Setelah suamiku meninggal…
Semuanya menjadi berubah. Tak ada lagi suara lenguhan baritonnya yang
selalu kudengar tiap malam. Tak ada lagi kecupan dan jilatan lembutnya di ujung
puting dan selangkanganku. Tak ada lagi acara ‘main’ di hari minggu di halaman
belakang. Tak ada lagi suara Mozart yang menggaung di ruang tengah menemaninya
menyetubuhiku sebelum berangkat kerja. Tak ada dasi maupun celana kerjanya yang
tergeletak sembarangan di karpet kamar saat dia melompat menubruk diriku yang
sudah menunggunya telanjang sepulang kerja. Tak ada kecipak yang beradu dengan
suara air dari pancuran shower saat kami mandi bareng setelah main
habis-habisan semalam suntuk. Juga, tak ada lagi seseorang yang memanggilku
‘sayang’ saat menusukkan penisnya yang besar itu ke dalam lubang sempit
vaginaku.
Setelah suamiku meninggal...
Aku didiagnosis mengidap HIV,
sama seperti suamiku yang sayangnya menjadi penyebab kematiannya. Buruknya
lagi, anakku juga didiagnosa mengidap virus yang sama setelah ikut diperiksa
sebulan kemudian, atas paksaan kedua mertuaku. Setelah itu, mereka bersikeras
menuduhku yang menulari anaknya virus mematikan itu, padahal selama ini aku tak
pernah melakukan sesuatu yang menularkan HIV. Aku tak pernah seks bebas, tak
pernah memakai narkoba, tak pernah berciuman atau aktivitas lainnya. Namun aku
lelah berdebat dengan orang-orang kolot seperti mereka. Sampai kapanpun, mereka
(yang mengaku keturunan ningrat dan suci itu) tak akan menyalahkan anaknya.
Padahal aku tahu pasti, malam-malam sunyi di mana suamiku mengendap-endap
keluar rumah seperti maling dan pulang menjelang subuh dengan bau parfum wanita
yang berganti-ganti.
Aku tahu dia suka main
perempuan, dan sering menyelingkuhi istri-istri tetangga sekitar kompleks. Tapi
aku tidak pernah marah. Ah, aku cuma tak mau ribut saja. Sebagai seorang istri
yang baik, sudah tugasku untuk mengabdi dengan patuh dan membesarkan anak
semata wayang kami dengan penuh kasih sayang. Tanpa peduli bagaimana tingkah
laku suamiku.
Setelah suamiku meninggal...
Mertuaku mengusirku dari rumah
kami, maksudnya rumahku bersama suamiku. Namun mertuaku merasa itu bukan lagi
hak milikku sehingga mereka mengambilnya dan mengusirku. Hari itu, bersama
Marsha, anakku, aku berjalan tak tentu arah dengan sisa tabungan yang tak
banyak karena mertuaku tak memberikan apa-apa untuk menantunya yang
mengidap HIV ini. Beberapa teman dekatku setuju aku menginap di rumah mereka,
tapi hanya sebentar saja karena Marsha yang masih enam tahun sangat rewel
sehingga aku merasa tak enak menumpang terlalu lama. Usahaku mencari tempat kos
juga terhambat karena tak ada yang mau menerima anak kecil dan janda sepertiku.
Keluargaku sendiri semua tersebar di luar pulau, bahkan adikku sekarang tinggal
di Amerika mengikuti suaminya. Kedua orang tuaku sudah meninggal dan rumah
mereka dijual.
Untung ada seseorang yang mau
menolongku, namanya Pak Sitorus, biasa kupanggil Pak Sitor. Dia adalah laki-laki
tua penjual bakso yang pernah menjadi langgananku. Tentu saja dengan imbalan
yang tidak gampang. Aku harus mau menjadi istrinya, atau paling tidak mau
melayaninya di atas ranjang! Meski kukatakan kalau aku mengidap AIDS, ia tidak
peduli. Rupanya ia sudah terlalu terobsesi dengan tubuh mulusku.
Karena tidak ada penawaran lain,
maka dengan berat hati kuterima tawarannya. Di sore setelah Marsha pulang
sekolah, aku pindah ke rumah Pak Sitorus. Dia sudah menungguku di dalam
kamarnya. Setelah makan malam dan menidurkan Marsha, aku pun menemuinya untuk
menunaikan kewajibanku sebagai istri... ralat : budak seksnya.
Gemetaran aku berdiri di depan
pintu kamarnya, lalu mengetuknya pelan. ”Pak, pak Sitor...” aku memanggil.
”Masuk saja, mbak, tidak dikunci
kok.” sahut laki-laki tua itu dari dalam.
Aku pun masuk lalu mengunci pintu dari dalam. Dengan berat kulangkahkan kakiku mendekatinya. Pak Sitorus sedang duduk di atas ranjang tanpa mengenakan selembar benang pun. Kedua kakinya terbuka lebar-lebar, memperlihatkan penis besarnya yang mulai sedikit menegang. Dengan isyarat mata, dia menyuruhku untuk jongkok di lantai.
”Mbak, jilati penisku ya,” pintanya tanpa malu-malu.
Sambil gemetaran, kuturuti
permintaannya itu. Aku pun jongkok di depannya, wajahku kudekatkan ke selangkangannya.
Dengan lidah terjulur, kutempelkan mulutku ke ujung penisnya dan mulai menggerakkannya
naik turun, menjilati batang besarnya yang kurasa semakin membengkak dan
mengeras dalam mulutku.
”Ohhh... Mbak, enak sekali,
mbak... teruss... ya, begitu... truss...” desah Pak Sitorus keenakan saat bibirku
mencucup dua bolanya kuat-kuat. Sementara lidahku terus menari-nari membelai batang dan
helmnya. Pantat Pak Sitorus sampai terangkat-angkat menerima jilatanku. Bibir
keriputnya terus mendesis penuh kenikmatan. Apalagi saat aku memindahkan
jilatan ke lubang anusnya, laki-laki tua itu merintih makin hebat.
”Akhh... aku tak tahan, mbak...
oughhhh... enak sekali! Tak kusangka kau begitu pintar,” desisnya sambil meraih
kepalaku dan membenamkannya dalam-dalam ke selangkangannya, hingga batangnya
yang besar dan panjang itu tanpa bisa kuhindari menusuk telak sampai ke
tenggorokanku. Aku sampai tersedak dan terbatuk-batuk dibuatnya.
Setelah itu Pak Sitorus menyuruhku untuk menyudahi jilatan. Kemudian dia berdiri sambil memegangi penisnya yang sudah tegang penuh. Dikocoknya benda itu sebentar sebelum akhirnya menempelkan ujungnya yang tumpul seperti jamur ke lubang vaginaku. Didorongnya tubuhku hingga telentang di ranjang. Kedua kakiku diangkatnya tinggi-tinggi, lalu ditopangkan ke atas bahunya.
Dengan posisi seperti itu, Pak Sitorus jadi mudah untuk melakukan penetrasi. Lubang vaginaku yang menganga lebar, tepat berada di depan batang penisnya, siap menerima kapan pun benda itu terdorong masuk. ”Siap ya, mbak?” dia berkata, dan dengan sekali hentak, penisnya pun melesat masuk memenuhi lubang vaginaku yang telah basah memerah.
”Auw, pak... pelan-pelan!” jeritku pilu. Kurasakan penisnya begitu kasar dan brutal saat menggesek dinding vaginaku.
Tapi tanpa menghiraukan rintihanku,
Pak Sitorus mulai memaju-mundurkan pantatnya, menggenjot tubuh mulusku yang
masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadirannya, membuat vaginaku seperti
diamplas dan digesek batang kayu kasar, rasanya sangat sakit sekali, sesakit
luka di hatiku.
”Ehm, enak banget, Mbak...
oughhh... kok bisa sih kamu punya vagina seenak ini?” rintihnya penuh nafsu.
Dia semakin mempercepat sodokannya ketika dirasakannya vaginaku mulai berkedut-kedut
ringan seiring waktu berlalu.
Kurasakan otot-otot vaginaku menegang
dan menjepit penisnya saat dia menusuk semakin dalam. ”Pak, pelan-pelan, pak...
sakiitt...!” aku berteriak. Tubuhku
mengejang. Tanganku mencengkeram sprei dengan keras. Sementara cairan cinta
terus merembes keluar dari lubang vaginaku, membasahi penis Pak Sitorus yang
terus bergerak keluar-masuk dengan teratur.
”Masih lama, Pak, keluarnya?” tanyaku beberapa saat setelah berhasil menguasai diri. Aku sudah tak kuat menahan siksaan ini lebih lama. Vaginaku rasanya nyeri dan mau robek.
”Masih lama, Pak, keluarnya?” tanyaku beberapa saat setelah berhasil menguasai diri. Aku sudah tak kuat menahan siksaan ini lebih lama. Vaginaku rasanya nyeri dan mau robek.
”Sebentar lagi, Mbak. Ganti posisi ya biar aku makin puas!” dia lalu menarik tubuhku dan disuruhnya menungging, membelakanginya dengan kaki berpijak di ranjang sementara tanganku mencengkeram tepian ranjang.
”Auw! J-jangan yang itu, Pak” aku menjerit. ”Jangan lewat anus” tanganku meraih penis Pak Sitorus dan berusaha menahannya. Tapi apalah dayaku sebagai wanita yang lemah dan terluka melawan laki-laki yang sudah diamuk birahi seperti dia. Dengan ganas Pak Sitorus terus memajukan pantatnya hingga penisnya menyentuh lubang anusku.
”Tahan, mbak... oughhhh... nikmat sekali!” dia mendorong pantatnya lebih maju, dan sedikit demi sedikit batang penisnya memasuki lubang anusku. Setelah seluruh batang itu amblas menghilang, Pak Sitorus mulai memaju mundurkan pantatnya, menggenjot anusku yang masih perawan dan masih sangat sempit.
Sempitnya lubang itu ternyata
membuat Pak Sitorus jadi tak tahan. Tak lama, bisa kurasakan kalau batang
penisnya mulai berkedut-kedut ringan, tanda kalau dia akan segera keluar. Untuk
mempercepatnya, sambil menahan rasa sakit di anusku yang robek parah,
kuputar-putar pantatku mengimbangi sodokannya. Lebih baik permainan ini cepat
berakhir daripada aku menanggung rasa nyeri lebih lama.
Dan benar, menerima goyangan
pinggulku yang atraktif itu, Pak Sitorus pun menjerit kuat tak lama kemudian,
”AARRGGHHHHH... Mbak, aku keluar!” kurasakan otot penisnya menegang, dan... crot-crot-crot!
Dia menumpahkan sperma tuanya di dalam lubang anusku.
Dengan nafas masih terengah-engah, Pak Sitorus mencium bibirku sebagai ungkapan terima kasih. Aku cuma bisa menyambut belaian tangannya dengan tangis saat dia meremas-remas bulatan payudaraku penuh nafsu. Demi sebuah tempat tinggal, aku telah menjual tubuhku.
Malam itu, kami bersetubuh sampai pagi, sampai Pak Sitorus kelelahan dan tertidur pulas memelukku. Lima kali dia muncrat mengisi tubuhku, dua di anus, sisanya di lubang vagina. Mudah-mudahan saja aku tidak sampai hamil dibuatnya. Saat itulah Pak Sitorus membuat pengakuan kalau sebenarnya dia juga mengidap AIDS, jadi dia tenang saja bersetubuh denganku, toh dia sudah tertular. Bahkan dia merasa beruntung karena bisa meniduriku, wanita yang selalu diimpikannya, sebelum dia meninggal.
Sedang aku sendiri, cuma bisa
orgasme satu kali, itu pun di ujung permainan kami yang terakhir saat menjelang
subuh, saat aku mulai bisa menikmati genjotannya. Sejak saat itu, hampir setiap
malam dia menikmati tubuhku. Pak Sitorus sepertinya ketagihan dengan pelayanan
yang kuberikan. Rasa kesepiannya yang telah bertahun-tahun hidup sendiri, kini
seperti terobati dengan kehadiranku. Nafsu birahinya yang meledak-ledak kini
tersalurkan lewat tubuh mulusku.
Setelah suamiku meninggal...
Aku kesal, menyalahkan keadaan
dan kadang menyalahkan Tuhan. Aku tahu, meski berjilbab, aku bukan lah wanita
yang religius, tapi aku sering berbuat baik kepada sesama. Mengunjungi panti
asuhan jadi kegiatan rutinku dan suami setiap bulan, aku juga sering beramal di
masjid dan pengemis di jalan. Tapi kini, menjadi janda, mengidap HIV,
diusir dari rumah, dan kini harus menjadi budak seks seorang kakek tua. Aku merasa hidupku
teramat menderita dan sesekali terlintas keinginan untuk bunuh diri, yang
untungnya bisa selalu kucegah. Marsha masih membutuhkan kehadiranku.
Di sisi lain, ulah Pak Sitorus
makin menjadi. Merasa bisa menguasai diriku, dia memperlakukanku seenak
hatinya. Aku bagai boneka tak berharga di mata laki-laki tua itu. Ia terus
menyetubuhiku tanpa henti, siang dan malam, kapan pun ia mau. Gayanya juga
aneh-aneh, mulai dari nungging di lantai hingga miring di dinding. Bahkan dia pernah
menukarkan diriku dengan istri sahabatnya yang juga sama-sama terkena AIDS.
Itu terjadi 1 minggu yang lalu.
Awalnya aku menolak saat dia mengutarakan niatnya. Tapi dengan ancaman akan
diusir dari rumah, aku pun luluh. Aku tidak bisa membayangkan akan
menggelandang bersama Marsha. Bocah itu tidak bersalah, biarlah aku yang
menanggung segala derita ini.
Dengan berboncengan sepeda
motor, Pak Sitorus mengajakku ke sebuah hotel melati di sebelah terminal. Disana
sudah menunggu sepasang suami istri yang masih sangat muda, mungkin seusiaku.
Namanya Yusril dan Rini. Setelah berbasa-basi sejenak, Pak Sitorus pun
menggandeng tangan Rini dan mengajak wanita cantik berambut pendek itu masuk ke
sebuah kamar. Begitu juga denganku, dengan pasrah kuikuti Yusril yang
mengajakku masuk ke kamar yang lain.
Kamar itu terlihat sangat mewah dibanding
ruang tidurku yang ada di rumah Pak Sitorus. Membayangkannya, aku jadi teringat
Marsha yang kutinggalkan tidur sendirian disana. Aku pun menangis.
”Ada apa, mbak?” tanya Yusril
heran, ia jadi urung melepas celananya.
”Ah, tidak... tidak ada apa-apa.
Aku cuma kegerahan.” cepat kuhapus air mataku dan tersenyum kepadanya. Sesaat
kami berpandangan sebelum akhirnya Yusril mendekatiku dan memagut bibirku mesra.
Aku gemetar. Ciumannya terasa sangat berbeda, dia tidak buru-buru atau pun
begitu bernafsu. Dia seperti ingin membangkitkan gairahku, mengajakku untuk ikut serta
menikmati permainan ini. Dia memandangku sebagai seorang wanita, bukan seperti
Pak Sitorus yang menganggapku sebagai obyek pelampiasan nafsunya saja. Dengan
Yusril, aku merasa bertemu lagi dengan almarhum suamiku!
Sungguh merupakan sensasi tersendiri.
Inilah peristiwa pertama dalam hidupku dimana aku bersetubuh dengan laki-laki
lain tapi aku menikmatinya. Aku menyadari bahwa yang kini memeluk dan menciumku
bukanlah suamiku, melainkan laki-laki lain yang juga terkena HIV sama sepertiku.
Tapi sentuhan dan rayuannya membuatku terhanyut. Aku menyerah. Permainan yang
awalnya kubayangkan brutal dan menyakitkan, ternyata berjalan begitu syahdu dan
nikmat.
Lama kami berpagutan untuk saling menukar lidah dan air liur. Kurasakan remasan tangan Yusril pada bulatan payudaraku. Remasan itu mengantarkanku menapaki jenjang birahi ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Jantungku berdegup kencang. Kini aku dalam pelukan nikmat sesaat dari lelaki yang baru kukenal beberapa menit yang lalu, dan aku terhanyut deras tanpa sanggup untuk kembali.
Lumatan lidah Yusril sungguh memabukkan. Aku bisa merasakan betapa pipi dan dagunya yang baru bercukur terasa kasar merangsang saraf-saraf birahiku. Aku seperti terlempar ke awang-awang, tidak tahu untuk turun di mana nantinya. Yang bisa kulakukan cuma mengikuti naluri dan refleksku, memperkuat rangkulan dan pelukanku pada lehernya. Aku rasakan tangan-tangan Yusril sibuk melepas baju panjangku, tapi tidak jilbabku, dan dilemparkannya begitu saja ke sofa di samping pintu. Anehnya, dengan bugil begini, aku malah merasa lebih nyaman.
Tangannya yang kekar mulai merogoh behaku. Aku sedikit terjengit saat kurasakan jari-jarinya menyentuh ujung putingku. Buah dadaku diremasinya, dipijitnya bergantian kiri dan kanan, sambil terus memilin-milin putingku yang semakin lama terasa semakin mengeras. Perasaanku sudah tak terkatakan lagi. Nikmatnya permainan ini membuatku menyerah total. Kubenamkan wajahku ke leher Yusril sambil merintih.
"Mmhh... Yuss, ampun... nikmat banget sih..." aku menyapukan lidahku pada lehernya. Gelegak nafsuku semakin tak terbendung. Aku telah kehilangan rasa takut dan malu. Aku menjerit dan meracau semakin keras, "Ahhh... Aghhhh... Hheecchh..." Lidahku terus menjilat dan mengecupi lehernya. Ini membuat remasan tangan Yusril pada payudaraku lebih menggila, dia melepas behaku dan kembali dilemparkannya ke sofa. Kini aku sudah telanjang dada. Yusril langsung menyungsepkan wajahnya ke belahan dadaku yang bulat menggunung. Dia mulai mengulum putingku dan menyusu bak bayi manja.
”Aughhhh... Yuss!” gelinjangku semakin tak tertahankan. Aku menggeliat-geliat dan naluri syahwatku menuntun pinggul dan pantatku untuk menggoyang dan menekan ke arah selangkangannya. Bisa kurasakan tonjolan kaku yang besar dan panjang mengganjal disana. Aku pastikan Yusril juga telah sangat terangsang birahinya. Dan 'kehausan'-ku mendorong tanganku untuk meraba kemejanya, menyusup ke dalamnya dan menjamah punggungnya yang gempal dan macho itu.
Dengan tetap berdiri merapat pada daun pintu, Yusril kembali memeluk erat pinggul dan bahuku, untuk memberi kesempatan tangan-tangan lentikku melepas kancing kemejanya. Ahh, betapa geli dan nikmatnya saat lidahnya yang kasap menjilat leher dan kemudian melumat bibirku, membuat cairan vaginaku perlahan terdesak membanjir keluar.
Saat kemejanya sudah terlepas, Yusril berdiri dihadapanku dengan dada bidangnya yang sangat jantan. Kuraba bisepnya yang kaku dan keras, sangat disayangkan pria semacho ini ternyata mengidap HIV. Orang-orang pasti tidak akan pernah menyangka. Tanpa kusadari, saat meraba itu, aku sedikit mendesah. Sentuhan syahwat begitu merangsang nafsuku. Aku ingin menjamah apapun yang bisa kujamah dari tubuh kekar Yusril. Aneh, tiba-tiba saja aku menjadi liar. Sangat liar. Dalam kondisi macam itu, tak terpikirkan sama sekali olehku siapa dan perbuatan apa yang sedang kulakukan kini. Yang ada dalam pikiranku sekarang cuma bagaimana menuntaskan hasrat ini dan bagaimana mendapatkan kenikmatan total dari Yusril, si keren.
Bibir pemuda itu menjalari pori leherku, membuatku seperti tak lagi menginjak bumi. Perasaanku melayang dalam alun badai nikmat yang tak terhingga. Yang kudengar hanyalah degup jantungku sendiri dan kecipak kecupan bibir Yusril yang terus melata menyusuri gundukan payudaraku.
Wajahnya diusel-uselkan ke tonjolan putingku, menekan tepat di tengahnya. Jangan tanya rasanya. Glyeerr.. getaran listrik menyentak dan menjalar cepat ke seluruh tubuhku. Aku menahan gejolaknya dengan mengaduh nikmat. Kututup mataku sambil menengadahkan muka ke langit-langit, merasakan betapa aliran syahwat nikmat itu menelusur kemudian membakar seluruh saraf-saraf lembut di seluruh tubuhku. Aku menggelinjang hebat.
Dalam posisi mendekap sambil menyedoti payudaraku di bawah sana, di antara pahaku mulai kurasakan batang panas yang didesak-desakkan ke arah vaginaku. Aku rasakan kejantanan Yusril mulai beringas mencari sarangnya. Tanpa sepengetahuanku, dia ternyata telah berbugil. Ahh, sungguh terampil dan berpengalaman pemuda itu. Nafsuku menggelegak. Rasanya aku sedang dalam pintu pembantaian nikmat syahwatku
Dan akhirnya celana dalamku juga direnggut oleh tangan-tangan kokohnya. Sambil memelukku dan dengan tetap berdiri bersandar pada daun pintu, dia meloloskan kain pelindungku yang terakhir. Desah dan lenguhku menyertai keterampilan tangannya. Kami benar-benar telah berbugil ria sekarang. Dinginnya AC kamar terasa menerpa tubuhku, namun hanya sesaat, karena tubuh hangat Yusril keburu menggelitik tubuhku. Sambil terus berpagut, saling lumat dan saling jilat, kami beradu keringat dan aroma tubuh dalam kamar mungil hotel melati ini.
Dan aku makin merasa hangat saat
lidah dan bibir Yusril kembali menjilat dan menyedot-nyedot bukit payudaraku.
Tanganku diraihnya, dituntunnya untuk menjamah kemaluannya. Aku tergetar.
Seumur-umur belum pernah aku menyaksikan penis lelaki sebesar ini. Milik Pak
Sitor memang besar, tapi sudah agak lembek. Beda dengan yang kusaksikan
sekarang, penis Yusril begitu besar dan panjang, juga sangat keras dan berurat.
Rambut-rambut keriting yang mencuat semrawut di pangkalnya makin menambah kesan
jantan batang berwarna hitam itu.
Kurasakan tanganku gemetar saat
turun dibimbing olehnya. Dan ketika akhirnya aku menyentuhnya, yang kurasakan
awalnya adalah daging liat yang hangat dan berdenyut-denyut. Aku merabanya
pelan dan menggenggamnya. Ampunn... Kurasakan seperti menjamah lobak besar di
counter sayur Carrefour. Panjang dan... duuhh! Gedenya begitu terasa dalam
genggaman. Tersentuh pula bulu-bulunya yang terasa lebih kasar dan kaku dari
milik suamiku dulu.
Aku bergidik akan besar dan kenyalnya. Nafsu syahwatku menggelegak. Tak bisa kubayangkan nikmat yang bakal melandaku saat batang ini nanti masuk menembus vaginaku. Tanganku mencoba mengelus dan mengurutnya, kuremas-remas batang kaku itu dengan penuh nafsu.
Sedikit beringsut, Yusril memposisikan tubuhnya di belakang tubuhku. Dia mendekapku erat dan meraba-raba pahaku sebelum akhirnya meraih dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga hampir menyentuh dadaku. Sekarang aku seperti berjongkok dalam gendongannya. Bersamaan dengan bibirnya yang melepaskan jilatan dan pagutan pada leher dan bahuku, pinggulnya bergerak menggoyang maju mundur, menggesek-gesekkan ujung penisnya hingga menyentuh bibir kemaluanku. Hebat. Dia ingin menyetubuhi sambil berdiri. Tak pernah merasakan posisi seperti ini membuatku merasakan kenikmatan yang sungguh sangat sensasional.
"Aduh... aduduh... ampun, Mas!" penis Yusril terasa mulai mendesak lubang vaginaku, dan rasa gatal birahi langsung menyergapku. Aku tahu kemaluanku saat ini telah sangat basah. Alunan rayu, gesekan, sentuhan, jilatan dan kecupan darinya, dengan disertai geraman, rintihan dan kecupan telah demikan merangsang hasrat syahwatku. Akibatnya cairan birahiku tak mampu kubendung. Saat dia menggesekkan penisnya semakin dalam, aku pun pasrah. Akankah Yusril memasukkan penisnya ke lubang kemaluanku dengan tetap dalam posisi berdiri dan bergendongan seperti ini?
Namun pertanyaan itu tak pernah
terjawab. Gelitik
nafsu birahi dan rangsangan syahwat yang dahsyat telah membuat segalanya jadi
mungkin. Aku merasakan ujung kontol pemuda itu terus menggelitik dan mendesak
bibir vaginaku. Aku pikir ini luar biasa. Sungguh sangat merangsang
keingintahuan birahiku. Dengan mendatangi dari arah belakang, Yusril bisa mencapai
lubang vaginaku. Artinya, betapa panjang batang penisnya! Dan dengan beberapa
kali dorongan dan hentakan, sambil terus menggerakkan pantatnya maju mundur, akhirnya
bibir vaginaku merekah dan siap menerima kehadiran penisnya.
”A-aduh... ampun, Yuss... sshhhh... enak banget! Terus...” aku langsung melayang dalam mabuk syahwat penuh kenikmatan. Secara refleks kugerakkan pantatku untuk menjemput rasa gatal yang tak terkatakan akibat gesekan penis besar Yusril. Dinding-dinding vaginaku rasanya menuntut untuk digaruk, berharap batang kontolnya yang terasa mulai melesak ini melakukannya.
”Aagghhhh... sshhhhh...
hmmmh...” aku berteriak dan mendesis, sementara Yusril langsung memberikan
serangan nikmat susulan. Bibirnya memagut leherku dan melumatnya rakus. Dia
menjilatinya sambil mulai menggerakkan penisnya maju mundur. Aku hanya bisa mendesis
menahan nikmat sambil menggeliat ke arah belakang. Aku berusaha mencari sesuatu
yang bisa kupakai untuk berpegangan.
Kurasakan penis Yusril merambah seluruh sudut-sudut vaginaku. Relung-relung yang selama ini tidak terjamah, bisa ia jangkau dengan mudah. Perbuatannya itu membuat saraf-saraf pekaku terangsang hebat. Aku histeris. Dengan segala daya dan upaya, aku berusaha mengimbanginya dengan menggenjot balik pompaan pinggulnya. Kucengkeram erat penis Yusril dengan dinding vaginaku yang hangat dan basah.
”Ampun, Yus... ughhhhh, aku tak tahan! Aku tak sanggup lagi!” Dengan cengkeraman pada rambutnya yang langsung membuat bibirnya menerkam dan menggigit bahuku, kujemput puncak syahwatku. Kelojotan kurasakan bagaimana tegang dan pekanya urat-urat saraf vaginaku saat dirambati datangnya rasa yang begitu nikmat. Rasa yang jarang kudapatkan saat aku berhubungan dengan Pak Sitorus maupun almarhum suamiku. Inilah untuk oertama kalinya aku orgasme duluan sebelum laki-laki yang menyetubuhiku ejakulasi.
Aku tak mampu lagi berdiri. Saat
Yusril menurunkan tubuhku, kami berdua rubuh ke karpet usang kamar hotel
murahan ini. Rasanya seluruh sendi-sendi dan saraf-sarafku dilolosi dari tempatnya.
Aku
terjatuh lunglai.
Tapi Yusril yang masih belum keluar, terus memacu dan menggerakkan pinggulnya. Rupanya dia masih penasaran dengan tubuhku, apalagi selama sesaat tadi, kemaluan kami masih tetap tersambung, saling menempel dan memberi kedutan-kedutan ringan. Kurasakan dia semakin ganas. Tanpa memperhatikan kelelahanku, cepat diraihnya tubuhku sehingga aku seperti bayi yang sedang merangkak. Dengan bertumpu pada kedua sikuku, aku menungging, menerima apa pun yang ia perbuat. Jilbabku telah kacau balau, kusut oleh keringat dan air liurku.
Aku merintih pelan saat
kurasakan penis besar Yusril mengocok semakin cepat. Dia menusukku dari arah
belakang macam anjing kawin. Kali ini tingkahnya sangat liar sekali, tidak beda dengan
Pak Sitorus. Membuatku jadi bertanya-tanya, apakah setiap lelaki memang begini
kalau akan orgasme? Yusril meraih jilbabku dan dijadikannya tali kekang sambil terus
memompakan kemaluannya yang besar dan panjang.
”Ehm... enak banget, mbak. Tubuhmu nikmat sekali, nggak rugi aku menukarnya dengan istriku.” Yusril meracau saat menapaki puncak syahwatnya.
Aku tahu dia sedang keadaan trance penuh nikmat birahi. Pasti rasanya seperti melayang-layang tanpa batas. Aku harus membantu agar dia benar-benar tuntas mengalami ejakulasi. Aku harus membantu agar spermanya bisa keluar sebanyak mungkin, kalau perlu sampai terkuras habis. Aku tahu bagaimana cara untuk itu, aku harus membalas desahan dan rintihannya, menunjukkan kepadanya kalau aku sangat menikmati permainannya. Semakin diberi kepercayaan diri, laki-laki akan semakin bergairah.
”Oocchh... Yus, enak banget! Kontolmu juga nikmat, aku menyukainya. Aku mau kau terus menyetubuhiku. Beri aku kenikmatan, Yus. Oghhh... beri aku...” dan benar saja, desah dan rintihanku benar-benar sanggup mendongkrak birahinya. Yusril mempercepat genjotannya. Dia menusuk semakin dalam. Ujung penisnya serasa menyentuh mulut rahimku.
Tapi bukannya dia yang meledak,
justru aku yang kembali dilanda kenikmatan. Tanpa sadar, aku kembali terangsang.
Gairah syahwatku bangkit kembali. Tanpa disuruh, aku ikut menggerakkan
pinggulku untuk menjemput kontol gedenya guna menuntaskan segala nikmat
syahwatku. Ruang vaginaku mencengkeram ketat batang kemaluan Yusril, membuatku
lupa segalanya. Ketika pompaannya kurasa semakin cepat yang menandakan Yusril
telah mendekati puncak syahwatnya, aku merintih dalam nikmat tingkat tinggi.
”Yus, enak banget. Ya, begitu… tusuk lebih keras. Lebih dalam. Ya, begitu… oughhhhh…” aku terus menggoyang pinggulku untuk mengimbangi pompaannya yang kurasa semakin nikmat.
”Enak mana sama punya bang
Sitor, heh?! Enak mana?” tanya Yusril di sela-sela genjotannya.
”Enak ini, Yus... lebih enak
punyamu!” aku menjawab parau. Kata-kata itu membuat Yusril langsung rebah
mendekap tubuhku. Kedua tangannya meremas-remas payudaraku sambil bibirnya
menyedot keras punggung mulusku. Dan penisnya yang demikian keras berpacu dalam
vaginaku, meledak menembakkan cairan kental yang sangat panas.
”AARRGGHHHHHH...” dengan
teriakan histerisnya, kurasakan kedutan besar cairan spermanya saat mengisi
rongga vaginaku. Kedutan satu disusul dengan kedutan-kedutan berikutnya. Bertetes-tetes
air mani Yusril memenuhi vaginaku, bercampur dengan cairan cintaku, membuat
kemaluanku terasa sangat basah dan licin. Yusril terus memacu tubuhnya hingga
keringatnya luluh membasahi tubuhku sebelum akhirnya rebah telentang ke lantai
setelah tetes terakhir pejuhnya menyembur keluar.
Beberapa saat sunyi. Yang terdengar adalah nafas-nafas panjang kami berdua. Kusaksikan penis Yusril yang luar biasa itu kini lunglai jatuh ke perutnya. Namun lihat, dalam keadaan lunglai saja panjangnya masih hampir menyentuh pusarnya. Benar-benar istimewa. Kulihat benda itu belepotan oleh cairan kental. Lelehan sperma masih menyelimuti batangnya yang telah memberiku kenikmatan yang tak terhingga tadi.
Entah dorongan dari mana, mungkin karena terobsesi setelah melihat ukurannya yang super besar, tanpa sadar tanganku bergerak meraihnya. Kuelus penis lunglai itu, jari-jariku menyentuh lengket cairan spermanya. Dan aku merangkak bangun untuk mengamati lebih dekat. Aroma kemaluan dan sperma Yusril menyerbak di hidungku, membuatku tergoda untuk mencicipinya. Kembali aku mengalami sensasi seksual yang luar biasa. Kujulurkan lidahku untuk menjilat batang kemaluan itu. Terus kujilat-jilat dan kemudian mulai mengulumnya. Aku membersihkan sperma Yusril yang lengket di batang kontolnya hingga bersih.
Yusril menggeliat dan meraih
rambutku. ”Mbak, mandi dulu yuk... sebentar lagi kita harus checkout.” katanya
setelah tidak ada lagi spermanya yang tersisa. Dia bangun dan bergerak
mengambil handuk yang telah tersedia di kamar. Kami mandi bareng, dan disitu,
sekali lagi Yusril menyetubuhiku. Sebenarnya aku ingin meminta lagi, entah
kenapa, main dengannya membuatku ketagihan. Tapi waktu sudah tidak
memungkinkan, kita harus check out tidak lama lagi.
Sesudah berpakaian dan berganti
jilbab, Yusril mengajakku ke kamar sebelah. Di sana kulihat Pak Sitorus juga
sudah berpakaian, sedangkan Rini masih bersih-bersih di kamar mandi. Setelah
mengucapkan terima kasih, Pak Sitorus kemudian mengajakku pulang.
Itu adalah satu-satunya hari
dimana aku bahagia tinggal dengan laki-laki tua itu.
Setelah suamiku meninggal..
Tabunganku bukannya bertambah
malah semakin cepat menyusut karena harus membiayai segala kebutuhan Marsha, di
samping harus membeli obat untuk perawatannya, aku juga harus membayar biaya
sekolahnya. Pak Sitorus meninggal beberapa hari yang lalu. Sama seperti
suamiku, AIDS telah merenggut nyawanya, padahal dia sudah mulai baik kepadaku. Dengan
terpaksa aku harus pergi meninggalkan rumahnya.
Hari demi hari, kami makin lelah
harus berjalan mencari tempat menginap yang layak dengan harga murah. Dan hari
ini, sisa tabunganku hanya cukup untuk membeli makanan selama dua hari dan
persediaan obat untuk Marsha selama tiga hari. Uang SPP-nya yang belum aku
bayar selama 2 bulan, aku tidak tahu harus bagaimana.
Aku berusaha memutar otak
sepanjang jalan. Bisa saja aku meminta tolong seseorang dengan imbalan tubuhku,
seperti pada Pak Sitorus dulu, tapi orang yang mana? Aku tidak bisa membedakan
orang normal dengan penderita HIV seperti diriku. Aku tidak mau memilih
sembarang orang. Aku tidak mau menularkan penyakitku, cukuplah ini berhenti
sampai disini. Lagian, tubuhku juga mulai melemah. Aku semakin kurus dan
sakit-sakitan. Aku sudah tidak semenarik dulu lagi.
Hari semakin panas dan kami juga
semakin lapar. Ketika mampir di sebuah warung makan, aku mendapat akal.
Sementara Marsha menghabiskan makanan dengan lahap, aku menulis pada selembar
kertas yang kuminta dari ibu pemilik warung.
Keesokan harinya sebelum berangkat sekolah, kutitipkan surat itu pada Marsha untuk diberikan pada salah satu ibu gurunya yang kutahu sangat menyayanginya.
***
“Marsha, ini benar ibumu yang
menulisnya?” tanyanya setelah membaca isi surat itu.
“Iya, kemarin ibu menulis sendiri. Kenapa, bu?”
“Tak apa-apa, sayang. Mulai sekarang, kamu tinggal sama ibu ya?” jawab sang ibu guru dengan mata berkaca-kaca.
“Sama ibuku juga ya?” tanya Marsha mulai antusias.
“Enggak, sayang. Ibumu harus mengunjungi kakek nenekmu.” jawabnya lagi sambil mengusap air mata yang kini mengalir deras.
Assalamu’alaikum, Bu Guru Yani.
Selamat pagi. Saya Nurul, ibu
dari Marsha. Seperti yang ibu tahu, suami saya meninggal. Dan setelah dia
meninggal, saya dan Marsha diusir dari rumah oleh mertua saya karena kami, (ya,
saya dan Marsha) mengidap HIV, sama seperti anak mereka. Tubuh saya semakin
lemah karena tak punya cukup uang untuk pengobatan lebih lanjut. Saya berharap
banyak dengan bantuan bu Yani untuk sudi mengasuh Marsha sebab saya tahu bu
Yani sangat menyayangi dia seperti anak sendiri. Atau jika bu Yani keberatan,
saya rela dia dititipkan di panti asuhan yang baik. Saya juga berharap
pengobatan untuk Marsha bisa terus dilanjutkan sehingga setidaknya dia bisa
menjadi seseorang yang berguna buat orang-orang di sekitarnya, sebelum kematian
merenggutnya. Sebenarnya saya sangat tidak tega melihat anak secantik Marsha
harus mengalami penderitaan hidup di umur yang sangat muda, tapi bagaimana lagi
jika Tuhan sudah berkehendak.
Bu Yani, kalau ibu membaca surat
ini, berarti saya sudah di jalan hendak ke Pontianak, tempat makam kedua
orangtua saya berada. Saya ingin berziarah untuk terakhir kalinya, dan jika
memungkinkan, menghembuskan napas terakhir di atas makam mereka, seolah-olah
saya meninggal di pangkuan mereka.
Semoga saya tidak terlalu merepotkan bu Yani, meskipun saya yakin bu
Yani pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk Marsha. Dan karena itu, saya
mengucapkan berjuta terima kasih
.
Salam hormat,
Nurul
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar