yang ada di penggorengan.
Sedikit
kecewa, aku pun mengalah. ”Bener ya, nanti habis aku mandi?”
”Habis
sarapan!” Tanti mengoreksi.
Tanpa
berkata lagi, aku segera mengguyur tubuhku. Sementara Tanti kembali ke dapur
untuk meneruskan kegiatannya. Sengaja aku tidak menutup pintu kamar mandi, buat
apa? Toh Tanti sudah melihat tubuh telanjangku sejak kemarin.
Setelah
terkena air dingin, penisku jadi mengkerut dan tidak bersemangat lagi. Tanti
tertawa saat melihatnya. ”Kayak uler!” komentarnya. Kupeluk dan kuciumi dia
sebelum aku beranjak menuju kamar untuk ganti baju. Setelah itu kami sarapan
bareng. Menunya sayur sop dan ikan mujaer. Aku makan dengan lahap untuk
mengganti tenagaku yang hilang, juga sebagai persiapan pertempuran hari ini.
Selesai
makan, segera kutarik tubuh Tanti ke pangkuanku. ”Eh, mas! Aku harus nyuci piring." kilahnya saat kuraih gundukan
payudaranya. Kuremas-remas benda empuk itu sambil tanganku yang lain berusaha
menyingkap baju terusannya yang panjang semata kaki.
”Nyuci bisa
nanti, yang ini tidak bisa ditunda!” kucium
bibirnya dengan mesra dan kulumat kuat-kuat. Tanti tidak bisa menolak. Pada
dasarnya dia juga menginginkannya lagi, jadi begitu kuserang sebentar, dia pun
pasrah tidak melawan.
Bahkan
sekarang dia membalas kelakuanku dengan menghisap dan menyedot mulutku rakus.
Lidahnya dengan cepat menerobos masuk dan membelit lidahku, sementara tangannya
turun ke bawah untuk mengusap-usap penisku yang sudah mengeras dan menegang
dari tadi.
”Aghhh...
mas!” rintihnya pelan saat sambil terus berpagutan, kudorong tubuhnya perlahan-lahan
rebah ke atas meja makan. Piring dan mangkok yang ada disana kusingkirkan ke
samping agar Tanti bisa mendapatkan tempat.
Kusingkap
baju terusannya ke atas hingga aku bisa melihat selangkangannya yang masih
tertutup CD warna putih, seputih kulit paha dan pinggulnya. Kusingkirkan CD itu
dengan menariknya ke samping, tak berkedip kupandangi vagina Tanti yang merekah
basah kemerahan. Dengan cepat kuturunkan kepalaku dan mulai menjilatinya.
”Ughhh...
mas!” Tanti menggelinjang kegelian. Seperti yang sudah-sudah, dia menekan
kepalaku agar menghisap dan melumat vaginanya semakin dalam. Kuturuti
kemauannya dengan menjulurkan lidahku sepanjang mungkin, kujilat lubang
vaginanya, terutama klitorisnya yang kini sudah terasa semakin keras dan
menonjol. Kugigit dan kucucup benda mungil itu hingga menjadi cukup basah.
Saat aku
sudah tidak tahan lagi, dalam posisi duduk di kursi meja makan, kupangku tubuh
montok Tanti dengan tanpa melepaskan pagutan kami berdua. Segera kulepas baju
panjang yang ia kenakan. Buah dadanya yang masih terbungkus BH tampak ranum
menggiurkan. Langsung aku menciumi dan meremas-remasnya sementara Tanti
berusaha melepas kait BH-nya. Setelah terlepas, segera ia tarik benda itu dan
dibuangnya ke bawah, menyusul baju dan jilbabnya yang sudah lolos lebih dahulu.
Dia sudah
telanjang, sedangkan aku masih belum. Tanti segera mencopoti seluruh bajuku
hingga kami sama-sama telanjang sekarang. Kami berpagutan sekali lagi. Tanganku
menggerayangi buah dadanya untuk memelintir kedua putingnya yang terasa
mengganjal keras. Kuremas-remas lembut sepasang dagingnya yang berukuran besar
itu dengan penuh kasih sayang. Kuciumi permukaannya yang halus dan mulus saat Tanti
melepaskan pagutannya.
”Eghhh...
mas! Ahh.. ahh.. uhh..!” desahan Tanti semakin menjadi-jadi setelah ia
memasukkan penisku ke dalam vaginanya secara perlahan-lahan. Sambil memeluknya,
kuciumi seluruh area payudaranya, juga bahu dan ketiaknya. Sementara Tanti
dengan perlahan tapi pasti mulai menaik-turunkan tubuhnya sambil sesekali
memutar pantatnya dengan halus tatkala penisku tertancap jauh di dalam lubang
kewanitaannya.
Menit demi
menit berlalu, goyangan Tanti menjadi kian cepat. Kudekap erat tubuh mulusnya
sambil kuberikan sodokan-sodokan ke atas untuk mengimbangi. Aku terus
melakukannya sampai akhirnya jeritan panjang Tanti mengakhiri semua itu. ”Arrghhhhh...
mas! Aku... keluaaar...!!!” tubuhnya mengejang beberapa saat sebelum kemudian
ambruk kelelahan dalam pelukanku,
Kukecup pipi
dan bibirnya penuh rasa sayang. Kubelai rambut panjangnya yang kini kusut oleh
keringat. Tanti terlihat sangat cantik tapi juga letih. Tubuh mulusnya tampak
basah mengkilat bermandikan keringat. Begitu juga denganku. Penisku yang masih
ngaceng berat masih menancap di dalam liang kewanitaannya.
”Kalo capek,
istirahat aja dulu, Tan.” kataku. Melihat kondisinya, aku jadi tak tega untuk
meneruskan goyangan.
”Nggak, aku
memang capek, tapi seneng banget main sama
mas. Habis enak banget sih!” dia memaksakan diri tersenyum.
Kucium lagi
bibirnya. ”Penisku yang enak, atau memang kamu yang doyan ngesex?” tanyaku
menggoda.
”Dua-duanya
sih, hahaha...” Tanti tertawa. ”Tapi jujur, mas. Aku nggak pernah merasa
senikmat ini kalau main dengan mas Ferdi.”
Aku tertawa
mendengar pengakuannya. ”Yuk, Tan!” kuajak dia ke kamar mandi untuk
membersihkan sisa-sisa cairan cinta kami berdua, juga sekalian buang air kecil.
Sementara Tanti pipis sambil jongkok, kupandangi cermin di depanku. ”Bermimpikah
aku ini?” batinku dalam hati. Aku cubit-cubit mukaku, perih. ”Berarti aku tidak
bermimpi. Aku beneran menyetubuhi Tanti! Wanita yang selama ini menjadi
hayalanku. Wah...!!!” aku tersenyum bangga sekaligus senang.
”Aku balik
dulu ya, mas. Kutunggu di kamar,” kata Tanti begitu selesai menunaikan
hajatnya. Dia segera berlalu dari tempat itu.
”Nggak usah
pake baju ya?” aku berpesan sambil menyempatkan diri mencubit puting susunya.
Ternyata aku cukup lama berada di kamar mandi, hampir setengah jam. Selain
pipis, kuputuskan untuk sekalian buang air besar. Begitu kembali ke kamar, kulihat
Tanti sudah tertidur pulas. Kasihan dia menunggu lama.
Posisi tubuhnya
setengah tengkurap miring ke kiri, satu kaki tertekuk ke depan, dan kaki
satunya lurus sejajar dengan tubuhnya. Pemandangan yang sangat erotis sekali, pantatnya
yang bulat terlihat menyembul ke atas, denganlubang
kemaluan yang mengintip malu-malu di sela-sela pahanya mulusnya. Melihatnya, dengan cepat membuat libidoku
naik kembali. Perlahan-lahan aku merangkak menghampirinya.
Kuraba
lubang vaginanya, masih terasa basah. Segera kuludahi penisku hingga sama-sama
basah, lalu tanpa membangunkannya, kutusuk dia dari belakang. Bless! Batangku
menancap telak. ”Egh...!” Tanti agak melenguh sedikit, tapi tetap tertidur.
Sambil membelai bongkahan pantatnya, mulai kugoyang pinggulku pelan-pelan. Aku
maju-mundurkan batang penisku menggesek dinding vaginanya. Sodokan-sodokan
halus yang kulakukan akhirnya membuat Tanti tersadar dari tidurnya, memang
sungguh terlalu kalau sampai dia tetap tertidur saat kusetubuhi seperti ini.
Dia menoleh
ke arahku dan tersenyum. ”Auhh... uhh… mas! Gila, nggak pake permisi langsung
main sodok aja.” protesnya, tapi tidak menolak. Malah dia mengatur posisi
tubuhnya dengan agak menungging agar aku makin leluasa memasukinya. ”Ehm, nikmat
juga begini! Ugh, geli-geli enak!” kata Tanti kemudian.
Goyanganku kini
semakin cepat dan berirama. Kuusap sekujur tubuh mulus Tanti, mulai dari
punggung hingga bongkahan pantatnya yang seksi. Buah dadanya yang terhimpit dengan kasur juga tidak
luput dari remasan tanganku. Sodokan demi sodokan terus kuberikan sementara keringat makin
membanjiri tubuh telanjang kami berdua. Erangan, rintihan dan desahan membuat
gelora birahi kami memuncak dengan cepat. Sampai pada akhirnya, aku menyuruh Tanti
untuk terlentang. Dengan gaya konvensional, kusetubuhi dia sambil memeluk erat tubuhnya
untuk mengakhiri sesi ini.
Hampir
bersamaan, kami mencapai klimaks. Bermula dari aku yang mengejang sambil mendekap erat
tubuh montok Tanti. Kugigit lehernya saat spermaku muncrat berhamburan memenuhi
liang vaginanya. Tanti menyusul tak lama kemudian. Dia mendekap punggungku
dengan himpitan kakinya, menyuruhku agar menusukkan penis dalam-dalam saat
cairan cintanya menyembur keluar, bercampur dengan air maniku.
Vagina Tanti
terasa sangat becek sekali sekarang. Kuganjal bokongnya dengan menggunakan
bantal agar kedua cairan itu tidak sampai merembes keluar. Pelan kucabut
penisku sambil memberikan ciuman mesra kepadanya dengan penuh rasa sayang. Aku
sudah melupakan istriku sepenuhnya. Yang ada dalam pikiranku sekarang cuma
bagaimana menikmati saat-saat intim ini dan memuaskan Tanti hingga ia hamil.
Aku ambruk
di sampingnya. Tanti memelukku mesra. Payudara yang kenyal terasa mengganjal di bahuku. Peluh
kami masih bercucuran disertai nafas kami berdua yang masih tersengal-sengal. Kecapekan,
kami pun akhirnya tertidur pulas sambil masih berpelukan dengan mesra tanpa ada
rasa canggung sedikit pun.
***
Aku tidak
tahu sudah berapa lama aku tertidur, sampai kurasakan geli-geli nikmat pada
selangkanganku. Kubuka mata, disana kulihat Tanti sedang mengulum dan menjilati
penisku seperti makan es krim. Mulai dari biji pelir sampai lubang penisku,
tidak luput dari sergapan lidah dan bibirnya. Rasa nikmat segera menjalar di
sekujur tubuhku. Penisku dengan cepat mengeras mendapat perlakuan seperti itu.
Melihatnya telah siap, Tanti kemudian mengambil posisi jongkok di atas penisku.
Sambil mencengkram dan membimbing penisku ke arah lubang cintanya, dia
menurunkan pinggulnya perlahan-lahan hingga sedikit demi sedikit penisku menerobos
masuk ke dalam lubang cintanya.
Setelah
amblas semua sampai biji pelirku menyentuh bibir kemaluannya, Tanti mulai
menaik-turunkan tubuhnya pelan-pelan. Aku yang merasa keenakan juga tidak
tinggal diam, kuremas-remas pantatnya silih berganti sebelum akhirnya beralih pada
buah dadanya. Kupegangi daging kembar itu sementara Tanti bergerak naik turun semakin
cepat. Dia juga memutar-mutar pantatnya di atasku, membuat rasa sensualitas
pada gairah kami berdua semakin menggelora.
”Mas...”
Tanti menunduk untuk merapatkan tubuhnya di atas dadaku. Segera kudekap
tubuhnya mesra dan kuciumi bibirnya bertubi-tubi sambil terus memberikan
sodokan keras dari bawah.
Menit demi
menit berlalu tanpa terasa, masih dengan posisi yang sama, kusetubuhi Tanti sambil
terus meremas-remas buah dadanya dengan lembut. Sodokan-sodokan liar, gigitan
kecil dan usapan lembut pada sekujur tubuhnya membuatku tidak dapat bertahan
lebih lama lagi. Sodokanku dari bawah dan himpitan selangkangan Tanti dari atas
menambah menit akhir orgasmeku kian dekat. Begitu juga dengan Tanti, sepertinya
dia juga sudah hampir sampai.
Dengan tubuh
saling mendekap erat, kami akhiri persetubuhan siang itu dengan saling
mengejang dan mengerang nikmat. Cairan cinta kami menyembur deras untuk sekali
lagi bertemu dan mengisi liang rahim Tanti yang kering dan gersang. Setelah semuanya
berakhir, Tanti jatuh di sisiku sambil tersenyum penuh kebahagiaan. ”Uhhff,
baru kali ini aku merasakan enaknya bercinta,” bisiknya.
”Kalau tahu
seperti ini, sudah dari dulu aku entoti kamu, Tan!” sahutku sambil mencium
bibirnya.
”Enak aja. Nggak
mungkin aku ngasih perawanku sama mas! Jangan konyol.” kata Tanti sambil memukulku
pakai guling. ”Ini kan karena aku mau cepet dapat anak, bukan karena aku suka
sama mas! Eh, sorry, jangan marah ya!” Tanti tersenyum.
“Mau marah
bagaimana, lha wong aku sudah dikasih yang enak-enak!” ucapanku itu disambut
dengan lemparan bantal oleh Tanti.
***
Begitulah, selama 2 hari 3
malam, aku menginap di rumah Tanti. Selama itu pula, kuisi terus rahimnya
dengan spermaku. Kegiatan kami selain untuk makan dan mandi cuma ngentot,
ngentot, dan ngentot. Aku rasanya tidak pernah bosan menyetubuhinya karena
tubuh Tanti memang sangat nikmat sekali. Permainannya juga sangat variatif dan penuh
kejutan. Segala posisi dan gaya yang kuminta dilakukannya tanpa banyak
bertanya. Istriku yang SMS di minggu pagi, cuma kujawab pendek karena saat itu
aku sedang asyik menunggangi tubuh bugil Tanti di kamar mandi. Baru saat dia
telepon, aku sedikit menghentikan aksiku. Tapi tidak dengan Tanti. Sementara
aku menerima telepon, dia menghisap dan mengulum penisku penuh nafsu hingga
membuatku sedikit merintih dan mendesis kegelian. Istriku yang curiga bertanya,
dan kujawab kalau aku lagi sarapan pake sambel yang sangat pedas. Untungnya dia
percaya.
Sehabis dari kamar mandi, Tanti
mengajakku ke ruang makan. Disitu kami sarapan dengan tubuh masih tetap bugil.
Sambil mengunyah kugerayangi terus tubuhnya. Tanti sempat sedikit protes, ”Udah
dong, mas. Nggak bosan apa? Lagi makan nih, nanti kan bisa.” dia kegelian
karena kupenceti terus bulatan payudaranya.
Aku tertawa dan meremas
payudaranya semakin keras. Setelah itu tanpa perlu repot mencuci tangan,
kutindih tubuhnya di atas meja makan, dan sekali lagi kusiram vaginanya dengan
spermaku. Tanti geleng-geleng kepala melihat nafsuku. ”Kaya kuda!” begitu komentarnya,
jelas sangat menyukainya.
Selanjutnya kami melakukannya
lagi di ruang tengah, lalu di kamar saat tidur siang, dan di dapur saat Tanti
memasak sore hari. Malam tak perlu diomongkan karena sudah pasti kami
melakukannya lagi. Setelah makan dan menonton TV sebentar, kuseret tubuh bugil
Tanti ke dalam kamar. Sprei sudah diganti baru karena di permainan terakhir
kami, Tanti ’pipis’ banyak sekali hingga tembus sampai ke kasur.
Diawali dengan ciuman dan rabaan
mesra, akhirnya kugenjot tubuh mulus Tanti semalam suntuk. Kami hanya tidur
sebentar-sebentar, sekedar untuk memulihkan diri. Aku 5 kali orgasme, spermaku
sampai tidak kental lagi karena saking seringnya kuperas. Warnanya juga tidak
putih lagi, agak sedikit bening. Jumlahnya juga tidak banyak. Sedangkan Tanti,
entahlah, 10 kali mungkin, tidak bisa lagi kuhitung karena saking banyaknya.
Kami seperti ingin memanfaatkan saat-saat terakhir sebelum perpisahan itu
dengan sebaik mungkin, karena jam 3 aku sudah harus balik ke kota S kalau tidak
mau telat datang ke kantor.
Waktu sudah menunjukkan pukul 03.10 ketika Tanti mengantarku ke terminal.
Kudekap dia erat dan kukecup pipinya sebagai rasa sayang dan terimakasih. Setelah
itu kami pun berpisah, Tanti kembali pulang dengan membawa banyak sekali
benihku sedangkan aku naik bis AKDP untuk balik ke kota S.
Sampai 2 minggu kemudian, Tanti mengabari kalau dia sudah positif. Aku
yakin sekali kalau itu adalah anakku karena banyak sekali spermaku yang kutuang
ke dalam rahimnya di pertemuan terakhir kami yang panas dan penuh gairah. Dan
asyiknya, Tanti tidak cuma mengabari itu, dia juga mengatakan kalau suaminya
akan kembali dinas keluar kota selama dua minggu.
”Main lagi ke rumah, mas. Aku kangen sama mas!” undangnya penuh harap.
”Kangen aku apa kangen kontolku?” tanyaku menggodanya.
Tanti tertawa ngakak sebelum menjawab, ”Kangen dua-duanya!”
”Aku juga kangen kamu.” sahutku.
”Kangen aku apa kangen memekku?” balasnya.
Aku ikut tertawa. Kuperhatikan kalender dan jadwal kerjaku, sepertinya
bisa. Kalaupun tidak bisa, akan kuusahakan agar bisa, hehe... siapa juga yang
bisa menolak undangan wanita secantik dan semolek Tanti. ”Oke, jemput aku di
terminal jumat malam ya?” aku berkata menyanggupi.
”Ok, mas!” jawab Tanti penuh antusias.
Aku segera mengabari istriku kalau minggu depan tidak bisa pulang karena
ada ’lembur’. Istriku bisa menerimanya. Dan begitulah, dari perselingkuhan pertama
kami hingga kini, telah 4 kali aku meniduri Tanti lagi. Persetubuhan yang
awalnya hanya untuk hamil, kini berubah jadi ajang pemuas nafsu masing-masing.
Tanti ketagihan dengan permainanku, sedangkan aku menyukai rasa tubuhnya yang
hangat dan menggiurkan. Entah kapan kami bisa berhenti? Yang ada malah semakin
panas karena seiring jabatan Ferdi yang naik jadi CEO, dia jadi semakin
sering pergi ke luar kota, hampir tiap akhir pekan. Dan akibatnya, semakin
sering pula kunikmati dan kutiduri istrinya yang cantik dan seksi itu.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar